oleh Nugrasius
Dipublikasikan Kaltimpost September 2007
Sampai tahun 2005 produksi batubara Kaltim kira-kira sebesar 80 juta ton (dinas pertambangan dan energi Kaltim). Jika mengambil harga batubara rata-rata per tonnya $40 dengan harga kurs 1 $ = Rp 9000,-, maka Kaltim telah mengeluarkan kekayaannya di sektor pertambangan batubara sampai tahun 2005 sebesar 28,8 triliun rupiah. Sebuah angka yang fantastis.
Potensi
batubara di kaltim hingga saat ini diketahui 19,567 triliun ton
(7.044.120 triliun rupiah) dan cadangannya (sudah dihitung) sekitar
2,410 triliun ton (Rp 867.600.000.000.000.000 rupiah). Kita baru
mengkalkulasi kasar kekayaan Kaltim dari sektor pertambangan batubara,
belum bicara terkait minyak dan gas bumi yang jumlahnya tentu lebih
besar, belum lagi sektor kehutanan dan kekayaan alam lainnya. Ini sebuah
karunia yang Maha Akbar dari Tuhan, dan sebuah tantangan bagi
masyarakat Kaltim bagaimana mengelola kekayaannya.
Ironisnya,
kekayaan dalam angka di atas tidak nampak dalam segala segi kehidupan
masyarakat Kaltim. Semua melihat bagaimana infrastruktur yang cenderung
mengesankan sebagai propinsi miskin. Tidak perlu berbicara soal
pedalaman yang terisolasi. Kita bisa berkaca dari ibukota propinsi
Samarinda, jalanan rusak dan sekolah hampir roboh sempat tampil sebagai
berita panas di bebagai media. Tingkat kelulusan sekolah dan buta aksara
masih menjamur di Kaltim.
Propinsi
ini kaya namun masyarakat miskin masih dominan. Propinsi ini punya
batubara, hutan, minyak dan gas bumi melimpah, namun jadwal pemadaman
listrik menjadi iklan di koran-koran. Banjir masih menghantui di
kota-kota sentralnya. Tingkat pendapatan masyarakat pun masih terlalu
rendah.
Ada
sebuah wacana bahwa ini disebabkan keserakahan pusat yang hanya
menguras kekayaan Kaltim seperti sapi perasan. Namun mengembalikan hanya
segelintir dari harta benda tanah Kaltim. Penghapusan
DAU yang santer diperdebatkan hanya satu dari sekian ketidakadilan
(atau mungkin bermakna penajajahan) pusat terhadap daerah. Pada sisi
lain tidak kalah opini kuat mengatakan bahwa koruptor juga merajalela
bermain-main di bumi kaya ini. Panjangnya daftar nama antrian di KPK
sampai yang benar-benar dalam hunian (tersangka). Polemik 16 milyar Dprd
Kaltim, 270 milyar KPUD, uang jalan-jalan aleg sampai megaporyek
ratusan milyar tak kunjung selesai (jalan trans, jembatan mahkota dua,
Islamic Center dll) di tengah masyarakat yang masih sulit mencari sesuap
nasi.
Pada
sisi lain kita juga menemukan sulitnya mencari manusia-manusia kritis
yang berani mengawal pembangunan di kaltim agar efisien, efektif dan
benar-benar bersih dari korupsi. Sebuah ironis dimana kalangan akademisi
dari dosen dan mahasiswa hanya sibuk dengan perkuliahannya tanpa rasa
dan upaya kritis memberikan cakrawala intelektualnya untuk kemajuan
propinsi Kaltim. Sangat jarang kita temukan tulisan-tulisan di media dan
aksi kritis dari civitas Universitas Mulawarman dalam berkontribusi
terhadap pembangunan daerah yang kian sakit.
Kekayaan
yang timpang dengan pembangunan tentu harus disikapi segera oleh
seluruh masyarakat Kaltim. Ini bukan hanya urusan gubernur dan aleg, ini
juga urusan tukang ojek sampai penjual bakso. Membangun kaltim bukan
hanya pada momen pilkada atau pilgub namun setiap hari kita harus
mencermati bagaimana wujud program dan janji pemerintah kemarin, hari
ini dan hari esok.
Kita
bersyukur beberapa media telah membantu transparansi dalam pembangunan
dan membangun budaya kritis dari masyarakat baik melalui publikasi sms
curhat sampai berita-berita yang berupaya mengejar potensi korupsi.
Sudah saatnya kita belajar mengelola kekayaan dengan arif dan bijak.
Masih ada anak cucu yang juga perlu menikmati harga 1 ton batubara,
harga 1 barel minyak bumi dan harga 1 kubik kayu.
Perlu
kebijakan berani dari pemda yang jujur agar kekayaan kaltim kembali
kepada masyarakatnya, bukan lari (atau dilarikan keluar Kaltim). Seperti
rencana proyek pipaisasi gas bontang yang sangat merugikan kaltim
(bukan tidak mungkin di tengah laut jawa ada pipa misterius yang disabot
dari jalur pipa tersebut seperti yang ditemukan di Balikpapan).
Setelah
melihat sketsa kasar wajah Kaltim hari ini, tidak cukup jika hanya
merasa sakit hati atau jengkel. Perlu sebuah rumusan pemikiran bersama,
perlu sebuah aksi yang mengejawantah agar persoalan kekayaan alam ini
bisa dinikmati seluruh masyarakat Kaltim. Tidak sebatas wacana dan
seminar-seminar tentang pembangunan Kaltim namun diwujudkan dalam
program-program yang integratif , transparan dan melibatkan masyarkat
Kaltim sebagai penggerak roda sosial ekonomi. Jika tidak, maka
relakanlah ratusan triliun itu dimakan tikus-tikus berdasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar