Minggu, 10 Maret 2013

Membangun Karakter Berpolitik Damai dan Dewasa



Perlu Bahasa Sejuk dan Damai
Membangun Karakter Berpolitik Damai dan Dewasa
oleh Nugrasius
Dipublikasikan Kaltimpost Maret 2008

ADAPUN yang menjadi keinginan kita, bahwa pilgub Kaltim dilaksanakan secara damai, dewasa dan bermartabat. Namun beberapa kasus pilkada dan pilgub di daerah lain yang menyiratkan konflik, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk membangun kewaspadaan dan kedewasaan diri sehingga terhindar dari politik kotor yang mencederai demokrasi.
Politik ‘menghalalkan segala cara’ diperkenalkan oleh Machiavelis 5 abad sebelumnya. Dalam bukunya, ia mengetengahkan pemikiran bagaimana untuk mencapai tujuan, maka kita bisa melakukan apapun, termasuk membunuh dan menyuap. Karakter politik ini masih diamalkan oleh beberapa Negara barat.
Bahkan Stephen Covey dalam bukunya Seven Habits pun mengadopsi pemikiran umum barat ini, bahwa kita harus memprioritaskan tujuan daripada proses/cara. Akibatnya timbullah pemikiran, apapun caranya, yang penting tujuan tercapai.
Karakter masyarakat Indonesia, khusunya Kaltim (seharusnya) sangat berbeda. Sebagai manusia yang masih memiliki kepedulian sosial dan nilai-nilai religious, kita harus membangun cara atau proses berpolitik yang humanis, demokratif dan elegan. Disinilah pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat kita yang masih rabun politik umumnya. Dengan politik positif dan konstruktif, suasana damai dan tenang tetap terjaga sebagai hasil dari sikap saling menghargai dan menghormati.
Menjadi seorang pemimpin, dalam hal ini Gubernur Kaltim bukan persoalan mudah. Seorang kandidat setidaknya harus memiliki empat syarat modal kekuatan yakni, popularitas, jaringan politik-ekonomi, keuangan dan dukungan massa/parpol. Seorang kandidat yang cerdas dan elegan, tentu akan memikirkan bagaimana menemukan dan memiliki keempat kekuatan ini, ia harus proaktif dan kreatif untuk memperolehnya, membangun bargaining bukan menunggu dan menantikan datangya tawaran politik.

Geliat Politik Dayak
Masyarakat dayak belakangan mulai ramai menjadi perbincangan politik. Mulai dari kompetisi sebagai cawagub di Partai Golkar, cagub di PDIP, penawaran salah satu kandidat untuk menduduki Sekprov sampai pada tuntutan pemunduran jadwal Pilgub akibat tidak adanya warga dayak yang tampil menjadi kandidat. Beberapa kekhawatiran akan timbulnya konflik horizontal mulai memanaskan konstalasi pilgub Kaltim. Melek dayak dalam berpolitik adalah sebuah langkah maju, namun sepertinya harus dibarengi dengan pendidikan politik yang matang dan positif.
Kekuatan politik yang bermartabat dapat dibangun dengan upaya kerja keras dan ikhtiar positif. Ada banyak jalan untuk membangun kekuatan bargaining politik sehingga menghindarkan kita dari politik ‘adu jotos’. Dalam hal ini, maka kita harus konsentrasi pada proses dan strategi, yakni:
Pertama, terlibat dalam partai politik. Partai politik memiliki kekuatan sebagai pengusung dan pendukung, ada banyak aliran dana dan relasi politik di dalamnya. Kenyataan menunjukkan tidak ada satupun seorang dayak menjadi ketua parpol, jika dalam tingkat partai saja tidak mampu menunjukkan kekuatan politiknya, tentu lebih sulit bermain di tingkat yang lebih tinggi seperti Pilgub. Ini tantangan pertama masyarakat dayak.
Kedua, jaringan ekonomi-politik. Politik, baik pilkada, pilgub, menjadi aleg dan lainnya, membutuhkan dukungan keuangan dan politik. Disini tentu harus pandai memainkan lobi dan tawar menawar politik. Setiap kandidat pasti membawa gerbong kereta api pengusaha atau politisi/pejabat senior di belakangnya. Dengan gerbong itulah kekuatan politik menjadi lebih mapan.
Tidak heran beberapa cagub yang merasa kantongnya tipis lebih mencari cawagub yang lebih menjamin dengan kantong tebalnya. Atau melakukan pendekatan dengan politisi-politisi pusat. Sebuah pertanyaan muncul, aneh jika seorang Ngayoh yang telah menjadi wagub atau Marthin sebagai Bupati tidak mampu menyiapkan gerbong besar di belakangnya, yang mengakibatkan tidak terpilihnya kedua tokoh dayak ini sebagai kandidat.
Ketiga, agresifitas politik. Beberapa kandidat jauh-jauh hari telah berkeliling Kaltim untuk mempromosikan diri sebagai cagub, bahkan ada cawagub yang telah memasang balihonya di seluruh Kalitm 6 bulan lalu. Promosi diri ini sangat perlu untuk membangun bargaining politik dan sebagai bentuk agresifitas politik. Jika kemudian tokoh dayak tidak terakomodir oleh Parpol, mari kita evaluasi bagaimana promosi diri sang kandidat dayak.
Berpolitik ‘malu-malu mau’ akan tergilas dengan kandidat yang memiliki komitmen kuat menjadi pemimpin. Realitas menunjukkan hampir tidak ada promosi diri yang dilakukan Ngayoh dan Marthin (kecuali satu bulan terakhir), sehingga menjadi pertanyaan bagi parpol, seriuskah mereka hendak maju sebagai kandidat?

Ketiga proses di atas bersifat strategi, tentu akan dijabarkan melalui taktis yang lebih variatif dan beragam. Pembelajaran politik konstruktif menjadi penting bagi kita semua sehingga terhindar dari politik anarkis. Adalah penting bagi setiap tokoh di Kaltim untuk menyampaikan bahasa-bahasa sejuk dan damai. Setiap kandidat juga harus siap menerima kegagalan dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik.
Saran dan evaluasi yang saya kemukakan tidak lebih dari keinginan seorang putra dayak, agar seorang warga dayak dapat menjadi pemimpin di rumahnya sendiri. Namun untuk menjadi pemimpin ada cara prosedural yang telah ditetapkan, dan ada aturan main politik yang harus dipahami bersama.
Di lain pihak, aspirasi yang dikemukakan beberapa warga dayak melalui tindak kekerasan akhir-akhir ini semoga menjadi perhatian para eksekutif, legislatif dan politisi. Dengan pemahaman positif ini kita harapkan Pemilihan Gubernur dan Pilkada lainnya di daerah Kaltim dapat berjalan dengan aman, lancar dan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar