Jika Kaltim sebuah Negara
oleh Nugrasius ST
Tribunkaltim 14 Maret 2013 halaman 7
Baru saja saya menemani seorang komisaris PT. Timah yang datang
berkunjung ke Kaltim. Mengulangi keluhan setiap orang atau pejabat yang
baru menyaksikan langsung wajah kota-kota di Kaltim yang tampak seperti
tikus mati di lumbung padi.
Kota minyak Balikpapan memamerkan antrian warga di tempat-tempat pengisian BBM. Samarinda ibukota propinsi
yang mengeluarkan kekayaan alam/jasa 360 triliun rupiah per tahun
tampak carut marut dan jorok. Sampai di ujung utara Tarakan dihempas
amuk masyarakat atas krisis listrik sementara di tanahnya sudah puluhan
tahun memuntahkan migas untuk menerangi Jakarta dan sekitarnya dan di
Pulau Bunyu tetangganya sudah beberapa tahun memproduksi ratusan ribu
metric ton batubara per bulannya untuk menghidupi Negara India dengan
keuntungan besar karena kecilnya biaya produksi dimana jarak angkutan
darat dan laut yang sangat dekat.
Dalam kondisi yang masih jauh dari
kemandirian swasembada energi, Kaltim semakin dijepit dengan pipanisasi
gas Bontang ke Semarang kemudian disebar ke seluruh pulau Jawa.
Sementara Samarinda atau Sangatta sebagai tetangga terdekat sama sekali
tidak dianggap sebagai entitas yang berhak merasakan kekayaan alam itu.
Satu malam saja lampu jalan di kota Solo tidak hidup, beritanya cukup
gempar hingga menjadi headlines Koran lokal dan dibahas di media
televisi nasional. Sementara seluruh kota di luar Jawa sudah akrab jika
satu bulan lampu penerang di jalan pusat kota tidak pernah hidup lagi.
Empat gubernur se-Kalimantan sampai bekukus muntung buang liur di
hadapan Jero Wacik dan SBY, namun mental tanpa hasil signifikan.
Kepadatan penduduk Kaltim sejumlah 14 jiwa per kilometer (2010)
menghasilkan kesimpulan Kaltim sebagai daerah pinggiran yang tidak
penting jika dibandingkan Jawa Barat 1.236/km2, Jawa Tengah 994 jiwa/km2
ataupun Jawa Timur 782 jiwa/km2. Semakin dikongkritkan dalam jatah kue
APBN dan DAU dimana jatah Kaltim tidak lebih separuh (DAU 500 miliar
rupiah) dari peroleh propinsi-propinsi di Jawa (DAU lebih 1 triliun
rupiah). Sementara sebesar 360 triliun PDRB Kaltim (nilai barang dan
jasa) hanya kembali 10%, sedangkan 320 triliun rupiah berputar di luar
Kaltim. Seandainya 320 triliun rupiah diputar di Kaltim maka dipastikan
kondisi Kaltim sudah tidak berbeda jauh dengan kemakmuran Negara Brunai,
Kota Sanghai ataupun New York. Bayangan kemakmuran di atas tersebut
hanya jika Kaltim menjadi sebuah Negara tersendiri yang berhak mengatur
keuangan dan ekonominya sendiri.
Jika Kaltim sebuah Negara,
mungkinkah ? Mari kita uraikan. Pendapatan per kapita Kaltim terbesar
se-Indonesia (BPS 2008) yakni 101 juta rupiah, artinya penghasilan
rata-rata yang seharusnya diperoleh setiap penduduk di Kaltim dalam
setahun ialah 101 juta rupiah, berdasarkan nilai hasil barang dan jasa
dibandingkan dengan total penduduk Kaltim. Atau penghasilan bulanan
adalah 8,4 juta rupiah. Itu jika hasil bisnis barang dan jasa yang
terjadi di Kaltim hanya berputar di Kaltim, tidak diserap ke Jakarta dan
sekitarnya.
Pendapatan per kapita Kaltim bahkan lebih 2 kali lipat
dari pendapatan per kapita Negara Indonesia. Artinya Kaltim jika sebagai
sebuah entitas Negara maka dipastikan jauh lebih makmur dari Indonesia.
Kaltim akan sejajar dengan Turki (IMF, $12k) dan Malaysia ($13,3k),
sedikit di atas Iran ($10,5k), dan sedikit di bawah Russia ($14,7k).
Bisa dipastikan seluruh jalan di Kaltim sudah menggunakan aspal dengan
kapasitas 30 ton, jalur kereta api dan tol sudah membentang ribuan
kilometer, belasan PLTU dan PLTG kapasitas besar sehingga tak ada lagi
pemadaman listrik, Sungai Mahakam dari Samarinda hingga Tenggarong
minimal terdapat 10 jembatan, rumah sakit internasional setingkat
Singapura ataupun Cina, hingga perguruan tinggi terbaik di atas Malaysia
dapat didirikan di Kaltim. Itulah fakta yang dapat terjadi jika Kaltim
memiliki kekuasaan mengatur uangnya sendiri, tidak diatur Pusat.
Pertanyaan berikutnya, siapkah Kaltim menjadi sebuah Negara dengan
kondisi SDM dan infrastruktur yang lemah seperti saat ini ? Sederhana,
bagaimana situasi nusantara saat Soekarno – Hatta mendeklarasikan NKRI ?
Saat itu Indonesia tidak memiliki apa-apa, namun berbekal tekad dan
keyakinan dan pertolongan Tuhan, Indonesia bisa maju dan makmur hingga
seperti saat ini. Tulisan ini tidak untuk memprovokasi masyarakat
Kalimantan untuk berpikir memperjuangan kemerdekaan atau berpisah dari
NKRI, namun kita berharap kesadaran ini menstimulasi seluruh masyarakat
Kaltim untuk berjuang dengan lebih sinergis dan perencanaan yang baik
dalam jangka panjang maupun pendek untuk menuntut otonomi pengelolaan
kekayaan daerah sehingga masyarakat dan infrastruktur Kaltim selayaknya
menjadi setara dengan kekayaan alam dan jasa yang diproduksinya.
Ada dua hal yang menjadi duri dalam daging dalam perjuangan
kesejahteraan masyakarakat Kaltim, yakni pertama korupsi kepala daerah.
Sudah mahfum dalam setiap proyek pemerintahan maka 25% nya masuk ke
kantong pejabat sebagaimana disinggung Ahok sehingga Ahok mereduksi 25%
dari nilai proyek. Jika proyek 10 miliyar maka diperkirakan biasanya 2.5
miliar masuk ke kantong kepala bupati/walikota, kepala dinas,
sekretaris, kepala bidang, hingga kasi (tentu tidak semua seperti ini).
Dari APBD Kaltim 13 triliun maka dengan kebiasaan nilai persentase
‘jatah’ di atas, potensi korupsinya ialah sebesar 3.5 triliun rupiah.
Inilah dilema perjuangan kita, saat mengupayakan keadilan ke pusat, maka
disisi lain para koruptor daerah pun kegirangan karena jatah korupsi
mereka semakin besar. Jaksa dan hakim di Kaltim pun turut bergembira
karena lahan semakin basah.
Kedua, pejabat perpanjangan tangan pusat
di daerah, turut mewarnai sulitnya mewujudkan kebijakan-kebijakan
pembangunan yang memberi kemajuan pada Kaltim. Oknum pusat yang menjadi
pejabat ekskutif dan legislatif di Kaltim tak henti melemparkan opini,
wacana negatif dan black campaign terhadap roda pembangunan di Kaltim
sehingga menciptakan perpecahan dan kelemahan masyarakat Kaltim dalam
mengadvokasi kesejahteraannya. Persis politik divide et impera telah
diberlakukan secara massif pemerintahan pusat terhadap Kaltim yang
gulanya teramat manis.
Kita mencintai NKRI, akan tetapi janganlah
jargon NKRI dipergunakan sebagai tipu muslihat untuk merampok kekayaan
Kaltim sementara kerusakan lingkungan dan kemiskinan infrastruktur
ditanggung hanya oleh masyarakat Kaltim sendiri. Jika Kaltim terus
dikhianati, salahkah Kaltim jika harus mendua, selingkuh atau menuntut
cerai ? Semoga pesan ini sampai ke semua pengambil kebijakan di Jakarta.
karna hal ini pak rasa Nasionalisme saya mulai Luntur, masuk Kerjapun terkadang kita putra daerah juga susah,padahal sama2 punya Skill. Rasanya lebih baik borneo Island cerai saja.
BalasHapusizin share d fb pak... nice artikel :)
BalasHapusMuhammad Ferry ya begitulah mari pikirkan seksama
BalasHapusNur Hafizah silahkan.
Bukti bahwa Nasionalisme merupakan ikatan persatuan yang lemah dan temporer.
BalasHapusdan akar masalah dari ketidak adilan yang dimaksud justru adalah sistem Demokrasi yang digadang berasaskan kedaulatan Rakyat... yang sejatinya terjadi adalah kedaulatan individu yang memiliki modaL. individu tersebut menggunakan tameng status "rakyat" dalam KTP nya..
Mungkin lebih baik cerai aja. Kita msyarakat kaltim tidak merasakan kekayaan alam kita
BalasHapusizin share.
BalasHapusizin search bang nugra
BalasHapusSprti in kah sbnarx yang terjdi di t4 tnah kelahir'n yang sll sya bngga kan (miris)
BalasHapus