Rabu, 18 September 2013

Menyambut Perda Perlindungan Tanah Adat dan Situs Budaya

oleh Nugrasius ST (25D44063)
dipublikasi harian Tribun Kaltim 19 September 2013

Eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali di tanah Kalimantan tidak hanya berdampak negatif pada kerusakan lingkungan yang makin kritis, namun dampak pada sosial budaya juga telah mengancam banyak persoalan yang berpotensi pada konflik horisontal.
Masuknya investasi besar-besaran yang mendapat ijin legal di atas kertas bermaterai Pancasila dengan luas ribuan hektar sering membuat investor gelap mata bahwa ada masyarakat lokal yang hidupnya terganggu karena hutannya berubah fungsi tanpa kompensasi memadai atau bahkan tanpa ijin pemilik tanah serta terganggunya situs peninggalan budaya menyebabkan berulangnya gesekan antar sesama masyarakat maupun aparat.
Menyadari hal tersebut, masyarakat yang tergabung dalam Forum Dayak Menggugat (FDM) pimpinan Rama Asia berupaya melakukan netralisasi penataan ulang dalam komunikasi antar kepentingan pebisnis,pemerintah dan masyarakat sehingga ketiga hal tersebut berjalan lebih sinergis dan meminimalisir konflik.
Setahun berjuang diplomasi dengan dukungan Gubernur Kaltim Awang Farouk, kemudian hearing di Kemenhut Pusat dikawal anggota legislatif Kaltim Saifuddin, Siswandi, Gani serta staf FDM Simon dan Paulo, guna menggugat RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) Kaltim dan Peraturan Undang Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengakuan Tanah Adat bukan Tanah Negara dengan Keputusan No.35/PPU-X/2012.
Dasar pengakuan tentang entitas adat telah tertuang pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi Negara mengaku dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Ketua MK, Aqil Mochtar menjabarkan bahwa tanah adat yang telah dimiliki turun temurun adalah hak masyarakat adat, tidak lagi digolongkan sebagai tanah negara sebagaimana disebutkan dalam UU Kehutanan.
Kementrian Kehutanan pun telah menindaklanjuti keputusan MK tersebut dengan membentuk Tim Kerja Penyusunan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dengan SK Mentri Kehutanan Nomor 3201/Menhut-II/Kum/2013 tanggal 18 Juni 2013.
Adapun Kalimantan Tengah telah maju selangkah dengan telah menerbitkan Perda Hak-hak adat serta hak adat atas tanah sehingga dapat membantu advokasi masyarakat lokal terhadap pencaplokan lahan oleh investor yang telah berlangsung belasan tahun.
Bagaimana dengan Kaltim ? Pada hari Kamis, 19 September 2013 akan dilakukan hearing naskah akademis dan draft raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Kaltim di Gedung DPRD Kaltim. Perda ini ke depannya menjadi definisi dan keputusan MK serta menjadi dasar hukum daerah untuk menyelesaikan perselisihan dan konflik terkait masalah adat dan lahan di Kaltim.
Entitas masyarakat dayak yang tersebar di kampung-kampung terpencil atau bahkan terisolasi namun hidup turun temurun dari hutan di sekitarnya namun tanpa memiliki surat tanah, inilah yang menjadi fokus advokasi melalui perda. Ketidakpahaman masyarakat dayak akan urgensi adminstrasi dari kepemilikan lahan telah menjadi obyek tindakan kesewenangan investor dan aparat merampas hak adat dan tanahnya. Adapun masyarakat transmigran telah terjamin lahannya karena telah memiliki surat tanah serta adatnya yang diakui negara, sementara wilayah-wilayah kesultanan (adat lainnya) pun memiliki dasar dan dukungan pemerintah sehingga memiliki kekuatan advokasi tersendiri maka tidak perlu lagi dukungan perda.
Masyarakat dayak melalui raperda ini mengharapkan dukungan seluruh masyarakat Kalimantan Timur sehingga perencanaan dan pembangunan terlaksana dengan lebih bijak, tertib, investasi berjalan baik dan konflik warga terhindarkan. Mari kita jaga falsafah 'dimana kaki berpijak,disitu langit dijunjung.' Salam.

Minggu, 01 September 2013

Rekontruksi Paradigma Pembangunan Daerah Pedalaman

Rekontruksi Paradigma Pembangunan Daerah Pedalaman
oleh Nugrasius ST
Tribunkaltim 2 September 2013

Daerah pedalaman Kalimantan atau daerah kabupaten yang berbatasan dengan Malaysia, seperti anak tiri dalam prioritas pembangunan baik nasional maupun pemda.
Proyek pembangunan yang digagas Awang maupun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesi (MP3EI) 80% berada di daerah pesisir. Daerah yang telah menjadi pusat pertumbuhan dan ekonomi semakin di booster kan untuk meningkatkan nilai tambahnya seperti Balikpapan dan Samarinda, sementara daerah pedalaman seperti Kabupaten Kutai Barat, Malinau dan terbaru Mahakam Ulu, tetap dalam stagnasi menanti keajaiban turun dari langit. Ribuan kilometer jalan tol dan jalur kereta api yang membentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, terus ditingkatkan terbang jauh di atas daerah pedalaman yang seolah tersistemasi untuk tetap dijadikan bangsa tertinggal dan penonton di tengah kencangnya progresifitas pembangunan Jakarta serta kota besar lainnya.
Pemerataan pembangunan hanya simbolis untuk menghias jargon cinta NKRI yang diucapkan ringan masyarakat perkotaan namun terasa tak bermakna bagi masyarakat pedalaman yang kesulitan akses jalan, pendidikan dan kesehatan. Revolusi dan rekontruksi paradigma pembangunan daerah pedalaman atau perbatasan perlu dilakukan oleh pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten sehingga pembangunan dapat terlaksana dengan tepat dan benar.
Identifikasi daerah perbatasan/pedalaman sebagai beranda rumah atau lebih tepatnya beranda dengan pagar penjara yang mematikan pertumbuhan ekonomi marsyarakat pedalaman wajib segera dirubah menjadi beranda terbuka, yang tidak memandang negara tetangga atau Malaysia sebagai negara musuh/haram yang selama ini menyebabkan pembatasan pola interaksi, hubungan dagang dan ekonomi kampung-kampung atau kabupaten di perbatasan.
Ketidakmampunan pemerintah dalam mempersiapkan sistem pengawasan daerah perbatasan beserta sarana pendukungnya kemudian menghasilkan konsepsi pembangunan daerah perbatasan sebagai halaman belakang rumah yang dibatasi tembok tinggi yang haram untuk dilintasi. Akan tetapi pemerintah mempermanis kondisi halaman belakang dengan istilah beranda Negara, istilah yang tetap membuat kampung-kampung di perbatasan tidak punya akses ekonomi ke rumahnya sendiri, NKRI.
Bagaimanakah rekontruksi paradigma model pembangunan yang tepat untuk daerah pedalaman sehingga dalam dekade ke depan ekonominya dapat berkembang pesat? Pemerintah daerah harus menggunakan model Austria-Swiss (AS) sebagai contoh pola pembangunan. Daerah Kabupaten Malinau, Kutai Barat, Mahakam Ulu, Murung Raya (Kalteng) serta Puttusibau (Kalbar) memiliki kondisi geografis yang sama dengan negara-negara seperti Austria-Swiss, dimana daerah tersebut berada di tengah benua/daratan yang tidak bersentuhan langsung dengan laut dan dikelilingan oleh negara lainnya.
Negara Austria dengan luas 83.858 km2 (hampir seluas Malinau 42.260 km2 ditambah Kutai Barat 31.628 km2) berbatasan dengan Swiss di Barat, Jerman di Utara, Hungaria di Timur dan Italia di Selatan. Terjepit oleh negara lain namun negara ini justru menjadi negara terkaya ke 12 dunia dengan pendapatan per kapita 420 juta rupiah per tahun (Kaltim 100 juta rupiah pertahun, dua kalinya Indonesia), atau penghasilan per bulan setiap warga Austria sebesar 35 juta rupiah. Austria membuat jaringan jalan seperti jaringan laba-laba ke segala penjuru ke segala negara tetangga, hanya dengan akses tersebut Austria bisa mempertahankan dan meningkatkan perkonomiannya. Olehnya Malinau, Kubar dan Mahulu hendaklah membuat masterplan pembangunan dengan membuka banyak akses jalan termasuk ke Malaysia tanpa sungkan dan khawatir. Dengan memposisikan kota/kabupaten sebagai terminal perlintasan perdagangan dari daerah utara ke selatan/sebaliknya dan timur ke barat/sebaliknya maka daerah perbatasan/pedalaman dapat berkembang pesat layaknya jalur sutra pada masa lampau.
Dalam hal sumber energi, 62% menggunakan sumber energy terbarukan berupa tenaga air, angin, surya dan biomass dan sumber dominannya menggunakan hydropower. Pemda dan DPRD kabupaten perbatasan perlu melakukan kunjungan kerja pada negara Austria maupun Swiss sebagai model masterplan.
Sementara Swiss dengan luas setara Malinau yakni 41.290 km2 dikelilingi negara Perancis, Jerman, Italia dan Austria. Swiss menjadi negara terkaya ke 9 dunia dengan pendapatan perkapita 450 juta per tahun. Negara ini mengandalkan perekonomiannya melalui ekspor bahan kimia 34%, mesin/elektrik 20.9%, jam 17% serta mengandalkan aspek perbankan dan turis. Tenaga air menjadi sumber energy terbesar yakni 56%, perlu menjadi perhatian pemda setempat untuk lebih serius mempersiapkan sumber energi berupa hydropower sebagaimana Swiss sehingga krisis listrik tak berkesudahan bisa tertangani tuntas beberapa tahun ke depan.
Sebagai bonus, konsepsi yang perlu dibangun oleh pihak eksekutif maupun legislative kabupaten perbatasan mesti membangun kemandirian untuk memajukan kawasannya tanpa banyak bergantung dan memelas pada propinsi maupun pemerintah pusat. Modal mental mandiri akan mengasah inovasi dan kreasi dalam mempersiapkan masterplan dan RTRW yang mendukung percepatan pembangunan. Lihatlah peta infrastruktur jalan kota Moskow yang posisinya mirip dengan Sendawar, Datah Bilang dan Malinau yang berada jauh dari bibir pantai. Moskow membangun lebih 12 akses jalan ke segala penjuru arah mata angin dengan kualitas jalan yang baik, tentu saja berimplikasi dalam peningkatan dan pertumbuhan ekonominya yang PDRB dan pendapatan perkapitanya hanya sedikit di atas Kaltim.
Jika Malinau dan Kubar membuka akses jalan yang bagus ke Malaysia, tentu saja Malaysia akan membantu menyambungkan infrastruktur jalan dari perbatasannya ke pantainya. Maka hal ini akan menggeser sebagian pusat perdagangan Indonesia yang semula berlabuh ke Surabaya, Jakarta, Makassar atau Balikpapan dari daerah utara Kalimantan seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, membetuk sentral baru di pantai Sarawak dimana Malinau, Kubar, Murung Raya dapat menjadi sentral jalur perdagangan darat yang ramai dan berkembang. Sehingga meningkatkan pendapatan pada sektor jasa dan pajak. Tentu saja pemerintah hanya perlu memperkuat sistem pengawasan daerah perbatasan, hal yang membuat daerah perbatasan hingga saat ini hidup bagai di penjara. Semoga bermanfaat untuk rekonsepsi pembangunan wilayah pedalaman/perbatasan.