Sejarah Kalimantan,antara asumsi dan distorsi
oleh Nugrasius ST
dipublikasikan Tribunkaltim 22 Oktober 2013 hal. 7
Menarik sekali
kajian tentang temuan jejak prasejarah di gua karst yang menghasilkan
interpretasi sejarah budaya manusia setempat berusia 10.000 tahun yang
dibahas para arkeolog pada acara seminar cagar budaya kemarin di
Balikpapan.
Sejarah ditentukan oleh penguasa, ungkap seorang ilmuwan.
Sebagaimana sejarah penokohan Soeharto yang di blow up para think thank
Soehartoisme sehingga menenggelamkan banyak aktor sejarah yang tak
kalah signifikan perannya dalam membangun RI. Begitu pula tentang era
Majapahit yang kitab kumpulan syair singkatnya baru didapatkan pada
tahun 1971 dari Belanda. Saya membayangkan jika saja Soeharto seorang
keturunan Palembang maka seluruh kurikulum sejarah dipastikan penuh
cerita kejayaan Sriwijaya dan hanya menyisakan sedikit kolom untuk
Majapahit dan kerajaan 'kecil' lainnya di nusantara.
Sejarah
cenderung subyektif, ketiadaan sejarawan ahli keturunan asli Kalimantan
membuat sejarah Kalimantan bersifat jawasentris karena para pakar doktor
dan profesor didominasi dari Jawa sehingga perspektif dan interpretasi
sejarah cukup sulit lepas dari ego menjaga superioritas masing-masing
suku bangsanya sendiri. Tak heran Mulawarman dan batu prasastinya
menjadi hanya seonggok cerita singkat tak lebih satu halaman karena
tidak ada sejarawan Kutai ahli yang peduli untuk mengeksploitasi hal
tersebut.
Hitler membangun jiwa superioritas bangsanya dengan
mengangkat kebesaran Jerman di masa lalu, efeknya masyarakat Jerman
selalu ingin terdepan. Begitu pula Jepang, Cina hari ini tak bosan
mengangkat film kebesaran masa lampau, ada dampaknya, pengetahuan akan
digdaya moyang masa lalu akan membangun mental percaya diri. Hal itulah
yang dilakukan Soeharto dan kesultanan Jawa,yang diikuti oleh masyarakat
Bugis sehingga mereka memiliki motivasi kuat untuk selalu tampil
terbaik dan terdepan. Maka temuan prasejarah yang menyatakan bahwa
masyarakat Sangkulirang sebagai yang tertua di Indonesia, bisa
dipastikan tidak dipedulikan oleh tokoh dan pejabat di bumi etam, jika
tidak menghasilkan duit, jadilah sejarah tersebut hanya tersimpan di
museum dan perpustakaan, dan penduduk asli Kaltim tetap terkenang
sebagai masyarakat 'koler' (pemalas).
Tulisan ini mencoba memberikan
perspektif sejarah secara singkat dari distorsi (pemutarbalikkan)
sejarah Kalimantan serta rekomendasi untuk pengambil kebijakan untuk
lebih care terhadap history Kalimantan yang ilmiah.
Hingga saat ini
cukup banyak legenda dan dongeng yang berkembang tentang asal mula
masyarakat atau kesultanan di Kalimantan, baik Kutai, Banjar, Paser,
Bulungan, Sendawar, Tidung dan lain-lain, namun sayangnya data informasi
cerita/artefak tersebut tidak diproses menjadi produk ilmiah sehingga
dapat dijadikan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Di Kaltim,
satu-satunya sejarah lampau ilmiah ialah temuan prasasti Yupa tentang
Mulawarman yang dikonferensikan para ahli Belanda pada pertemuan ilmiah
dengan analisis data yang kuat. Diluar itu, sejak abad 6 sampai 18
masehi, berisi kumpulan cerita dan dongeng yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Transformasi kerajaan Kutai
Martapura menjadi Kutai Kartanegara tidak memiliki landasan ilmiah yang
kuat dan jelas. Masuk Islamnya raja Kutai pun punya banyak versi yang
belum tersimpulkan, apakah pendakwah dari melayu atau sulawesi, apakah
berislam karena kalah duel ilmu gaib atau karena faktor faktual, tidak
ada referensi yang jelas. Bulungan, proses pembentukan
kerajaan/kesultanan dari kelas masyarakat Dayak Kayan/Kenyah masih
terpendam pada tingkat cerita masyarakat. Bahkan di Sendawar, banyaknya
guji kuno di museum lamin dengan nama Song, yang mungkin terkoneksi pada
kekaisaran Song Cina di abad 10 Masehi, terisolasi dalam sejarah gelap
karena ketiadaan tradisi ilmiah untuk mengungkap fakta-fakta tersebut.
Batu Ukir di Sendawar yang serupa dengan model batuan Gunung Padang di
Jabar yang tidak lain adalah hasil erupsi batuan beku berstruktur
columnar joint, bisa saja Batu Ukir tersebut didramatisasi sebagai
warisan prasejarah sebagaimana proyek dramatisasi Gunung Padang.
Perolehan anggaran miliaran rupiah dan prestise, hasil menggadaikan ilmu
saintis dengan produk sejarah digdaya masa lalu.
Masyarakat
Kalimantan masih enjoy tenggelam dalam suasana sakralitas dan misteri,
hal itu terkadang terasa lebih nikmat daripada membongkar situs sejarah
untuk pengetahuan. Di Kalsel, sejarah kerajaan Banjar terbagi menjadi 3
versi, orang Banjar berupaya menjaga eksistensi bahwa kerajaannya yang
baru berusia 500 tahun adalah turunan kerajaan Tanjungpura yang belum
diketahui bukti sejarahnya sama sekali. Sementara Dayak Maanyan
mengklaim bahwa Banjar adalah turunan kerajaan Maanyan Nansarunai yang
runtuh diserang Majapahit di abad 14 Masehi dimana raja Maanyan
terakhir, raja Anyan menyisakan turunan yang nantinya mendirikan
Kerajaan Banjar dan Paser Belengkong di abad ke 16 Masehi. Sementara
Soeharto pun membuat sejarahnya sendiri bahwa di antara Nansarunai dan
Banjarmasin terbentuk kerajaan Negara Dipa dan Daha yang mana darah
Majapahit punya investasi saham darah pada raja-rajanya. Bagaimana cara
membuktikan mana yang benar ? Buka makam raja Banjar pertama di
Banjarmasin dan makan raja Anyan di Balangan serta makam Ratu Paser di
Grogot, lakukan tes DNA, uji kecocokan dan kebenarannya. Lalu pugar lagi
makamnya menjadi lebih baik sebagaimana dilakukan peneliti pada makam
raja-raja Firaun Mesir, Maya dan lain-lain. Namun dapat dipastikan hal
ini akan ditolak para tokoh tetua yang tradisional dengan alasan menjaga
sakralitas dan penghormatan. Apakah tujuan penelitian identik
merendahkan? Pola pikir masyarakat kita masih tenggelam di era Zaman
Kegelapan.
Oleh karena itu, butuh proses untuk membangun kesadaran
kultur ilmiah terhadap sejarah peninggalan Kalimantan sehingga teka teki
era Sangkulirang ke Kutai Martadipura dan koneksinya hingga saat ini
dapat terjawab dengan benar. Sedikit mengherankan mengapa era paska
Mulawarman hingga Kutai Kartanegara selama 700 tahun tidak menyisakan
sejarah apapun di Kalimantan, hanya tersisa Sriwijaya dan Syailendra
(Mataram Kuno) di nusantara pada abad-abad tersebut. Cukup aneh pula,
profesor dan doktor Australia lebih dahulu meneliti konektifitas (Dayak)
Maanyan dan Madagaskar (Afrika Timur) dimana hasil penelitiannya
menyebutkan 50% bahasa Madagaskar merupakan Bahasa Maanyan (Barito).
Interpretasi ilmiah yang berkembang, pendudukan Maanyan telah bermigrasi
diperkirakan terjadi pada era Kutai Martadipura (abad 5M) atau era
Sriwijaya (abad 7-10M). Para sejarawan Majapahit justru menelikung bahwa
Madagaskar di bawah pengaruh Majapahit tanpa landasan ilmiah dan hanya
didasarkan persepektif subjektif dan egosentris.
Nah, melalui
momentum diskusi ilmiah Prasejarah Sangkulirang, diharapkan pengambil
kebijakan di Kaltim seperti Bapak Gubernur Awang Farouk Ishak, Walikota
Syahari Jaang, Bupati Rita Widyasari-Ismael Thomas-Isran Noor-Ridwan
Suidi-Arifin Budiman-Undunsyah-Yusran Aspar dapat memberikan perhatian
lebih terhadap aspek sejarah, sehingga terbentuk nilai sejarah yang
ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, kedua proses, dimana dilakukan
transformasi pola pikir dari tradisional menjadi intelektual dan ketiga
pengelolaannya berupa produk 'proud' (rasa bangga) sehingga
berkontribusi menciptakan SDM lokal dengan etos kerja tinggi, mandiri
dan percaya diri. Salam.