Kamis, 30 Oktober 2014

Kala Empat Gubernur Kalimantan Gigit Jari



Kala Empat Gubernur Kalimantan Gigit Jari
dipublikasi TribunKaltim 30 Oktober 2014 Hal. 7
oleh Nugra S.

Kekecewaan melanda seluruh tokoh Kalimantan ketika Minggu Sore Presiden RI Jokowi tidak menyebutkan  nama salah satu tokoh Kalimantan dalam daftar Menteri Kabinet Kerja di Istana Negara. Tak pelak seluruh gubernur Kalimantan hanya gigit jari menyaksikan drama di televisi.
Dari keseluruhan propinsi Kalimantan, hanya di Kalimantan Selatan Jokowi kalah tipis dari Prabowo. Sementara di Propinsi Kaltim, Kalteng dan Kalbar, Jokowi mendapatkan mandat  dari sebagian besar rakyat Kalimantan. Tampaknya Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta era SBY harus pulang kembali ke Banjarmasin tanpa adanya serah terima pada penerusnya dari Kalimantan.
Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah yang digadang-gadang untuk menjabat sebagai salah satu menteri juga harus bersabar dari keputusan Jokowi yang digodok bersama Megawati, Luhut, KPK dan konseptor lainnya di balik layar.
Tidak aneh sebenarnya penyebab ketiadaan perwakilan dari Kalimantan. Selain karena tidak adanya ‘pembisik’ yang kuat dari Kalimantan di Jakarta, posisi bargaining Kalimantan pun terbilang lemah di mata pusat, karena relatif mudah diatur dan nrimo.
Pertama faktor ‘pembisik’ cukup menentukan penetapan menteri. Jokowi tentu nyaris tidak mengenal sebagian menteri pilihannya. Mereka hadir karena masukkan-masukkan dari orang-orang di sekitar Jokowi selaku konseptor. Tim Transisi yang digawangi Hendropriyono dan Rini misalnya, adakah keseriusan tokoh Kalimantan melakukan lobi pendekatan ? Tak ada riak-riak yang membuat Jokowi-Mega-Transisi harus khawatir jika tidak menunjuk perwakilan dari Kalimantan. Barangkali masyarakat Kalimantan dikenal relatif ‘jinak’ sehingga tidak ada yang istimewa.
Kedua, faktor bargaining atau posisi tawar dari Kalimantan secara keseluruhan tampaknya tidak ada yang spesial di mata Jokowi dan timnya. Pengendalian terhadap industri ekstraksi seperti migas dan batubara berjalan lancar tanpa adanya gangguan dari seluruh level masyarakat hingga pemerintah. Apa yang perlu dikhawatirkan jika tidak memilih tokoh Kalimantan sebagai menteri ? Tidak ada. Dan apa untungnya bagi Jokowi jika harus memilih tokoh dari Kalimantan ? Apakah ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut ?
Dari persepektif kedaerahan, Jokowi dan tim menunjuk Yohana, Guru Besar Universitas Cendrawasih sebagai salah satu representatif Indonesia Timur. Faktor prestasi mungkin tidak terlalu menonjol. Sementara dari tanah Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya tersemat nama Andi Amran Sulaiman selaku Menteri Pertanian. Dari Sumatera terdapat 3 nama, Sofyan Djalil dari Aceh, Yasona dari Tapanuli, Ryamizard dari Palembang dan Andrianof dari Padang. Sisanya hampir sebagian besar menteri Jokowi lahir besar di tanah Jawa.
Kabinet telah diresmikan, apa yang bisa dilakukan oleh gubernur, tokoh dan masyarakat Kalimantan hanya gigit jari dan mendukung jalannya pemerintahan untuk kepentingan bangsa dan negara. Apa yang perlu dipikirkan dan dilakukan saat ini adalah bagaimana mempertahankan proyek-proyek untuk kemajuan Kalimantan tetap berjalan dengan baik semisal MP3EI dan program-program pemerintah lainnya untuk kepentingan daerah.
Gubernur dan tokoh Kalimantan harus mengejar ketertinggalan semua aspek baik politik maupun ekonomi tidak hanya untuk besok tahun dan tahun depan, tapi juga investasi untuk 2019. Capres, cawapres atau menteri jadi dari Kalimantan harus sudah dipikirkan bersama demi kepentingan kesejahteraan masyarakat Kalimantan yang masih termarginalkan di rumah NKRI. Semoga pada pemerintahan berikutnya Gubernur, tokoh dan masyarakat Kalimantan tidak lagi gigit dua jari.
Nugra S.
Koord. FPB Kaltim
@nugrazee

Rabu, 29 Oktober 2014

Revolusi Mental, Antara Primordial dan Profesional



Revolusi Mental, Antara Primordial dan Profesional
dipublikasikan TribunKaltim 29 Oktober 2014
oleh Nugra
 
Keragaman adalah sebuah karunia Tuhan. Bersesuaian dengan semangat tulisan bung Andi Ardiansyah pada Tribunners sebelumnya terkait primordial atau kesukuan yang bertentangan dengan semangat Bhineka, sejauh mana antara realitas dan idealismenya ?
Primordial atau semangat kesukuan bukanlah barang baru. Bahkan ia hadir setua umur peradaban manusia itu sendiri. Adalah sifat manusia untuk lebih senang berkumpul dengan kelompok yang memiliki kesamaan budaya hidup, kesamaan visi, bahasa, atau kesamaan entitas lainnya. Begitu pula semangat dalam hidup bersuku dan berbangsa sudah lumrah kita merapat dan membantu pada orang yang memiliki kedekatan primordial dengan kita.
Saya coba paparkan sebuah fakta menarik. Sepanjang Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden RI selama mendampingi SBY, hampir seluruh pejabat yang diangkat JK di Jakarta berasal dari rekan-rekan satu suku dengan JK. Sebuah semangat primordial yang menjadi relatif, baik atau tidaknya tergantung darimana kita melihat. Bahkan dengan dorongan JK, hampir seluruh kepala Rumah Sakit di Jakarta hingga saat ini dipimpin oleh sosok dengan nama yang diawali kata Andi.
Mampukah kita melepaskan entitas primordialitas atau semangat kesukuan sementara saat ini di seluruh Jawa Barat terlarang untuk menggunakan nama Gajah Mada sebagai nama jalan. Pada setiap Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pun, isu kesukuan antara Makassar dan Bugis selalu mencuat menjadi bahan kampanye politik. Bahkan konflik sejarah masa lalu tidak dapat kita nafikkan masih terwariskan dalam budaya dan kebijakan di berbagai level kehidupan kita.
Semangat kesukuan atau kebangsaan tidak akan pudar sepanjang sejarah manusia karena lahir dari sifat alamiah itu sendiri. Yang menjadi masalah utama ialah apabila semangat primordialisme  dijunjung sebagai semangat membabi buta atau fanatisme suku berlebihan. Ketika benar dan salah atau kompeten tidaknya, kita tempatkan di bawah pembelaan terhadap suku, maka terjadilah masalah dan konflik.
Proses perekrutan karyawan atau pegawai baik pada institusi negeri PNS maupun perusahaan swasta sering terpengaruh pada semangat kesukuan sebagaimana disinggung oleh saudara Andi. Banyak perusahaan pertambangan atau sawit di Kaltim misalnya, didominasi dari suku-suku tertentu mengikuti suku dari kepala pimpinannya. Hal itu sudah cukup lumrah terjadi, walaupun menyisakan kecemburuan sosial dari suku yang berbeda.
Proses perekrutan PNS selama ini juga memiliki budaya yang relatif sama, CPNS yang diterima umumnya mengikuti dari kedekatan suku dengan pimpinan entah kepala dinasnya ataupun bupati/walikotanya. Namun dengan proses perekrutan yang diambil alih oleh pusat berhasil membuat jeda primordialis yang berlebihan, berganti masuknya CPNS dari luar daerah yang barangkali sesuai semangat Bhineka yang diingatkan Bung Andi.
Idealisme yang kita inginkan ialah bekerjanya atau berdirinya struktur pemerintahan/perusahaan yang didasarkan pada kompetensi murni, pada kemampuan atau keahlian sehingga pekerjaan dapat berjalan dengan baik dan profesional. Dengan sedikit mengambil kebijakan pada kearifan lokal kita berikan kesempatan pada posisi nonstaff atau nonskill pada wilayah primordial tersebut, namun tetap pada porsi proposional dan syarat kompetensi minimum yang memenuhi standar.
Namun sekali lagi idealisme menempatkan semangat primordialisme pada proporsi secukupnya (tidak fanatik suku berlebihan) akan cukup sulit diwujudkan, karena wabah kesukuan yang sudah berurat berakar di seluruh aspek kehidupan bermasyarakat hingga bernegara. Ketika kita mencoba profesional namun Kepala Bidang sebelah, Kadis tetangga, HRD disana melakukan perekrutan berdasarkan suku, kita pun sulit lantas pada akhirnya terbawa arus dan memberi respon yang sama. Semoga tulisan singkat ini menjadi refleksi bagi kita untuk bisa membangun bangsa yang tegak berdasarkan kompetensi, bukan fanatisme suku buta.
Nugra S.
Pemerhati Sosial.
@nugrazee