Jumat, 29 November 2013

Wajah Pendidikan Kaltim

Wajah Pendidikan Kaltim
oleh Nugrasius ST

Seberapa tinggi kualitas pendidikan Kaltim ditengah protes ribuan guru honorer yang selalu disunat gajinya, ruang kelas roboh, terkena banjir dan debu tambang, ranking universitas di luar 75 besar hingga dosen yang menjual nilai seharga seratus ribu rupiah ?
Apakah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat dijadikan parameter keberhasilan bahwasanya Kaltim dengan nilai 76,15 diurutan ke 5 nasional secara fakta lebih baik dari Jawa Barat yang diurutan 16 Nasional ? Bahkan Jawa Timur yang berada diurutan ke 17 nasional justru menjadi guru bagi Dewan Pendidikan Kaltim dengan proyek dari Institut Teknik Surabaya (ITS). Permainan rumus IPM untuk menghindari kecemburuan sosial di bidang pendidikan secara nasional tidak dapat menutupi jomplangnya kualitas pendidikan antara daerah Jawa dan Kalimantan.
Ada empat aspek yang perlu kita pertajam terkait rembuk pendidikan se-Kaltim yang dhadiri pihak Mendikbud ini pada tanggal 28-29 November 2013 ini.
Pertama, Visi Pendidikan Kaltim. Sejauh mana visi atau target dari akhir yang ditetapkan dari berbagai program pendidikan yang dilangsungkan oleh Dinas Pendidikan Kaltim yang digawangi Bpk. Musyahrim dan Dewan Pendidikan Kaltim yang dimotori Bpk. Bukhori ini ? Dengan anggaran pendidikan sebesar 1,8 triliun rupiah (2012) yang senilai dengan APBD banyak kotamadya di daerah lain, hingga 2 tahun ini kita belum memiliki kualitas pendidikan Kaltim yang melewati atau bahkan sejajar dengan mutu kualitas pendidikan di Jakarta, Bandung, Jogjakarta atau Surabaya. Publik berhak bertanya apa output dari insentif 200 miliar, BOSDA 144 miliar atau beasiswa 149 miliar yang terbesar se-Indonesia, semoga tidak sekedar mengejar rekor MURI. Dengan visi yang akan disusun oleh pemerhati pendidikan inilah maka evaluasi dapat dilakukan secara efektif. Selayaknya Kaltim memiliki visi pendidikan bahwa pada 2018, dengan anggaran terbesar se Indonesia, maka Kaltim harusnya telah menjadi kiblat pendidikan se Indonesia. Tidak lagi menjadi murid bagi perguruan tinggi dari propinsi lain, namun justru menjadi guru dan dosen bagi propinsi lain.
Kedua, aspek kualitas SDM pendidikan Kaltim. Program peningkatan sertifikasi  dan kompetensi bagi  58.800 guru/dosen di Kaltim baru menyentuh 40% nya hingga tahun ini. Apakah telah mencapai target atau belum hanya Dewan / Dinas Pendidikan yang tahu, atau bahkan tidak diketahui karena tidak adanya perencanaan dan evaluasi yang baik ? Ibarat tim sepakbola, peningkatan kualitas pemain telah dilakukan sebagian, namun bagaimana dengan pelatihnya ? Inilah yang belum tersentuh. Konseptor pendidikan di Kaltim tampaknya perlu menjadi pertanyaan, siapa dan bagaimana kualitasnya. Sehebat apa mapping dan cetak biru yang bisa ditata oleh para ahli di Kaltim ? Dalam tulisan sebelumnya tentang Revitaslisasi Perang Unmul (TribunKaltim Januari 2013 /www.nugrazee.blogspot.com), dapat kita lihat jauhnya kualitas Unmul dibanding universitas di Jawa. Mampukah konseptor, pengamat, para ahli di universitas membangun perencanaan dan melaksanakan peningkatan kualitas SDM pendidikan Kaltim yang baik ? Mengapa tidak membeli ‘pelatih’ dari para ahli di Jakarta untuk membantu total mendesain pendidikan Kaltim sehingga menjadi terdepan untuk kepentingan Kaltim ? Unmul yang digawangi Bapak Zamruddin ini hanya memiliki 150 doktor sementara Institut Teknologi Bandung (ITB) memiliki 745 doktor. Nah apakah yang hendak diciptakan oleh anggaran pendidikan APBD Kaltim senilai 2 triliun di tahun ini ? Menciptakan doktor dan penelitian siluman ? Semoga tidak. Semoga ke depan ada target peningkatan kualitas dan kuantitas SDM Kaltim secara angka dan persentasi.
Kita patut bersyukur salah satu langkah positif pemerintah dengan mendirikan Institut Teknologi Kalimantan. Namun impian ini masih jauh mengingat proses pembangunan yang masih cukup lama plus melengkapi fasilitas perkuliahan dan laboratorium yang cukup besar, semoga dapat terpenuhi tanpa mengurangi jatah kebutuhan fasilitas pendidikan pada daerah lainnya. Pemerintah juga perlu memikirkan pengadaan tenaga dosen yang total mengajar pada ITK atau perguruan tinggi (PT) lainnya, bukan lagi mengandalkan dosen terbang yang tidak pernah total memikirkan pembangunan Kaltim bahkan justru berupaya merawat agar proyek dosen terbang dan pembinaan berjalan secara abadi, sehingga mutu pendidikan Kaltim tidak akan pernah melampui mutu pendidikan darimana sang dosen terbang berasal.
Ketiga, Pemerataan Pendidikan. Saat ini fokus peningkatan aspek pendidikan Kaltim hanya fokus pada daerah pesisir seperti Samarinda, Balikpapan, Kutim, Berau, PPU dan Paser. Sementara daerah pedalaman atau perbatasan seperti Kutai Barat, Mahulu, Nunukan dan Malinau (sekarang Kaltara) masih jauh tertinggal. Beberapa universitas / perguruan tinggi unggulan fokus di Samarinda seperti Universitas Mulawarman, Untag, Poltek dan Widyagama, sementara di utara terdapat Universitas Borneo dan Balikpapan berupa Universitas Balikpapan dan STT Migas. Adapun di Tenggarong yakni Unikarta dan Universitas Sendawar di Barongtongkok masih dikelola Yayasan (swasta) dengan dana terbatas, sangat miris jika melihat rasio anggaran APBD yang besar namun tidak menyentuh perguruan tinggi tersebut dengan antusias. Wacana 3T (terpencil, tertinggal, terdepa) yang akan digaungkan pada Rembuk Pendidikan semoga tidak menjadi  slogan kosong, namun harus benar-benar dibuat perencanaan matang dan kontrol evaluasi yang baik sehingga peningkatan kualitas pendidikan daerah pedalaman dapat tercapai dengan baik.
Keempat, Aspek Audit. Aspek audit sangat penting untuk bisa mengevaluasi secara terukur dan benar sejauh mana upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan Kaltim berjalan. Kaltim Cemerlang kita harapkan mencemerlangi Kaltim, bukan mencemerlangi propinsi dari daerah luar Kaltim. Sebagai contoh, siapakah yang benar-benar menerima beasiswa Kaltim, benarkah warga Kaltim atau justru banyak diterima warga non-Kaltim ? Karena pada prosesnya ada pihak-pihak yang menjad kan proyek beasiswa tersebut, dengan memanipulasi data peserta sehingga terjadi kebocoran dimana penerima beasiswa tersebut bukan warga yang lahir di Kaltim dan tidak ber-KTP Kaltim. Selayaknya dewan pendidikan melakukan publikasi terbuka pada website, peserta penerima seluruh beasiswa. Sehingga program berjalan dengan transparan dan accountable. Transparansi juga diperlukan pada dinas Pendidikan dalam seluruh program pencapaian anggaran 2 triliun rupiah nya sangat besar. Dengan masih timpangnya kualitas pendidikan di Kaltim, patut menjadi pertanyaan kita semua, kemana penggunaan dana sebesar itu ? Keberadaan sekolah siluman di Kutai Kartanegara atau mungkin setiap daerah memiliki program siluman yang membuat kehilangan potensi masyarakat untuk mengakses biaya pendidikan yang disalahgunakan atau dikorupsi harus kita berantas bersama. Terlebih sunatan masal yang tak kunjung selesai terhadap honor dan insentif para tenaga pendidik, dilaporkan terancam dipecat, tidak dilaporkan terancam kredit menumpuk, sehingga tenaga pendidik tidak benar-benar fokus mendidik karena selalu harus mencari kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Semoga tulisan ini dapat menjadi advice dan pecut positif untuk perubahan wajah pendidikan Kaltim yang lebih baik.

Selasa, 12 November 2013

Longsornya (Jalan) Kutai Kartanegara, Tanda Antiklimaks ?

Longsornya (Jalan) Kutai Kartanegara, Tanda Antiklimaks ?

oleh Nugrasius ST
Koordinator Forum Peduli Borneo Kaltim
Kontak HP 081255545444
dipublikasikan TirbunKaltim 9 November 2013 halaman 7

Kutai Kartanegara sudah terkenal di Eropa sejak abad ke 19 karena produksi batubara dan migasnya. Bahkan wajah Sultan AM Sulaiman masuk dalam koran harian Eropa saat itu sebagai sultan dan kerajaan yang kaya.
Sayangnya akhir-akhir ini kita melihat drama ironi dari kabupaten yang yang pada tahun 2011 memuntahkan batubara 53 juta metrik ton atau senilai 26,5 triliun rupiah (dengan harga rata-rata Rp500.000,-/MT). Jembatan kebanggaan Kutai Kartanegara runtuh, pulau Kumala yang sepi, kasus hukum Patung Lembuswana, tidak memiliki bandara pesawat, hingga akhirnya jalan Sanga-sanga yang longsor.
Pembelian pesawat tanpa awak senilai 500 juta rupiah yang dibarengi longsornya jalan Sanga-sanga membuat kita bertanya seberapa baik kualitas SDM Kukar dalam mengelola segala aspek unsur pertumbuhan ekonominya? Seluruh jajaran pemda Kukar kompak membangun opini jalan longsor disebabkan bencana alam, sesederhana itukah para pejabat teknis yang sebagian sudah S2 menyimpulkan ?
Jika Bakri bisa memiliki tim pembela dari doktor profesor yang menggiring opini bahwa bencana lumpur Lapindo Sidoarjo adalah bencana alam, sehingga memperoleh bantuan APBN Miliaran rupiah, apakah pemda Kukar juga akan dibela para akademisi di Unmul / Kaltim ? Entahlah, namun saya teringat ketika sedang mengurus presentasi Rencana kerja sebuah perusahaan tambang di pada dinas pertambangan dan energi di salah satu kabupaten Kaltim. Budget yang diminta oleh pejabat tersebut dan wajib saya siapkan senilai 20 juta rupiah yang akan dibagikan kepada seluruh hadirin dari berbagai kabid, kasi dan kepala SKPD lain yang terkait. Saya membayangkan ada 100 lebih perusahaan tambang semisal di Kukar, menyetorkan hal yang sama, dimana setahun ada beberapa presentasi dan surat rekomendasi yang harus ditebus (royalti under table), barangkali penghasilan kepala pimpinan minimal 200 juta rupiah per bulan. Ditambah padatnya presentasi ratusan perusahaan membuat presentasi dilangsungkan secara singkat, laporan lingkungan dan teknis yang kopi pasta, tanpa kajian yang mendalam dan serius, tak heran banyak terjadi kecelakaan tambang. Masyarakat yang mati tenggelam di lubang paska tambang hingga putusnya jalan Sanga-sanga kemarin yang sempat beberapa kali saya lintasi sebelumnya.
Saya lebih mengkhawatirkan longsornya jalan di samping tambang PT. ECI yang sudah menunjukkan tanda-tanda indikasi akan longsor, namun tidak ada respon dari Pemda, justru terlebih dahulu longsor jalan poros Sanga-sanga tersebut. Dalam kajian teknis BLH, Distamben, dan Dishub, memiliki kewajiban analisa lingkungan, jarak aktivitas tambang terhadap fasilitas umum/publik. Namun melihat puluhan lubang tambang menganga baik aktif maupun tidak aktif dekat dengan jalan publik sangat jelas kita simpulkan tidak bekerjanya pejabat pemda terkait dalam hal pengawasan. Alasan kekurangan pengawas sangat irrasional terhadap aktifitas kegiatan dengan transaksi bisnis puluhan miliar rupiah per harinya.
Sudah saatnya Bupati Kukar Rita Widyasari berani dengan tegas menertibkan dan memberi sangsi keras terhadap kegiatan tambang yang tidak menerapkan prosedur penambangan yang baik atau good mining practice dengan dan harus mengacu pada stabilitas lingkungan. Penertiban konsultan lingkungan yang dibayar 100 juta untuk UKL/UPL dan 300 juta untuk AMDAL juga perlu diaudit dan ditertibkan selain BLH terkait rekomendasi lingkungan yang dikeluarkan benar-benar memiliki landasan ilmiah penelitian yang baik bukan berdasarkan tebal laporan dan amplopnya.
Fee royalti tambang yang banyak diterima pejabat pemda tampaknya membuat pengusaha dan mafia tambang merdeka dan bertindak sesuka hati melakukan eksploitasi dengan serakah. Semua permasalahan seolah selesai dengan acara pesta tengah malam dengan sajian wanita molek dan minuman keras. Seharusnya pejabat pemda tetap memiliki batas toleransi atau etika terhadap kegiatan mafia tersebut, guna mencegah derita penduduk yang terkena dampak banjir akibat tanggul jebol dan jalan runtuh. Seorang bupati atau walikota sebagai pejabat tertinggi  hendaknya tegas menghentikan kegiatan tambang yang melampaui batas, karena terkadang kepala dinas sungkan, jika tambang yang hendak dihentikan ternyata ada saham bupati / walikota di dalamnya. Mau mengehentikan bisa berakibat rotasi / mutasi jabatan di lahan kering.
Komitmen terpenting dari aspek perubahan ialah goodwill dari bupati/walikota terkait untuk menciptakan sistem tata kelola pertambangan yang lebih baik, tidak sekedar investor oriented tapi juga berorientasi pada peningkatan kesejahteraan ekonomi penduduk setempat secara signifikan. Hentikanlah menipu masyarakat dengan kegiatan CSR senilai 0,01% dari profit net perusahaan tambang, dipotret lalu dipublikasikan dikoran dengan meriah, sementara si pemilik uang bisa membeli Klub Sepak Bola Eropa triliunan rupiah. Semoga pemerintah daerah kita bisa lebih cerdas dan menjadi pahlawan di kabupatennya sendiri di Kaltim. Selamat Hari Pahlawan.

Rabu, 23 Oktober 2013

Sejarah Kalimantan,antara asumsi dan distorsi

Sejarah Kalimantan,antara asumsi dan distorsi
oleh Nugrasius ST
dipublikasikan Tribunkaltim  22 Oktober 2013 hal. 7

Menarik sekali kajian tentang temuan jejak prasejarah di gua karst yang menghasilkan interpretasi sejarah budaya manusia setempat berusia 10.000 tahun yang dibahas para arkeolog pada acara seminar cagar budaya kemarin di Balikpapan.
Sejarah ditentukan oleh penguasa, ungkap seorang ilmuwan. Sebagaimana sejarah penokohan Soeharto yang di blow up para think thank Soehartoisme sehingga menenggelamkan banyak aktor sejarah yang tak kalah signifikan perannya dalam membangun RI. Begitu pula tentang era Majapahit yang kitab kumpulan syair singkatnya baru didapatkan pada tahun 1971 dari Belanda. Saya membayangkan jika saja Soeharto seorang keturunan Palembang maka seluruh kurikulum sejarah dipastikan penuh cerita kejayaan Sriwijaya dan hanya menyisakan sedikit kolom untuk Majapahit dan kerajaan 'kecil' lainnya di nusantara.
Sejarah cenderung subyektif, ketiadaan sejarawan ahli keturunan asli Kalimantan membuat sejarah Kalimantan bersifat jawasentris karena para pakar doktor dan profesor didominasi dari Jawa sehingga perspektif dan interpretasi sejarah cukup sulit lepas dari ego menjaga superioritas masing-masing suku bangsanya sendiri. Tak heran Mulawarman dan batu prasastinya menjadi hanya seonggok cerita singkat tak lebih satu halaman karena tidak ada sejarawan Kutai ahli yang peduli untuk mengeksploitasi hal tersebut.
Hitler membangun jiwa superioritas bangsanya dengan mengangkat kebesaran Jerman di masa lalu, efeknya masyarakat Jerman selalu ingin terdepan. Begitu pula Jepang, Cina hari ini tak bosan mengangkat film kebesaran masa lampau, ada dampaknya, pengetahuan akan digdaya moyang masa lalu akan membangun mental percaya diri. Hal itulah yang dilakukan Soeharto dan kesultanan Jawa,yang diikuti oleh masyarakat Bugis sehingga mereka memiliki motivasi kuat untuk selalu tampil terbaik dan terdepan. Maka temuan prasejarah yang menyatakan bahwa masyarakat Sangkulirang sebagai yang tertua di Indonesia, bisa dipastikan tidak dipedulikan oleh tokoh dan pejabat di bumi etam, jika tidak menghasilkan duit, jadilah sejarah tersebut hanya tersimpan di museum dan perpustakaan, dan penduduk asli Kaltim tetap terkenang sebagai masyarakat 'koler' (pemalas).
Tulisan ini mencoba memberikan perspektif sejarah secara singkat dari distorsi (pemutarbalikkan) sejarah Kalimantan serta rekomendasi untuk pengambil kebijakan untuk lebih care terhadap history Kalimantan yang ilmiah.
Hingga saat ini cukup banyak legenda dan dongeng yang berkembang tentang asal mula masyarakat atau kesultanan di Kalimantan, baik Kutai, Banjar, Paser, Bulungan, Sendawar, Tidung dan lain-lain, namun sayangnya data informasi cerita/artefak tersebut tidak diproses menjadi produk ilmiah sehingga dapat dijadikan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Di Kaltim, satu-satunya sejarah lampau ilmiah ialah temuan prasasti Yupa tentang Mulawarman yang dikonferensikan para ahli Belanda pada pertemuan ilmiah dengan analisis data yang kuat. Diluar itu, sejak abad 6 sampai 18 masehi, berisi kumpulan cerita dan dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Transformasi kerajaan Kutai Martapura menjadi Kutai Kartanegara tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat dan jelas. Masuk Islamnya raja Kutai pun punya banyak versi yang belum tersimpulkan, apakah pendakwah dari melayu atau sulawesi, apakah berislam karena kalah duel ilmu gaib atau karena faktor faktual, tidak ada referensi yang jelas. Bulungan, proses pembentukan kerajaan/kesultanan dari kelas masyarakat Dayak Kayan/Kenyah masih terpendam pada tingkat cerita masyarakat. Bahkan di Sendawar, banyaknya guji kuno di museum lamin dengan nama Song, yang mungkin terkoneksi pada kekaisaran Song Cina di abad 10 Masehi, terisolasi dalam sejarah gelap karena ketiadaan tradisi ilmiah untuk mengungkap fakta-fakta tersebut. Batu Ukir di Sendawar yang serupa dengan model batuan Gunung Padang di Jabar yang tidak lain adalah hasil erupsi batuan beku berstruktur columnar joint, bisa saja Batu Ukir tersebut didramatisasi sebagai warisan prasejarah sebagaimana proyek dramatisasi Gunung Padang. Perolehan anggaran miliaran rupiah dan prestise, hasil menggadaikan ilmu saintis dengan produk sejarah digdaya masa lalu.
Masyarakat Kalimantan masih enjoy tenggelam dalam suasana sakralitas dan misteri, hal itu terkadang terasa lebih nikmat daripada membongkar situs sejarah untuk pengetahuan. Di Kalsel, sejarah kerajaan Banjar terbagi menjadi 3 versi, orang Banjar berupaya menjaga eksistensi bahwa kerajaannya yang baru berusia 500 tahun adalah turunan kerajaan Tanjungpura yang belum diketahui bukti sejarahnya sama sekali. Sementara Dayak Maanyan mengklaim bahwa Banjar adalah turunan kerajaan Maanyan Nansarunai yang runtuh diserang Majapahit di abad 14 Masehi dimana raja Maanyan terakhir, raja Anyan menyisakan turunan yang nantinya mendirikan Kerajaan Banjar dan Paser Belengkong di abad ke 16 Masehi. Sementara Soeharto pun membuat sejarahnya sendiri bahwa di antara Nansarunai dan Banjarmasin terbentuk kerajaan Negara Dipa dan Daha yang mana darah Majapahit punya investasi saham darah pada raja-rajanya. Bagaimana cara membuktikan mana yang benar ? Buka makam raja Banjar pertama di Banjarmasin dan makan raja Anyan di Balangan serta makam Ratu Paser di Grogot, lakukan tes DNA, uji kecocokan dan kebenarannya. Lalu pugar lagi makamnya menjadi lebih baik sebagaimana dilakukan peneliti pada makam raja-raja Firaun Mesir, Maya dan lain-lain. Namun dapat dipastikan hal ini akan ditolak para tokoh tetua yang tradisional dengan alasan menjaga sakralitas dan penghormatan. Apakah tujuan penelitian identik merendahkan? Pola pikir masyarakat kita masih tenggelam di era Zaman Kegelapan.
Oleh karena itu, butuh proses untuk membangun kesadaran kultur ilmiah terhadap sejarah peninggalan Kalimantan sehingga teka teki era Sangkulirang ke Kutai Martadipura dan koneksinya hingga saat ini dapat terjawab dengan benar. Sedikit mengherankan mengapa era paska Mulawarman hingga Kutai Kartanegara selama 700 tahun tidak menyisakan sejarah apapun di Kalimantan, hanya tersisa Sriwijaya dan Syailendra (Mataram Kuno) di nusantara pada abad-abad tersebut. Cukup aneh pula, profesor dan doktor Australia lebih dahulu meneliti konektifitas (Dayak) Maanyan dan Madagaskar (Afrika Timur) dimana hasil penelitiannya menyebutkan 50% bahasa Madagaskar merupakan Bahasa Maanyan (Barito). Interpretasi ilmiah yang berkembang, pendudukan Maanyan telah bermigrasi diperkirakan terjadi pada era Kutai Martadipura (abad 5M) atau era Sriwijaya (abad 7-10M). Para sejarawan Majapahit justru menelikung bahwa Madagaskar di bawah pengaruh Majapahit tanpa landasan ilmiah dan hanya didasarkan persepektif subjektif dan egosentris.
Nah, melalui momentum diskusi ilmiah Prasejarah Sangkulirang, diharapkan pengambil kebijakan di Kaltim seperti Bapak Gubernur Awang Farouk Ishak, Walikota Syahari Jaang, Bupati Rita Widyasari-Ismael Thomas-Isran Noor-Ridwan Suidi-Arifin Budiman-Undunsyah-Yusran Aspar dapat memberikan perhatian lebih terhadap aspek sejarah, sehingga terbentuk nilai sejarah yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, kedua proses, dimana dilakukan transformasi pola pikir dari tradisional menjadi intelektual dan ketiga pengelolaannya berupa produk 'proud' (rasa bangga) sehingga berkontribusi menciptakan SDM lokal dengan etos kerja tinggi, mandiri dan percaya diri. Salam.

Rabu, 18 September 2013

Menyambut Perda Perlindungan Tanah Adat dan Situs Budaya

oleh Nugrasius ST (25D44063)
dipublikasi harian Tribun Kaltim 19 September 2013

Eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali di tanah Kalimantan tidak hanya berdampak negatif pada kerusakan lingkungan yang makin kritis, namun dampak pada sosial budaya juga telah mengancam banyak persoalan yang berpotensi pada konflik horisontal.
Masuknya investasi besar-besaran yang mendapat ijin legal di atas kertas bermaterai Pancasila dengan luas ribuan hektar sering membuat investor gelap mata bahwa ada masyarakat lokal yang hidupnya terganggu karena hutannya berubah fungsi tanpa kompensasi memadai atau bahkan tanpa ijin pemilik tanah serta terganggunya situs peninggalan budaya menyebabkan berulangnya gesekan antar sesama masyarakat maupun aparat.
Menyadari hal tersebut, masyarakat yang tergabung dalam Forum Dayak Menggugat (FDM) pimpinan Rama Asia berupaya melakukan netralisasi penataan ulang dalam komunikasi antar kepentingan pebisnis,pemerintah dan masyarakat sehingga ketiga hal tersebut berjalan lebih sinergis dan meminimalisir konflik.
Setahun berjuang diplomasi dengan dukungan Gubernur Kaltim Awang Farouk, kemudian hearing di Kemenhut Pusat dikawal anggota legislatif Kaltim Saifuddin, Siswandi, Gani serta staf FDM Simon dan Paulo, guna menggugat RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) Kaltim dan Peraturan Undang Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengakuan Tanah Adat bukan Tanah Negara dengan Keputusan No.35/PPU-X/2012.
Dasar pengakuan tentang entitas adat telah tertuang pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi Negara mengaku dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Ketua MK, Aqil Mochtar menjabarkan bahwa tanah adat yang telah dimiliki turun temurun adalah hak masyarakat adat, tidak lagi digolongkan sebagai tanah negara sebagaimana disebutkan dalam UU Kehutanan.
Kementrian Kehutanan pun telah menindaklanjuti keputusan MK tersebut dengan membentuk Tim Kerja Penyusunan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dengan SK Mentri Kehutanan Nomor 3201/Menhut-II/Kum/2013 tanggal 18 Juni 2013.
Adapun Kalimantan Tengah telah maju selangkah dengan telah menerbitkan Perda Hak-hak adat serta hak adat atas tanah sehingga dapat membantu advokasi masyarakat lokal terhadap pencaplokan lahan oleh investor yang telah berlangsung belasan tahun.
Bagaimana dengan Kaltim ? Pada hari Kamis, 19 September 2013 akan dilakukan hearing naskah akademis dan draft raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Kaltim di Gedung DPRD Kaltim. Perda ini ke depannya menjadi definisi dan keputusan MK serta menjadi dasar hukum daerah untuk menyelesaikan perselisihan dan konflik terkait masalah adat dan lahan di Kaltim.
Entitas masyarakat dayak yang tersebar di kampung-kampung terpencil atau bahkan terisolasi namun hidup turun temurun dari hutan di sekitarnya namun tanpa memiliki surat tanah, inilah yang menjadi fokus advokasi melalui perda. Ketidakpahaman masyarakat dayak akan urgensi adminstrasi dari kepemilikan lahan telah menjadi obyek tindakan kesewenangan investor dan aparat merampas hak adat dan tanahnya. Adapun masyarakat transmigran telah terjamin lahannya karena telah memiliki surat tanah serta adatnya yang diakui negara, sementara wilayah-wilayah kesultanan (adat lainnya) pun memiliki dasar dan dukungan pemerintah sehingga memiliki kekuatan advokasi tersendiri maka tidak perlu lagi dukungan perda.
Masyarakat dayak melalui raperda ini mengharapkan dukungan seluruh masyarakat Kalimantan Timur sehingga perencanaan dan pembangunan terlaksana dengan lebih bijak, tertib, investasi berjalan baik dan konflik warga terhindarkan. Mari kita jaga falsafah 'dimana kaki berpijak,disitu langit dijunjung.' Salam.

Minggu, 01 September 2013

Rekontruksi Paradigma Pembangunan Daerah Pedalaman

Rekontruksi Paradigma Pembangunan Daerah Pedalaman
oleh Nugrasius ST
Tribunkaltim 2 September 2013

Daerah pedalaman Kalimantan atau daerah kabupaten yang berbatasan dengan Malaysia, seperti anak tiri dalam prioritas pembangunan baik nasional maupun pemda.
Proyek pembangunan yang digagas Awang maupun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesi (MP3EI) 80% berada di daerah pesisir. Daerah yang telah menjadi pusat pertumbuhan dan ekonomi semakin di booster kan untuk meningkatkan nilai tambahnya seperti Balikpapan dan Samarinda, sementara daerah pedalaman seperti Kabupaten Kutai Barat, Malinau dan terbaru Mahakam Ulu, tetap dalam stagnasi menanti keajaiban turun dari langit. Ribuan kilometer jalan tol dan jalur kereta api yang membentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, terus ditingkatkan terbang jauh di atas daerah pedalaman yang seolah tersistemasi untuk tetap dijadikan bangsa tertinggal dan penonton di tengah kencangnya progresifitas pembangunan Jakarta serta kota besar lainnya.
Pemerataan pembangunan hanya simbolis untuk menghias jargon cinta NKRI yang diucapkan ringan masyarakat perkotaan namun terasa tak bermakna bagi masyarakat pedalaman yang kesulitan akses jalan, pendidikan dan kesehatan. Revolusi dan rekontruksi paradigma pembangunan daerah pedalaman atau perbatasan perlu dilakukan oleh pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten sehingga pembangunan dapat terlaksana dengan tepat dan benar.
Identifikasi daerah perbatasan/pedalaman sebagai beranda rumah atau lebih tepatnya beranda dengan pagar penjara yang mematikan pertumbuhan ekonomi marsyarakat pedalaman wajib segera dirubah menjadi beranda terbuka, yang tidak memandang negara tetangga atau Malaysia sebagai negara musuh/haram yang selama ini menyebabkan pembatasan pola interaksi, hubungan dagang dan ekonomi kampung-kampung atau kabupaten di perbatasan.
Ketidakmampunan pemerintah dalam mempersiapkan sistem pengawasan daerah perbatasan beserta sarana pendukungnya kemudian menghasilkan konsepsi pembangunan daerah perbatasan sebagai halaman belakang rumah yang dibatasi tembok tinggi yang haram untuk dilintasi. Akan tetapi pemerintah mempermanis kondisi halaman belakang dengan istilah beranda Negara, istilah yang tetap membuat kampung-kampung di perbatasan tidak punya akses ekonomi ke rumahnya sendiri, NKRI.
Bagaimanakah rekontruksi paradigma model pembangunan yang tepat untuk daerah pedalaman sehingga dalam dekade ke depan ekonominya dapat berkembang pesat? Pemerintah daerah harus menggunakan model Austria-Swiss (AS) sebagai contoh pola pembangunan. Daerah Kabupaten Malinau, Kutai Barat, Mahakam Ulu, Murung Raya (Kalteng) serta Puttusibau (Kalbar) memiliki kondisi geografis yang sama dengan negara-negara seperti Austria-Swiss, dimana daerah tersebut berada di tengah benua/daratan yang tidak bersentuhan langsung dengan laut dan dikelilingan oleh negara lainnya.
Negara Austria dengan luas 83.858 km2 (hampir seluas Malinau 42.260 km2 ditambah Kutai Barat 31.628 km2) berbatasan dengan Swiss di Barat, Jerman di Utara, Hungaria di Timur dan Italia di Selatan. Terjepit oleh negara lain namun negara ini justru menjadi negara terkaya ke 12 dunia dengan pendapatan per kapita 420 juta rupiah per tahun (Kaltim 100 juta rupiah pertahun, dua kalinya Indonesia), atau penghasilan per bulan setiap warga Austria sebesar 35 juta rupiah. Austria membuat jaringan jalan seperti jaringan laba-laba ke segala penjuru ke segala negara tetangga, hanya dengan akses tersebut Austria bisa mempertahankan dan meningkatkan perkonomiannya. Olehnya Malinau, Kubar dan Mahulu hendaklah membuat masterplan pembangunan dengan membuka banyak akses jalan termasuk ke Malaysia tanpa sungkan dan khawatir. Dengan memposisikan kota/kabupaten sebagai terminal perlintasan perdagangan dari daerah utara ke selatan/sebaliknya dan timur ke barat/sebaliknya maka daerah perbatasan/pedalaman dapat berkembang pesat layaknya jalur sutra pada masa lampau.
Dalam hal sumber energi, 62% menggunakan sumber energy terbarukan berupa tenaga air, angin, surya dan biomass dan sumber dominannya menggunakan hydropower. Pemda dan DPRD kabupaten perbatasan perlu melakukan kunjungan kerja pada negara Austria maupun Swiss sebagai model masterplan.
Sementara Swiss dengan luas setara Malinau yakni 41.290 km2 dikelilingi negara Perancis, Jerman, Italia dan Austria. Swiss menjadi negara terkaya ke 9 dunia dengan pendapatan perkapita 450 juta per tahun. Negara ini mengandalkan perekonomiannya melalui ekspor bahan kimia 34%, mesin/elektrik 20.9%, jam 17% serta mengandalkan aspek perbankan dan turis. Tenaga air menjadi sumber energy terbesar yakni 56%, perlu menjadi perhatian pemda setempat untuk lebih serius mempersiapkan sumber energi berupa hydropower sebagaimana Swiss sehingga krisis listrik tak berkesudahan bisa tertangani tuntas beberapa tahun ke depan.
Sebagai bonus, konsepsi yang perlu dibangun oleh pihak eksekutif maupun legislative kabupaten perbatasan mesti membangun kemandirian untuk memajukan kawasannya tanpa banyak bergantung dan memelas pada propinsi maupun pemerintah pusat. Modal mental mandiri akan mengasah inovasi dan kreasi dalam mempersiapkan masterplan dan RTRW yang mendukung percepatan pembangunan. Lihatlah peta infrastruktur jalan kota Moskow yang posisinya mirip dengan Sendawar, Datah Bilang dan Malinau yang berada jauh dari bibir pantai. Moskow membangun lebih 12 akses jalan ke segala penjuru arah mata angin dengan kualitas jalan yang baik, tentu saja berimplikasi dalam peningkatan dan pertumbuhan ekonominya yang PDRB dan pendapatan perkapitanya hanya sedikit di atas Kaltim.
Jika Malinau dan Kubar membuka akses jalan yang bagus ke Malaysia, tentu saja Malaysia akan membantu menyambungkan infrastruktur jalan dari perbatasannya ke pantainya. Maka hal ini akan menggeser sebagian pusat perdagangan Indonesia yang semula berlabuh ke Surabaya, Jakarta, Makassar atau Balikpapan dari daerah utara Kalimantan seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, membetuk sentral baru di pantai Sarawak dimana Malinau, Kubar, Murung Raya dapat menjadi sentral jalur perdagangan darat yang ramai dan berkembang. Sehingga meningkatkan pendapatan pada sektor jasa dan pajak. Tentu saja pemerintah hanya perlu memperkuat sistem pengawasan daerah perbatasan, hal yang membuat daerah perbatasan hingga saat ini hidup bagai di penjara. Semoga bermanfaat untuk rekonsepsi pembangunan wilayah pedalaman/perbatasan.

