Jumat, 06 September 2019

Dayak, Papua dan Freeport


Dayak, Papua dan Freeport
Tribunkaltim 27 Agustus 2019
 
Siapa menyangka, jika suku pribumi pertama yang menginjakkan kaki di puncak Grasberg, Freeport, Papua justru suku Dayak asal Kalimantan, bukan suku Papua. Peristiwa tersebut bahkan diabadikan dalam sebuah foto oleh tim ekspedisi asal Eropa 100 tahun silam.
Ekspedisi pertama dimulai tahun 1903 dipimpin Wichman, seorang ahli geologi asal Jerman dalam arahan pemerintah Belanda (Dutch), ekspedisi ilmiah perdana ini mempekerjakan 30 orang Dayak asal Kalimantan Utara (North Borneo) sebagai porter atau asisten pembuka jalan, membawa perbekalan dan pekerjaan bantuan lainnya. Ekspedisi memetakan kondisi geologi, biologi, etnografi dan lainnya dari wilayah utara Papua.
Pada ekspedisi kedua Belanda pada tahun 1910 yang dipimpin Lorentz, juga melibatkan pekerja dari suku Dayak. Dalam ekspedisi yang dimulai dari selatan Papua ini, dengan kondisi yang cukup sulit dan berat bahkan hampir menewaskan Lorentz karena medan yang ekstrim, namun berhasil mencapai wilayah kaki pegunungan Wilhelmina (Pegunungan Trikora). Namun ekspedisi ini memakan korban seorang Dayak tewas karena kedinginan di wilayah salju dan 2 pekerja Dayak lainnya meninggal kecelakaan. Mereka mencapai ketinggian 4461 meter DPL. Tempat markas Lorentz kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional Lorentz.
Ekspedisi ketiga lebih masif lagi ditahun 1912-1913, melibatkan 40 tentara Belanda, 120 pekerja Dayak dan 40 tahanan yang dipekerjakan, dipimpin Fransen, perwira KNIL ahli etnografi dan topografi, Dr Versteg untuk ahli zoologi dan antropologi, Hubrecht untuk geologi dan Pulle untuk ahli botani. Mengikuti jalur sebelumnya, mereka mencapai puncak gunung Wilhelmina (Trikora) di 4700 meter DPL dengan koleksi 1.000 jenis spesimen burung dan 1.400 spesimen botani (tumbuh-tumbuhan). Orang-orang Dayak yang baru melihat salju saling melempar salju karena gembira menemukan suasana baru. Sampai pada ekspedisi ketiga ini belum ditemukan indikasi adanya batuan yang berasosiasi dengan emas.
Ekspedisi Belanda selalu menggunakan bantuan asisten dari warga Dayak karena menurut mereka orang-orang Dayak sangat lincah di hutan dan memiliki kemampuan survival bertahan hidup yang terbiasa dengan alam liar. Warga dayak ahli membuat bivak, kapal kecil untuk sungai, tali temali, buka jalur, berburu dan lainnya, sehingga dalam setiap ekspedisi selelu dibawa dari Kalimantan.
Wilayah tengah Papua dieksplorasi pada 1920 melalui India Commite for Scientific Survey pimpinan Capt. Overeem dan Jongejans juga memperkerjakan ratusan warga Dayak yang dianggap memiliki keahlian tinggi dalam membuat flying camp atau rumah kamp dan mengayuh kapal sungai (kanoe) melalui Sungai Memberano. Ekspedisi ini gagal mencapai puncak karena keterbatasan logistik  namun berhasil menemukan kampung kecil baru penduduk lokal Papua yang terisolasi di Lembah Swart.
Pada tahun 1926-1927, kali ini peserta ekspedisi dalam jumlah yang lebih besar dipimpin ahli Antrologi asal Amerika Dr. Mathew Stirling dengan nama ekspedisi Stirling, dibantu kapal  terbang untuk memetakan hingga pegunungan Nassau Papua. Jika sebelumnya hanya menggunakan kamera hitam putih, kini sudah menggunakan rekaman film. Terlibat dalam ekspedisi ini 75 tentara dari Ambon, 130 Dayak dan 250 penduduk lokal  sebagai asisten pembantu.
Hampir setiap tahun terus menerus dilakukan ekspedisi eksplorasi di Papua hingga tibalah di tahun 1936, sejarah awal ditemukannya ‘Freeport’. Ekspedisi yang dipimping oleh Colijn dan Jean Jacques Dozy (ahli geologi) yang melakukan eksplorasi menuju pegunungan Cartenz (Puncak Jaya), gunung tertinggi di Papua, 4900 meter DPL. Dozy menemukan gunung ore (mineral) yang kaya copper atau tembaga, mineral ini berasosiasi dengan emas, namun karena keterbatasan waktu dan tebalnya salju membuatnya belum melihat banyak akan adanya emas tersembunyi di gunung yang disebut Estberg itu. Padahal 50 tahun kemudian gunung itulah yang kemudian dikenal sebagai tambang emas Grasberg Freeport.
Dozy bekerja pada Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) milik Shell (1935) dengan 40% saham Standard Vacuum Oil Company dan 20% Far Pacific Investment (Chevron).
Siapa tim yang membantu Colijn dan Dozy, tidak lain adalah 12 orang Dayak selaku asisten porter yang membantu pekerjaan flying camp sepanjang perjalanan. Dozy sengaja membawa tim yang lebih ramping agar tidak menyulitkan logistik. Bahkan suplai logistik dibantu dengan pesawat yang diterjunkan di beberapa titik jalur menuju Puncak Cartenz.
Bagaimana komentar Dozy tentang orang Dayak ?
“Hidup bersama orang Dayak ternyata sangat menyenangkan, mereka adalah orang-orang baik serta merupakan kawan yang menyenangkan dan yang paling penting, mereka sangat ahli tentang kehidupan di hutan.  Orang Eropa yang paling ahli belukar pun, tidak dapat menandingi (penciuman) hidung mereka.”
Tidak banyak yang paham bagaimana prestasi dan kontribusi warga Dayak terhadap penemuan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Semoga warga Dayak dapat mengukir prestasi perjuangan masa lalu kembali di benua etam yang akan menjadi ibukota Negara.
Nugrasius,ST
Koord. Forum Peduli Borneo
Tinggal di Samarinda

Senin, 27 Agustus 2018

Gubernur Baru dan Proyeksi Pertambangan Kaltim

Gubernur Baru dan Proyeksi Pertambangan Kaltim
Kaltimpost / TribunKaltim 28 Agustus 2018

Perekonomian Kaltim saat ini ditopang oleh 45% industri ekstraksi khususnya pertambangan batubara. Artinya hampir separuh roda perekonomian dan Penghasilan Asli Daerah signifikan dipengaruhi naik turunnya produksi batubara daerah. Kita dapat melihat ketika harga batubara melejit di tahun 2011-2012, dampaknya APBD Kaltim berada pada era keemasannya. Sebaliknya ketika harga batubara menurun dari 2013 dan terus meluncur sampai 2016, grafik APBD Propinsi dan kabupaten kota mengikuti hal yang sama, defisit.
Mau tidak mau, suka tidak suka, pertambangan batubara dengan dampak positif dan negatif nya perlu disikapi dengan bijak oleh stake holder bersama masyarakat, agar industri pertambangan berimplikasi baik untuk pembangunan ke depan, meski terdapat beberapa permasalahan sosial seperti korban tenggelam di kolam bekas tambang maupun masalah lingkungan.
Pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten kota telah menerbitkan Ijin Usaha Tambang sebanyak 1.404 IUP dari generasi awal hingga akhir di Kalimantan Timur dengan luas berkisar 5,2 juta hektar. Dari jumlah yang cukup besar tersebut, 506 IUP sudah berada tahap Ijin Produksi. Sejak tahun 2012 dengan dimulainya upaya perbaikan tata penambangan di seluruh wilayah Indonesia melalui proses Clear & Clear, pemerintah mengklaim telah mencabut 406 IUP, hampir separuh ijin.
Belasan IUP di sekitar kota Samarinda juga telah dicabut walaupun dampak negatifnya masih berjalan dengan terbukanya catchment area, lubang tambang yang membutuhkan dana recovery miliaran rupiah, sementara jaminan reklamasi kurang berjalan balik pada tahun 2010-an. Potensi banjir dan kematian warga pada lubang tambang sangat merugikan masyarakat ibukota Samarinda khususnya dan Kaltim umumnya, diluar kemampuan APBD dalam penanganannya. Padahal secara statistik Kaltim memproduksi rata-rata 200 juta metrik ton batubara pertahun, atau berkisar 40% produksi nasional. Tahun 2017 dihasilkan 82 juta metrik ton dari IUP dan berkisar 110 juta dari PKP2B (ijin pusat).
Jika 200 juta metrik ton dikali harga menengah batubara $45 per ton maka diperoleh gross revenue $9.000.000.000 atau 126 triliun rupiah (kurs 14.000). Asumsi keuntungan bersih 20%, maka diperkirakan perolehan profit net 25,2 triliun rupiah, atau tiga kali APBD Kaltim (enam kali PAD Kaltim). Jika dihitung melalui Pajak Penghasilan 7% dan Royalti, asumsi harga $45, royalty IUP 5% (menengah) dan PKP2B 13,5%, maka diperoleh penghasilan negara 21 triliun rupiah. Dari penghasilan besar tersebut ditambah migas dan lain-lain, Kaltim hanya memperoleh Dana Perimbangan 4 triliun rupiah rata-rata tiap tahunnya. Sementara 17 triliun disedekahkan untuk Negara, akan tetapi dampak lingkungannya hanya masyarakat Kaltim yang merasakan. Miris.
Dari gambaran di atas, menjadi gambaran tantangan bagi Gubernur baru terpilih, Bpk Isran Noor yang sudah sangat familiar dengan tambang semasa di Kutai Timur dan Wakil Gubernur baru terpilih Bpk Hadi Mulyadi yang lebih banyak bergelut di bidang pendidikan. Ada tiga poin yang dapat menjadi perhatian pemimpin baru ke depan untuk meningkatkan pembangunan Kaltim yang lebih optimal dan mensejahterakan masyarakat.
