Melanglang ke Tabang, Negeri yang
Hilang
Tabang, negeri yang tersembunyi di
balik hamparan pepohonan di perut pulau Kalimantan menyimpan pesona tak
terlupakan. Sebagai salah satu kecamatan dari Kabupaten Kutai Kartanegara,
Tabang malu-malu bergeliat di balik luasnya Danau Semayang yang penuh misteri.
Tabang memiliki kekayaan melimpah,
emas yang belum tersentuh, batubara yang separuh hidup, dan sawit yang luas.
Bagi pecinta travelling dan off road, Tabang seperti gadis perawan yang bisa
membuat petualang tak pernah puas menikmati keindahan dan tantangannya.
Kalau di Datah Bilang, Kutai Barat,
kita mudah menemukan gadis Dayak yang manis-manis, di Tabang kita mudah
menemukan pemuda Dayak yang gagah seperti artis-artis mandarin. Lebih dari itu,
beras gunung dan ayam kampungnya yang lezat plus rendah kotoran kimia, membuat
hidup lebih terasa hidup.
Perjalanan ke Tabang sangat
mengasyikan dan penuh tantangan. Dari Samarinda menempuh perjalan darat ke Kota
Bangun sekitar 3 jam. Kebetulan sekarang jalan sudah cukup mulus namun penuh
tikungan mesti stok adrenalin. Entah kenapa kita di Kalimantan suka jalanan
berkelok, selain karena mengambil alih jalan loging barangkali banyak kelokan
menambah jumlah meteran jalan yang perlu dirawat. Anggaran lagi, lagi-lagi
anggaran.
Pelabuhan Kota Bangun tepat di
depan masjid raya, penuh parkiran mobil yang menginap dari para pelancong.
Untuk membawa mobil ke Tabang seperti halnya penyeberangan Sungai Mahakam di
Tenggarong, bedanya, karena jarak yang jauh biayanya berkisar 1-2 juta dari
Kotabangun ke Kahala, mulutnya Tabang. Saya sempat menyeberang dengan kapal
membawa Pajero, melintasi jembatan ‘Ali Baba’, jembatan yang dibangun tanpa ada
jalan di kanan kirinya, mirip gapura raksasa, ikonnya Muara Bangun.
Pertama kali saya melanglang ke
Tabang menggunakan ketinting atau perahu ces, perahu panjang menggunakan satu
mesin kecil dengan penumpang rata-rata 6 orang. Melewati jalur air akan terasa
menegangkan bagi yang tak bisa berenang apalagi yang belum terbiasa dan untuk
pertama kalinya. Untungnya saya bisa berenang. Hujan deras ikut meramaikan
kekhawatiran kalau-kalau ketinting terbalik, telebih saat memasuk Danau
Semayang yang nampak seperti hamparan luas lautan, lebih mirip seperti di
tengah samudera daripada kesan danau, sebab sejauh mata memandang nyaris tak
terlihat adanya daratan.
Fenomena menakjubkan lainnya di
danau Semayang adalah, saat tiba-tiba perahu nyangkut di tengah ‘samudera’.
Kami pun kaget, di lautan luas ini ketinting ‘amblas’. Ada apa gerangan ?
Tiba-tiba sang nahkoda menceburkan diri ke ‘laut’. Byurr. Ternyata kedalaman
airnya hanya setinggi lutut. Bukan main. Kami pun ikut menceburkan diri ke
‘laut’ membantu mendorong ketinting keluar dari daerah dangkal. Lumayan satu
tarikan selfie, berdiri di tengah laut, dengan latar perahu di lautan luas.
Ternyata Danau Semayang merupakan
perairan dangkal yang luas, muara dari Sungai Kahala, Tabang. Jika surut, akan
terlihat hamparan pasir dan lumpur yang luas, jika level muka airnya naik,
rata-rata hanya 2-3 meter. Ramai warga mencari ikan dan kepiting untuk dijual
di Melak sampai Samarinda. Inilah mata pencaharian utama masyarakat yang
bermukim dekat dengan Danau Semayang dan Danau Melintang di sebelahnya.
Setelah melintasi Semayang selama 1
jam, butuh 1 jam lagi menyusuri sungai kecil Kahala yang dikitari rawa-rawa
semak belukan untuk tiba di Kampung Kahala. Setelah ngopi-ngopi sejenak,
perjalanan sudah bisa dilanjutkan melalui jalur darat. Rental mobil sudah siap
menunggu di Kahala menuju Ritan, Tabang. Dengan jalan pengerasan mendatar batu
pasir, terasa santai melintasi sawit dan perkebunan warga.
Tiba di Ritan, jalan cor beton
sudah siap beberapa kilometer. Kaget juga melihat keberadaan jalan beton di
pedalaman yang memanjakan truk-truk sawit melintas, sementara jalan Kukar di
Loakulu-Loajalan masih jerawatan. Memang kondisi tanah Ritan dan sekitarnya
agak berbukit sehingga sudah mampu menjadi landasan stabil untuk jalan cor,
sementara jalan dari Kahala ke Kotabangun mesti melewati daerah rawa dan tidak
ada gunung di dekatnya sebagai sumber material timbunan jalan. Hanya Amuntai di
Kalsel yang berani menimbun 10 km jalan rawa dengan sumber material yang juga
sangat jauh. Kapan Kukar berani mengkuti model jalan Amuntai ? Kita tunggu Bu
Rita jalan-jalan berkunjung ke Amuntai.
Istirahat di Ritan, kami dimanjakan
kuliner lezat alami yang tentu saja jauh dari oksidan racun kimia makanan kota.
Nasi dari padi gunung dan sajian ayam kampung dengan sambal hijau membuat lupa
kuliner perkotaan. Rasanya warga di sini bisa membuka warung di Samarinda
Balikpapan dengan nama warung Ritan Baru, menggunakan bahan-bahan alami
pedalaman yang pasti diminati kalangan menengah ke atas yang merindukan makanan
sehat nan lezat.
Tak jauh dari Ritan Baru inilah
pesawat kecil yang ditumpangi eksplorer Australia jatuh terjerembab tewas
beberapa tahun lalu. Keberadaan emas di hulu Tabang tidak hanya mengundang para
pendulang-pendulang tradisional yang masih berjalan hingga ke Mahakam Ulu, tapi
beberapa investor asing pun diam-diam dengan helicopter curi-curi sampel emas
untuk diuji lab. Akses jalan yang belum tersedia membuat cadangan emas di hulu
masih awet untuk cucu kelak.
Sementara batubara Tabang sudah
lama dibongkar grup Bayan milik Cina Malaysia, menggunakan Sungai Belayan
dengan kapasitas tongkang sedang untuk pengapalan ke laut. Tiba musim kemarau,
tambang pun menangis karena tongkang nyangkut di sungai yang mendangkal.
Sementara jalur hauling darat ke Senyiur masih cukup jauh apalagi hadangan
warga menguras tenaga dan dompet.
Umumnya batubara di Tabang memiliki
kalori rendah hingga medium, dengan harga drop saat ini tentu saja industri
tambang batubara Tabang semakin ngos-ngosan. Sementara sawit dan karet
juga turun, semoga batu akik di hulu Tabang bisa menambah kocek masyarakat
Tabang.
Jalur transportasi alternatif
Tabang keluar adalah melalui jalur darat menuju Senyiur kemudian ke Muara
Ancalong lalu turun ke Sebulu menggunakan jalur logging. Lama perjalanan
kira-kira 5 jam lebih. Muara Ancalong dulunya jalur pelarian Kerajaan
Mulawarman Martadipura saat berkonflik dengan Kutai Kartanegara 700 tahun
silam. Tak heran di daerah Tabang – Muara Ancalong inilah ditemukan Patung
Budha emas ukuran 5 cm yang saat ini tersimpan di museum Mulawarman Tenggarong.
Tabang, negeri yang hilang,
menantikan gebrakan akses transportasi yang baik dari pemerintah daerah untuk
peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Dukungan pemerintah dan masyarakat
terhadap industri sumber daya alam yang bermanfaat dan ramah lingkungan
berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Saatnya Tabang
menembus batas, dan mari melancong ke Tabang, siapa tahu ketemu akik jenis
baru.
Salam,
Nugra,ST
Penjelajah
Borneo