Kutai dan anak Nusantaranya
Acara tahunan
Kutai yakni Erau baru saja usai digelar di kabupaten Kutai Kartanegara (EIFAF
2013). Dalam suka cita itu tidak banyak yang memahami bahwa sebagian penduduk Jawa merupakan keturunan dari Kutai Martadipura.
Kutai Martadipura
ditetapkan sebagai kerajaan tertua di nusantara yang ditandai dengan adanya
peninggalan berupa batu prasasti (Yupa) yang bertuliskan tentang Raja
Mulawarman yang tengah mengadakan acara keagamaan di daerah Muara Kaman, tempat
prasasti ditemukan. Berdasarkan analisa paleografinya dan dikorelasikan dengan
kerajaan regional di sekitar nusantara kemudian diperkirakan tulisan /
peninggalan tersebut berasal dari abad ke 4 masehi.
Benarkah Kutai
tidak memiliki konektifitas dengan kerajaan-kerajaan lain saat itu ? Masuknya
agama Hindu sudah menjadi bukti kongkret bahwa Kutai telah melakukan komunikasi
dengan dunia luar. Pada abad ke 4, Cina telah menyelesaikan episode Three Kingdom nya yang digdaya dengan
teknologi kapalnya di abad ke 3 M, dan India melalui jalur laut, telah
melakukan hubungan dagang dengan Asia Tenggara setelah masa transisi dari Budha
ke Hindu. Sebuah artefak India dari dinasti Satavahana berupa koin di abad ke 2
M bergambar kapal menunjukkan aktifitas maritim India sudah sangat maju.
Perkembangan
teknologi kapal pada saat itu menunjukkan masuknya Hindu ke Kutai diperkirakan melalui
jalur Sungai Mahakam. Melalui proses interaksi intensif sehingga peradaban
berkembang dimana sang Raja saat itu, Mulawarman membuat acara besar dengan
menghadiahkan emas dan 20.000 ekor sapi kepada rohaniawan (brahmana)
sebagaimana tertulis pada prasasti. Dengan kata lain, pada masa itu Kutai pun
berkembang dengan mengenal teknologi pengolahan logam besi dan emas.
Secara umum
sejarah Kutai yang kita pahami hanya sebatas penjelasan di atas, kemudian
tiba-tiba tersambung ke abad 13 Masehi dimana terjadi suksesi kerajaan dari
Kutai Martadipura menjadi Kutai Kartanegara ing Martadipura yang berposisi di
hilir Sungai Mahakam, Kutai Lama dengan rajanya
Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Dimana kondisi regional saat itu,
Singasari telah melakukan ekspansi ke Sumatra dan merontokkan kedigdayaan
Sriwijaya. Apakah Kutai Kartanegara sisa-sisa pelarian Sriwijaya sebagaimana
sebagian Sriwijaya hijrah ke daerah Banjarmasin dan diberi tempat oleh kerajaan
Nansarunai (maanyan) ? Entahlah. Hal
yang coba kita perdalam pada tulisan ini adalah Kutai periode sekitar
Mulawarman di abad ke 4 Masehi.
Van der Meulen,
1988, dalam bukunya Indonesia di Ambang Sejarah, menyatakan bahwa pada abad 4-5
Masehi masyarakat Kutai sebagian melakukan migrasi ke pulau Jawa melalui kapal
hingga tiba di Cirebon. Kemudian perlahan-lahan masuk ke arah Barat dan Selatan
Jawa, sebagian menuju Gunung Ciremai melahirkan Sunda (tak heran penduduk Sunda
berkulit putih persis Kutai), sebagian menuju
Gunung Slamet. Setelah berkumpul masyarakat dalam jumlah banyak di daerah Gn.
Slamet lantas dibentuklah sistem pemerintahan kecil atau kerajaan yang dikenal
sebagai kerajaan Galuh Purba.
Wilayah Galuh
Purba cukup luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang,
Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu,
Kulonprogo hingga Purwodadi. Perlahan-lahan turunan Galuh Purba di barat
terbentuk kerajaan Galuh Kalingga sedangkan di timur lahirlah Tarumanegara. Galuh
Purba kemudian bergeser ke arah barat di Garut membentuk Galuh Kawali yang belakangan
tunduk pada kerajaan Tarumanegara dibawah pimpinan Purnawarman yang lebih
berkuasa di abad ke 5 M. Saat Tarumanegara dipimpin Candrawarman periode
setelah Purnawarman, Galuh Kawali memisahkan diri membentuk kerajaan Galuh yang
nantinya melahirkan kerajaan Padjadjaran di Jawa Barat.
Kerajaan Galuh
berikutnya melakukan persekutuan dan pernikahan dengan keluarga kerajaan
Kalingga (daerah Semarang) yang belakangan melahirkan kerajaan Sanjaya, dinasti
yang melahirkan kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Salah satu prasasti bukti
hubungan keberadaan Kutai ialah ditemukannya Prasasti Pasir Koleangak atau
Prasasti Jambu yang ditemukan di kebun jambu, 30 km sebelah barat Bogor yang
menggunakan bahasa Sansekerta berhuruf Pallawa yang berisi pujian terhadap
pemerintahan Mulawarman serta gambar bentuk telapak kaki yang berdasarkan
ungkapan warga setempat dalam penuturan sejarahnya sebagai telapak kaki raja Mulawarman.
Erau telah
usai. Galuh, Tarumanegara, Kalingga dan Sanjaya pun telah berlalu dalam rotasi
zaman yang silih berganti. Jika Soeharto membangun doktrin dan digdaya
Majapahit melalui sejumput kitab yang berisi kumpulan syair Negarakertagama
yang baru ditemukan di tahun 1971 oleh Belanda. Maka Kutai pun bisa membuat
sejarah imperiumnya sendiri, bahwa Majapahit sebagai turunan Sanjaya, tak akan
lahir jika Kutai dan Mulawarman-nya tidak bermigrasi ke pulau Jawa. Semoga
sepenggal ungkapan sejarah ini memberi percikan api bagi Kutai dan Kalimantan
Timur untuk berkompetisi membangun negerinya lebih baik, lebih makmur dan
bersih dari budaya korupsi.
Nugasius ST
Koordinator Forum
Peduli Borneo wilayah Kaltim
Nugra.sius@yahoo.com