Pertama, menyusun perencanaan (atau merevisi) terkait tata penambangan 30 atau 50 tahun ke depan. Secara cadangan, Kaltim masih menyimpan cadangan batubara terbukti lebih 2 milyar metrik ton, terdiri dari lebih 1 milyar metrik ton di Wahau, lebih 500 juta metrik ton di Kutai Barat-Mahakam Ulu, sisanya lebih 500 juta metrik ton di Kabupaten lainnya. Umur tambang diperkirakan masih sampai 100-300 tahun ke depan (tergantung produksi tahunan). Wahau-Mahakam Ulu, belum terjamah karena berada di pedalaman, proses transportasinya yang cukup panjang dan cost yang tinggi sehingga penambang/investor masih memilih memaksimalkan wilayah hilir untuk eksploitasi.
Berbeda dengan Kalteng dimana batubara pada wilayah hulu (Puruk Cahu, Muara Teweh) sudah dieksploitasi meski highcost namun kalori yang tinggi menjadikannya tetap menggiurkan. Adapun Wahau proses transportasi sedang dalam pengerjaan, diperkirakan akan tumbuh kota baru ramai 5 tahun ke depan. Sementara Mahulu jika ingin meningkatkan PAD dan tentu berdampak pada penguatan dana infrastruktur jalan, perlu memikirkan pembukaan tambang baru 1-2 untuk menggenjot perekonomian kabupaten. Secara lingkungan lahan terganggu dari tambang hanya 1/5 jika dibandingkan industri sawit, namun secara penghasilan Negara, industri tambang justru menyumbang 5 kali lebih besar dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Diharapkan pemerintah kabupaten propinsi mengkaji lebih mendalam terkait hal tersebut.
Untuk meningkatkan PAD pemprov perlu menambah BUMD baru dalam menggarap industri tambang seperti yang telah berjalan pada PT. MSJ Separi. Dengan adanya BUMD-BUMD baru tersebut bersama skema kerjasama investasi dari Bank Kaltim diharapkan signifikan meningkatkan Penghasilan Daerah hingga berdampak pada bertambahnya APBD Kaltim ke depan.
Kedua, perbaikan tata kelola lingkungan akibat dampak pertambangan yang cukup berdampak negatif di sekitar kota Samarinda. Pemerintah perlu lebih bertindak tegas untuk menutup IUP-IUP yang beroperasi baik ilegal maupun proses penambangan yang tidak mengikuti kaidah yang benar dan merusak lingkungan. Dengan berpindahnya kewenangan ijin tambang dari kotamadya ke propinsi, maka pekerjaan rumah yang belum selesai oleh Gubernur sebelumnya mesti dituntaskan oleh Bpk Isran Noor. Tambang kecil yang tidak membawa manfaat bagi penghasilan Negara dan hanya menguntungkan pihak tertentu yang tidak peduli reklamasi harus sanksi atau dicabut IUPnya.
Penanganan banjir di kota Samarinda tidak akan selesai jika masalah tambang ilegal atau tanpa reklamasi belum diselesaikan terlebih dahulu. Fokus pengurangan catchment area hanya bisa dilakukan apabila tambang tersebut selesai beroperasi, dan yang telah selesai harus dimaksimalkan pekerjaan reklamasinya dari jaminan reklamasi ataupun dana lain dari investor sebagai kewajibannya. Sebagaimana kejahatan Narkoba dalam penanganannya membentuk BNN, maka kejahatan tambang perlu badan yang memiliki kewenangan dan profesional mengingat satgas terkait saat ini masih kurang maksimal dalam evaluasi dan punishment sehingga bencana lingkungan masih terjadi.
Ketiga, Dana Perimbangan yang masih kecil diterima Kalimantan Timur, menjadi PR bagi pemprov bersama wakil rakyat DPR RI/DPD RI untuk memperjuangkan hak Kaltim ke depan. Sedekah Kaltim ke pusat yang lebih besar pasak daripada tiang perlu dirasionalisasi, Bpk Isran Noor dan Bpk Hadi Mulyadi perlu kembali bergerak bersama rakyat Kaltim untuk menekan pemerintah pusat agar bisa lebih proposional terhadap propinsi penyumbang penghasilan Negara yang besar. Seluruh rakyat Kaltim siap berjuang bersama. Merdeka.


Nugrasius, ST
Kompeten Person Cadangan Coal (CPI CD)
Anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI)

Senin, 08 Agustus 2016

Tanjung Selor, Ibukota tanpa SPBU


Tanjung Selor, Ibukota tanpa SPBU
Bulungan Post Maret 2016
 
Tanjung Selor kian berkembang dari ke tahun ke tahun. Pertumbuhan penduduk, peningkatan infrastruktur, pengembangan wilayah terus meningkat, perlahan tapi pasti. Bahkan wacana pembentukan kotamadya pun muncul sementara penduduk dan interaksi ekonominya baru 1/3 dari Tarakan dan ½ dari Tanjung Redeb. Bisa dibayangkan jika Tanjung Selor menjadi Kotamadya, dengan kota seukuran 1.277 km2, kantor-kantor Pemkot, Pemda dan Pemprov berdesak-desakan melampaui sentra bisnisnya, lalu apa yang diurus ? Jumlah anggota dewannya barangkali hampir setara dengan jumlah ketua RW (rukun warga), anggaran membengkak, tapi darimana menambah PAD (Penghasilan Asli Daerah) ?
Salah satu yang menarik dari Ibukota Propinsi terbaru di Indonesia ini adalah, hanya ada 1 SPBU untuk melayani ribuan warganya. Jika memungkinkan untuk dikatakan, ibukota tanpa SPBU, karena tidak imbangnya rasio penduduk dan jumlah salah satu kebutuhan masyarakat, pengisian bahan bakar di SPBU. Hanya salah satu contoh yang perlu dipikirkan pada kota yang sedang berkembang ke depan.
Seolah-olah warga Tanjung Selor atau Bulungan dipaksa untuk membeli BBM di eceran dengan harga yang lebih tinggi yang ditetapkan pemerintah. Dan pemerintah selama bertahun-tahun menutup mata terhadap transaksi ‘paksa’ yang sudah dianggap biasa. Anggota dewan bertambah, instansi bertambah, selayaknya sentra-sentra pelayanan dan pengawasannya semakin meningkat, untuk kepentingan masyarakat, bukan semata untuk pemilik usaha.
Penambahan unit SPBU hampir selalu terganjal masalah, siapa yang mengambil keuntungan ? Masyarakat selaku konsumen sudah tentu menjadi korban yang tak tuntas. Haruskah warga Jelarai selalu berkendara 5km menuju satu-satunya SPBU hanya untuk mengisi beberapa liter bensin di motornya, pulang pergi 10 km sudah menghabiskan hampir 1 liter, disebabkan ketiadaan SPBU di sekitarnya. Pertanyaan kembali kepada, dimana peran pemerintah dalam mengayomi masyarakat ? SPBU hanya menjadi salah satu kasus ganjalan pada kota yang terus berkembang ini.
Sebagai propinsi baru, Tanjung Selor selaku ibukota propinsi harus bisa memberikan contoh yang terbaik dalam pengelolaan pemerintahan dan masyarakatnya. Mutasi pegawai telah berjalan dari Pemda ke Pemprov. Kajian analisa ilmiah proyek pengembangan pun telah digelontorkan dengan anggaran yang tidak sedikit. Pertanyaannya adalah, setajam dan sebaik apakah kajian-kajian yang telah dilakukan dengan rekomendasinya. Kedua, sejauh apa pemerintah dapat mewujudkan rekomendasi tersebut, dengan anggaran terbatas, logis dan sesuai kebutuhan prioritas masyarakat.
Jauh lebih prioritas untuk meningkatkan pertumbuhan gerak roda ekonomi Tanjung Selor dengan membuka dan memudahkan keran ijin usaha investasi, dan mendorong lebih kencang usaha ekonomi UMKM. Mulai akan beroperasinya PLTU PT.SAS diharapkan menarik investor luar lebih banyak masuk ke Bulungan, menyerap tenaga kerja dan suplier lokal sehingga memutar ekonomi setempat lebih baik. Hal tersebut butuh dukungan serius dari stakeholder sebagai kota yang sedang beranjak naik.
Pertumbuhan ekonomi meningkat, PAD bertambah, APBD surplus, SPBU dan sejenisnya bertambah, barulah bicara wacana pembentukan Kotamadya Tanjung Selor. Sehingga biaya kunjungan petugas negara ke Raja Ampat bisa dibayar melalui retribusi dan pajak masyarakat yang telah sejahtera. Salam Reformasi !
Nugra, ST

Perlukah DOB Samarinda Selatan ?

Perlukah DOB Samarinda Selatan ?
Radar Kaltim 2 Agustus 2016

Daerah Otonomi Baru (DOB) Samarinda Selatan/Seberang (SS) semakin mengemuka beberapa pekan terakhir di tengah melorotnya APBD hampir semua kabupaten/kota. Pertanyaannya apakah tuntutan DOB SS didasarkan sebagai upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan infrastruktur atau sekedar tujuan politis menambah kursi baru eksekutif dan legislatif ? Sudahkah dilakukan kajian ilmiah dan studi terhadap kebutuhan DOB tersebut ?
Salah satu studi untuk menganalisa urgensi kebutuhan tersebut ialah melalui studi komparasi, perbandingan kondisional geografis-demografis kota Samarinda dengan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Sehingga dapat memberikan gambaran seberapa 'kebelet' kah DOB SS ini diperlukan. Beberapa kota yang setara atau lebih besar di antaranya adalah Jakarta Makassar, Bandung, Medan dan lain-lain.
Secara statistik luas Kotamadya Samarinda adalah  (pembulatan) 720 km2 , lebih besar jika dibandingkan dengan Makassar  200 km2, Bandung  170 km2, Medan 260 km2 dan setara Jakarta 660 km2 . Sebaliknya penduduk Samarinda sebanyak 900.000 jiwa (pembulatan), lebih kecil dari Makassar 1.300.000 jiwa, Bandung 2.700.000 jiwa (3xSamarinda), Medan 2.400.000 jiwa dan Jakarta 9.000.000 (10xSamarinda). Dapat diketahui bagaimana kepadatan penduduk dari kota-kota di atas, Samarinda masih terhitung paling longgar atau masih sangat luas tanah yang belum dimanfaatkan sebagai pemukiman.
Secara administrasi tata pemerintahan, Samarinda memiliki 10 kecamatan, Makassar 14, Bandung 30, Jakarta terbagi lagi menjadi 44, sementara Medan 21 kecamatan. Kita melihat bagaimana Samarinda masih terhitung paling 'halus' secara statistik administrasi jika dibandingkan beberapa kota 'ganal' lainnya, namun kota-kota besar tersebut masih dapat dipegang oleh sepasang walikota dan wakilnya. Apakah Samarinda sudah pada kondisi overload sehingga jajaran eksekutif-legislatif disimpulkan tak sanggup lagi mengelola Samarinda yang 'halus' ini ?
Studi komparasi statistik sederhana di atas dapat kita nilai bahwa kondisi Samarinda secara keseluruhan masih dalam kondisi yang seharusnya masih dapat terhandle. Lantas apakah penyebab 'kebelet'nya wacana DOB SS ? Evaluasi berikutnya adalah tingkat kepuasan/ketidakpuasan masyarakat. Sudahkah dilakukan kajian tingkat kepuasan masyarakat SS ? Sudah gentingkah sehingga harus dimekarkan lagi ? Beruntung kalau PAD terbesar dari SS, tapi jika PAD terbesar ternyata dari Samarinda 'Utara'(SU), maka haruskah Utara nanti bersedekah pada penduduk Selatan/Seberang untuk APBD-nya ? Keributan banjir dan macet justru terjadi di SU jadi seharusnya SU yang meminta DOB mengapa justru SS yang telah memiliki jalan cor luas dan mulus yang minta talak ? Dimanakah dan seberapa banyak titik-titik banjir parah di selatan jika dibandingkan dengan utara ? 
Dengan APBD yang defisit saat ini bahkan sampai tahun depan, alangkah baiknya dikaji terlebih dahulu darimana pendapatan pajak,retribusi dan sumber lainnya SS jika masih 'ngotot' digelontorkan. Bayangkan ada dinas yang sama tingkat kota hanya berjarak 1 km, SU di Karang Asam, SS di Seberang, berapa puluh miliar dana yang digelontorkan untuk pengadaan dinas-dinas baru hanya untuk melengkapi syarat administrasi, jangan-jangan nanti ada dinas baru menumpang kantor dengan dinas lama, bari supan.
Industri-infrastruktur apa yang dimiliki SS untuk menopang perekonomiannya? Pelabuhan baru yang dulu diprotes, jalan cor yang dulu juga diprotes, tambang batubara yang sudah tutup sebagian dan sempat membanjiri satu kampung di Palaran, galangan kapal, perumahan, distributor semen, dan berbagai jasa lainnya. Cukupkah hal itu menopang APBD SS, mensejahterakan dan meniadakan lagi protes melalui sms ? Atau justru akan muncul banyak masalah baru ? Jika hasil kajian ilmiah objektif menghasilkan ketidaklayakkan, maka jangan sampai semangat DOB hanya untuk memuaskan dahaga kursi politik semata untuk beberapa orang/golongan.
Samarinda masih dalam fase pembangunan, dan terus berbenah, lebih baik mensinergikan mendukung program pembangunan bersama dengan kritik konstruktif. Dan jangan lupa sebelum mengkritik, pastikan sudah memiliki KTP Samarinda. Salam pembangunan !
Ir. Nugrasius

Senin, 31 Agustus 2015

70 Tahun Indonesia dan 700 Tahun Kutai Kartanegara

70 Tahun Indonesia dan 700 Tahun Kutai Kartanegara

Baru 70 tahun negeri ini menikmati kemerdekaannya dari penjajahan negara asing, bangsa asing dari luar wilayah nusantara. Setelah ratusan dijajah dengan tamak oleh bangsa Eropa, setelah ratusan tahun dikekang untuk tunduk pada aturan tanam paksa, kerja paksa hingga mati terpaksa, kini patutlah kita syukuri kemerdekaan karunia Tuhan melalui perjuangan berat para pahlawan kita dahulu.
Usia 70 tahun terhitung renta dalam ukuran umur manusia, namun dalam ukuran peradaban, tampaknya ia masih di usia ABG. Lihatlah imperium Romawi dan Persia yang berusia sekitar 1 milenium atau seribu tahun. Lalu dilanjutkan Khalifah yang berusia 1 milenium lebih, sementara kekaisaran Cina sudah 2 milenium lebih.
Nusantara, kerajaan besar Sriwijaya berdiri hingga 5 abad lamanya, menyisakan banyak jejak peradaban yang dilanjutkan Majapahit yang hanya berusia 1 abad lebih.
Berdirinya Demak dan Mataram pun hanya berusia 1 abad lebih, terhenti dengan kedatangan Portugis pada abad 16 M disusul Belanda. Dalam usia 70 tahun, sebuah prestasi yang luar biasa Indonesia masih dapat bertahan di tengah puluhan suku bangsa heterogen dan ketidakpuasan pembangunan di wilayah perbatasan dan pedalaman.
Jauh sebelum NKRI berdiri, Kalimantan Timur khususnya memiliki sejarahnya tersendiri dengan kerajaan Kutai Kartanegara yang bertahan 700 tahun lamanya. Paska runtuhnya Sriwijaya di adab 13 M, berdirilah Kutai Kartanegara di hilir Mahakam yang diperkirakan berasal dari sisa-sisa keluarga kerajaan dan masyarakat Sriwijaya yang berasimilasi dengan penduduk setempat dari wilayah Mulawarman. Pada masa yang sama catatan sejarah menunjukkan berdirinya Tanjungpura di Kalbar dan Nansarunai di Kalsel (cikal bakal Banjar). Kemiripan bahasa melayu salah satu faktor kuat persamaan asal muasal.
Kurun 700 tahun Kutai Kartanegara mengalami fase dan dinamika politik yang tidak kalah menarik dengan pilkada Samarinda. 
Pada abad ke 15 konflik politik di Kalsel melibatkan Demak dengan menangnya Pangeran Samudera di Kayutangi (kota Banjarmasin) melawan pamannya dari Daha Hindu Kaharingan di Amuntai. Bantuan Demak mensyaratkan Islamnya pangeran yang kemudian mendirikan kerajaan Banjarmasin. Konflik tersebut tampaknya memberi warna pada konflik 2 kerajaan di Sungai Mahakam antara Mulawarman dan Kutai Kartanegara yang dimenangkan Kutai pada abad yang sama. Tak berselang lama Islam pun menjadi agama kerajaan sehingga lahirlah gelar sultan, hampir bersamaan di seluruh nusantara.
Seabad kemudian di abad 17 raja bugis yang telah mengalahkan kerajaan Makassar Sultan Hasanuddin, berupaya mencaplok pesisir Kalimantan bagian timur. Wilayah batulicin, Kalsel timur berhasil dihalau Banjarmasin dengan perjanjian perdamaian, sementara kerajaan Paser berhasil dikuasai adapun wilayah Kukar pesisir dihalau Kutai dengan perkawinan antara putra raja bugis dengan putri raja kutai. Berlanjut seabad kemudian datanglah Daeng Mangkona dari Bugis Wajo meminta suaka politik, tempat berlindung pada Sultan Kutai, diberikanlah tempat wilayah 'sama rendah' di tempat yang sekarang dikenal Samarinda Seberang karena pada masa itu daerah 'Samarinda Kota' sudah ditempati warga Kutai, 'dayak', dan banjar.
Pada abad yang sama, abad 18, datanglah penjelajah Inggris yang sudah menguasai Sabah, memasuki Sungai Mahakam. Tak mengindahkan peringatan sultan, kapal Inggris dengan sombong dan berani masuk hingga hampir melintasi Loabakung/Loajanan, namun ditenggelamkan pasukan kerajaan Kutai dibantu warga setempat. Satu kapal ditenggelamkan sisanya melarikan diri. 
Datanglah Belanda. Masa damai bumi etam berubah menjadi lautan api saat Panglima Awang Long memimpin perlawan mengusir Belanda hingga berjumpa maut. Kini sang panglima hanya tinggal nama dipemakaman menyaksikan penyeberangan motor mobil tepat di seberang makamnya di tepi sungai Kota Tenggarong. Kutai Kartanegara dengan 'kampung' Samarinda-Balikpapan-nya tak lagi merdeka. Dengan perjanjian damai Belanda mendikte dan mencabut beberapa kebebasan dan kemerdekaan Kutai sebagaimana yang dialami seluruh kerajaan nusantara. 
Pergolakan upaya kemerdekaan hingga menemui momentumnya pada 17 Agustus 1945. Walau telat mendapatkan informasi proklamasi kemerdekaan, seluruh kerajaan nusantara pada hakikatnya menginginkan merdeka dari penjajahan baik Belanda maupun Jepang. Konsep NKRI masih dalam penggodokan dalam bentuk penyatuan kerajaan nusantara.
Usia Kutai yang melebihi NKRI, yang bersedia bergabung dalam NKRI tanpa embel-embel daerah istimewa sepatutnya mendapatkan apresiasi besar dari pemerintah. Sayangnya Kutai terpandang sebelah mata karena jauh dari interaksi pusat sejak masa pra proklamasi, hingga kini Kutai hanya sekedar menjadi sapi perah pusat. Tak salah ucapan Bung Karno, bahwa masamu lebih berat karena akan berhadapan dengan bangsa sendiri.
Kemurahan hati Kutai untuk melepaskan Samarinda dan Balikpapan dari wilayah kekuasaan pun ibarat susu di balas air tuba. Justru Kutai menjadi tertinggal dalam segala aspeknya dari dua kota yang lahir dari rahimnya. 
Sudah waktunya Kutai untuk tampil dengan peran lebih dalam kontruksi pembangunan Kaltim maupun pusat dalam aspek positif. Ataukah Kutai, sebagaimana peradaban lainnya yang silih berganti, akan hilang ditelan peradaban metropolis. Semangat perlawanan berani Awang Long dan semangat pembangunan Sultan Aji Sulaiman perlulah digerbak pada aspek intelektual dan politik yang tidak hanya macan kandang. Berani di kandang tapi ompong di pusat, banyak di rumah tapi kosong di Jakarta, yang menyebabkan kebijakan pusat tak prioritas pada Kaltim. Gebrakan tak sebatas ormas berpakaian loreng dengan embel putra asli minta jatah di perusahaan tapi minim karya tulis ilmiah dan penelitian mumpuni. 
Tujuh puluh tahun Indonesia dan tujuh ratus tahun Kutai Kartanegara, walau harga karet, sawit, batubara turun, namun tetaplah kita menaikkan bendera merah putih, menghormati dan mendoakan para pejuang pahlawan kita terdahulu. Merdeka !

Oleh Nugra,ST

Rabu, 17 Juni 2015

Akik Ulin Borneo khas Kaltim motif asma Allah dan motif Naga

AKIK ULIN BORNEO
MOTIF ASMA ALLAH
MOTIF NAGA / PHOENIX
asal LoaKulu perbatasan Samarinda - Kutai Kartanegara
Akik khas Kalimantan Timur








Pemilik Nugra 081255545444 - 2B0B005F
di Samarinda

Sabtu, 25 April 2015

Melanglang ke Tabang, Negeri yang Hilang



Melanglang ke Tabang, Negeri yang Hilang
Tabang, negeri yang tersembunyi di balik hamparan pepohonan di perut pulau Kalimantan menyimpan pesona tak terlupakan. Sebagai salah satu kecamatan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Tabang malu-malu bergeliat di balik luasnya Danau Semayang yang penuh misteri.
Tabang memiliki kekayaan melimpah, emas yang belum tersentuh, batubara yang separuh hidup, dan sawit yang luas. Bagi pecinta travelling dan off road, Tabang seperti gadis perawan yang bisa membuat petualang tak pernah puas menikmati keindahan dan tantangannya.
Kalau di Datah Bilang, Kutai Barat, kita mudah menemukan gadis Dayak yang manis-manis, di Tabang kita mudah menemukan pemuda Dayak yang gagah seperti artis-artis mandarin. Lebih dari itu, beras gunung dan ayam kampungnya yang lezat plus rendah kotoran kimia, membuat hidup lebih terasa hidup.
Perjalanan ke Tabang sangat mengasyikan dan penuh tantangan. Dari Samarinda menempuh perjalan darat ke Kota Bangun sekitar 3 jam. Kebetulan sekarang jalan sudah cukup mulus namun penuh tikungan mesti stok adrenalin. Entah kenapa kita di Kalimantan suka jalanan berkelok, selain karena mengambil alih jalan loging barangkali banyak kelokan menambah jumlah meteran jalan yang perlu dirawat. Anggaran lagi, lagi-lagi anggaran.
Pelabuhan Kota Bangun tepat di depan masjid raya, penuh parkiran mobil yang menginap dari para pelancong. Untuk membawa mobil ke Tabang seperti halnya penyeberangan Sungai Mahakam di Tenggarong, bedanya, karena jarak yang jauh biayanya berkisar 1-2 juta dari Kotabangun ke Kahala, mulutnya Tabang. Saya sempat menyeberang dengan kapal membawa Pajero, melintasi jembatan ‘Ali Baba’, jembatan yang dibangun tanpa ada jalan di kanan kirinya, mirip gapura raksasa, ikonnya Muara Bangun.
Pertama kali saya melanglang ke Tabang menggunakan ketinting atau perahu ces, perahu panjang menggunakan satu mesin kecil dengan penumpang rata-rata 6 orang. Melewati jalur air akan terasa menegangkan bagi yang tak bisa berenang apalagi yang belum terbiasa dan untuk pertama kalinya. Untungnya saya bisa berenang. Hujan deras ikut meramaikan kekhawatiran kalau-kalau ketinting terbalik, telebih saat memasuk Danau Semayang yang nampak seperti hamparan luas lautan, lebih mirip seperti di tengah samudera daripada kesan danau, sebab sejauh mata memandang nyaris tak terlihat adanya daratan.
Fenomena menakjubkan lainnya di danau Semayang adalah, saat tiba-tiba perahu nyangkut di tengah ‘samudera’. Kami pun kaget, di lautan luas ini ketinting ‘amblas’. Ada apa gerangan ? Tiba-tiba sang nahkoda menceburkan diri ke ‘laut’. Byurr. Ternyata kedalaman airnya hanya setinggi lutut. Bukan main. Kami pun ikut menceburkan diri ke ‘laut’ membantu mendorong ketinting keluar dari daerah dangkal. Lumayan satu tarikan selfie, berdiri di tengah laut, dengan latar perahu di lautan luas.
Ternyata Danau Semayang merupakan perairan dangkal yang luas, muara dari Sungai Kahala, Tabang. Jika surut, akan terlihat hamparan pasir dan lumpur yang luas, jika level muka airnya naik, rata-rata hanya 2-3 meter. Ramai warga mencari ikan dan kepiting untuk dijual di Melak sampai Samarinda. Inilah mata pencaharian utama masyarakat yang bermukim dekat dengan Danau Semayang dan Danau Melintang di sebelahnya.
Setelah melintasi Semayang selama 1 jam, butuh 1 jam lagi menyusuri sungai kecil Kahala yang dikitari rawa-rawa semak belukan untuk tiba di Kampung Kahala. Setelah ngopi-ngopi sejenak, perjalanan sudah bisa dilanjutkan melalui jalur darat. Rental mobil sudah siap menunggu di Kahala menuju Ritan, Tabang. Dengan jalan pengerasan mendatar batu pasir, terasa santai melintasi sawit dan perkebunan warga.
Tiba di Ritan, jalan cor beton sudah siap beberapa kilometer. Kaget juga melihat keberadaan jalan beton di pedalaman yang memanjakan truk-truk sawit melintas, sementara jalan Kukar di Loakulu-Loajalan masih jerawatan. Memang kondisi tanah Ritan dan sekitarnya agak berbukit sehingga sudah mampu menjadi landasan stabil untuk jalan cor, sementara jalan dari Kahala ke Kotabangun mesti melewati daerah rawa dan tidak ada gunung di dekatnya sebagai sumber material timbunan jalan. Hanya Amuntai di Kalsel yang berani menimbun 10 km jalan rawa dengan sumber material yang juga sangat jauh. Kapan Kukar berani mengkuti model jalan Amuntai ? Kita tunggu Bu Rita jalan-jalan berkunjung ke Amuntai.
Istirahat di Ritan, kami dimanjakan kuliner lezat alami yang tentu saja jauh dari oksidan racun kimia makanan kota. Nasi dari padi gunung dan sajian ayam kampung dengan sambal hijau membuat lupa kuliner perkotaan. Rasanya warga di sini bisa membuka warung di Samarinda Balikpapan dengan nama warung Ritan Baru, menggunakan bahan-bahan alami pedalaman yang pasti diminati kalangan menengah ke atas yang merindukan makanan sehat nan lezat.
Tak jauh dari Ritan Baru inilah pesawat kecil yang ditumpangi eksplorer Australia jatuh terjerembab tewas beberapa tahun lalu. Keberadaan emas di hulu Tabang tidak hanya mengundang para pendulang-pendulang tradisional yang masih berjalan hingga ke Mahakam Ulu, tapi beberapa investor asing pun diam-diam dengan helicopter curi-curi sampel emas untuk diuji lab. Akses jalan yang belum tersedia membuat cadangan emas di hulu masih awet untuk cucu kelak.
Sementara batubara Tabang sudah lama dibongkar grup Bayan milik Cina Malaysia, menggunakan Sungai Belayan dengan kapasitas tongkang sedang untuk pengapalan ke laut. Tiba musim kemarau, tambang pun menangis karena tongkang nyangkut di sungai yang mendangkal. Sementara jalur hauling darat ke Senyiur masih cukup jauh apalagi hadangan warga menguras tenaga dan dompet.
Umumnya batubara di Tabang memiliki kalori rendah hingga medium, dengan harga drop saat ini tentu saja industri tambang batubara Tabang semakin ngos-ngosan. Sementara sawit dan karet juga turun, semoga batu akik di hulu Tabang bisa menambah kocek masyarakat Tabang.
Jalur transportasi alternatif Tabang keluar adalah melalui jalur darat menuju Senyiur kemudian ke Muara Ancalong lalu turun ke Sebulu menggunakan jalur logging. Lama perjalanan kira-kira 5 jam lebih. Muara Ancalong dulunya jalur pelarian Kerajaan Mulawarman Martadipura saat berkonflik dengan Kutai Kartanegara 700 tahun silam. Tak heran di daerah Tabang – Muara Ancalong inilah ditemukan Patung Budha emas ukuran 5 cm yang saat ini tersimpan di museum Mulawarman Tenggarong.
Tabang, negeri yang hilang, menantikan gebrakan akses transportasi yang baik dari pemerintah daerah untuk peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap industri sumber daya alam yang bermanfaat dan ramah lingkungan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Saatnya Tabang menembus batas, dan mari melancong ke Tabang, siapa tahu ketemu akik jenis baru.


Salam,

Nugra,ST
Penjelajah Borneo