Jumat, 06 September 2019

Dayak, Papua dan Freeport


Dayak, Papua dan Freeport
Tribunkaltim 27 Agustus 2019
 
Siapa menyangka, jika suku pribumi pertama yang menginjakkan kaki di puncak Grasberg, Freeport, Papua justru suku Dayak asal Kalimantan, bukan suku Papua. Peristiwa tersebut bahkan diabadikan dalam sebuah foto oleh tim ekspedisi asal Eropa 100 tahun silam.
Ekspedisi pertama dimulai tahun 1903 dipimpin Wichman, seorang ahli geologi asal Jerman dalam arahan pemerintah Belanda (Dutch), ekspedisi ilmiah perdana ini mempekerjakan 30 orang Dayak asal Kalimantan Utara (North Borneo) sebagai porter atau asisten pembuka jalan, membawa perbekalan dan pekerjaan bantuan lainnya. Ekspedisi memetakan kondisi geologi, biologi, etnografi dan lainnya dari wilayah utara Papua.
Pada ekspedisi kedua Belanda pada tahun 1910 yang dipimpin Lorentz, juga melibatkan pekerja dari suku Dayak. Dalam ekspedisi yang dimulai dari selatan Papua ini, dengan kondisi yang cukup sulit dan berat bahkan hampir menewaskan Lorentz karena medan yang ekstrim, namun berhasil mencapai wilayah kaki pegunungan Wilhelmina (Pegunungan Trikora). Namun ekspedisi ini memakan korban seorang Dayak tewas karena kedinginan di wilayah salju dan 2 pekerja Dayak lainnya meninggal kecelakaan. Mereka mencapai ketinggian 4461 meter DPL. Tempat markas Lorentz kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional Lorentz.
Ekspedisi ketiga lebih masif lagi ditahun 1912-1913, melibatkan 40 tentara Belanda, 120 pekerja Dayak dan 40 tahanan yang dipekerjakan, dipimpin Fransen, perwira KNIL ahli etnografi dan topografi, Dr Versteg untuk ahli zoologi dan antropologi, Hubrecht untuk geologi dan Pulle untuk ahli botani. Mengikuti jalur sebelumnya, mereka mencapai puncak gunung Wilhelmina (Trikora) di 4700 meter DPL dengan koleksi 1.000 jenis spesimen burung dan 1.400 spesimen botani (tumbuh-tumbuhan). Orang-orang Dayak yang baru melihat salju saling melempar salju karena gembira menemukan suasana baru. Sampai pada ekspedisi ketiga ini belum ditemukan indikasi adanya batuan yang berasosiasi dengan emas.
Ekspedisi Belanda selalu menggunakan bantuan asisten dari warga Dayak karena menurut mereka orang-orang Dayak sangat lincah di hutan dan memiliki kemampuan survival bertahan hidup yang terbiasa dengan alam liar. Warga dayak ahli membuat bivak, kapal kecil untuk sungai, tali temali, buka jalur, berburu dan lainnya, sehingga dalam setiap ekspedisi selelu dibawa dari Kalimantan.
Wilayah tengah Papua dieksplorasi pada 1920 melalui India Commite for Scientific Survey pimpinan Capt. Overeem dan Jongejans juga memperkerjakan ratusan warga Dayak yang dianggap memiliki keahlian tinggi dalam membuat flying camp atau rumah kamp dan mengayuh kapal sungai (kanoe) melalui Sungai Memberano. Ekspedisi ini gagal mencapai puncak karena keterbatasan logistik  namun berhasil menemukan kampung kecil baru penduduk lokal Papua yang terisolasi di Lembah Swart.
Pada tahun 1926-1927, kali ini peserta ekspedisi dalam jumlah yang lebih besar dipimpin ahli Antrologi asal Amerika Dr. Mathew Stirling dengan nama ekspedisi Stirling, dibantu kapal  terbang untuk memetakan hingga pegunungan Nassau Papua. Jika sebelumnya hanya menggunakan kamera hitam putih, kini sudah menggunakan rekaman film. Terlibat dalam ekspedisi ini 75 tentara dari Ambon, 130 Dayak dan 250 penduduk lokal  sebagai asisten pembantu.
Hampir setiap tahun terus menerus dilakukan ekspedisi eksplorasi di Papua hingga tibalah di tahun 1936, sejarah awal ditemukannya ‘Freeport’. Ekspedisi yang dipimping oleh Colijn dan Jean Jacques Dozy (ahli geologi) yang melakukan eksplorasi menuju pegunungan Cartenz (Puncak Jaya), gunung tertinggi di Papua, 4900 meter DPL. Dozy menemukan gunung ore (mineral) yang kaya copper atau tembaga, mineral ini berasosiasi dengan emas, namun karena keterbatasan waktu dan tebalnya salju membuatnya belum melihat banyak akan adanya emas tersembunyi di gunung yang disebut Estberg itu. Padahal 50 tahun kemudian gunung itulah yang kemudian dikenal sebagai tambang emas Grasberg Freeport.
Dozy bekerja pada Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) milik Shell (1935) dengan 40% saham Standard Vacuum Oil Company dan 20% Far Pacific Investment (Chevron).
Siapa tim yang membantu Colijn dan Dozy, tidak lain adalah 12 orang Dayak selaku asisten porter yang membantu pekerjaan flying camp sepanjang perjalanan. Dozy sengaja membawa tim yang lebih ramping agar tidak menyulitkan logistik. Bahkan suplai logistik dibantu dengan pesawat yang diterjunkan di beberapa titik jalur menuju Puncak Cartenz.
Bagaimana komentar Dozy tentang orang Dayak ?
“Hidup bersama orang Dayak ternyata sangat menyenangkan, mereka adalah orang-orang baik serta merupakan kawan yang menyenangkan dan yang paling penting, mereka sangat ahli tentang kehidupan di hutan.  Orang Eropa yang paling ahli belukar pun, tidak dapat menandingi (penciuman) hidung mereka.”
Tidak banyak yang paham bagaimana prestasi dan kontribusi warga Dayak terhadap penemuan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Semoga warga Dayak dapat mengukir prestasi perjuangan masa lalu kembali di benua etam yang akan menjadi ibukota Negara.
Nugrasius,ST
Koord. Forum Peduli Borneo
Tinggal di Samarinda