Minggu, 21 Juli 2013

Kutai dan anak Nusantaranya



Kutai dan anak Nusantaranya
Acara tahunan Kutai yakni Erau baru saja usai digelar di kabupaten Kutai Kartanegara (EIFAF 2013). Dalam suka cita itu tidak banyak yang memahami bahwa sebagian  penduduk Jawa merupakan keturunan dari Kutai Martadipura.
Kutai Martadipura ditetapkan sebagai kerajaan tertua di nusantara yang ditandai dengan adanya peninggalan berupa batu prasasti (Yupa) yang bertuliskan tentang Raja Mulawarman yang tengah mengadakan acara keagamaan di daerah Muara Kaman, tempat prasasti ditemukan. Berdasarkan analisa paleografinya dan dikorelasikan dengan kerajaan regional di sekitar nusantara kemudian diperkirakan tulisan / peninggalan tersebut berasal dari abad ke 4 masehi.
Benarkah Kutai tidak memiliki konektifitas dengan kerajaan-kerajaan lain saat itu ? Masuknya agama Hindu sudah menjadi bukti kongkret bahwa Kutai telah melakukan komunikasi dengan dunia luar. Pada abad ke 4, Cina telah menyelesaikan episode Three Kingdom nya yang digdaya dengan teknologi kapalnya di abad ke 3 M, dan India melalui jalur laut, telah melakukan hubungan dagang dengan Asia Tenggara setelah masa transisi dari Budha ke Hindu. Sebuah artefak India dari dinasti Satavahana berupa koin di abad ke 2 M bergambar kapal menunjukkan aktifitas maritim India sudah sangat maju.
Perkembangan teknologi kapal pada saat itu menunjukkan masuknya Hindu ke Kutai diperkirakan melalui jalur Sungai Mahakam. Melalui proses interaksi intensif sehingga peradaban berkembang dimana sang Raja saat itu, Mulawarman membuat acara besar dengan menghadiahkan emas dan 20.000 ekor sapi kepada rohaniawan (brahmana) sebagaimana tertulis pada prasasti. Dengan kata lain, pada masa itu Kutai pun berkembang dengan mengenal teknologi pengolahan logam besi dan emas.
Secara umum sejarah Kutai yang kita pahami hanya sebatas penjelasan di atas, kemudian tiba-tiba tersambung ke abad 13 Masehi dimana terjadi suksesi kerajaan dari Kutai Martadipura menjadi Kutai Kartanegara ing Martadipura yang berposisi di hilir Sungai Mahakam, Kutai Lama dengan rajanya  Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Dimana kondisi regional saat itu, Singasari telah melakukan ekspansi ke Sumatra dan merontokkan kedigdayaan Sriwijaya. Apakah Kutai Kartanegara sisa-sisa pelarian Sriwijaya sebagaimana sebagian Sriwijaya hijrah ke daerah Banjarmasin dan diberi tempat oleh kerajaan Nansarunai  (maanyan) ? Entahlah. Hal yang coba kita perdalam pada tulisan ini adalah Kutai periode sekitar Mulawarman di abad ke 4 Masehi.
Van der Meulen, 1988, dalam bukunya Indonesia di Ambang Sejarah, menyatakan bahwa pada abad 4-5 Masehi masyarakat Kutai sebagian melakukan migrasi ke pulau Jawa melalui kapal hingga tiba di Cirebon. Kemudian perlahan-lahan masuk ke arah Barat dan Selatan Jawa, sebagian menuju Gunung Ciremai melahirkan Sunda (tak heran penduduk Sunda berkulit putih persis Kutai), sebagian  menuju Gunung Slamet. Setelah berkumpul masyarakat dalam jumlah banyak di daerah Gn. Slamet lantas dibentuklah sistem pemerintahan kecil atau kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan Galuh Purba.
Wilayah Galuh Purba cukup luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo hingga Purwodadi. Perlahan-lahan turunan Galuh Purba di barat terbentuk kerajaan Galuh Kalingga sedangkan di timur lahirlah Tarumanegara. Galuh Purba kemudian bergeser ke arah barat di Garut membentuk Galuh Kawali yang belakangan tunduk pada kerajaan Tarumanegara dibawah pimpinan Purnawarman yang lebih berkuasa di abad ke 5 M. Saat Tarumanegara dipimpin Candrawarman periode setelah Purnawarman, Galuh Kawali memisahkan diri membentuk kerajaan Galuh yang nantinya melahirkan kerajaan Padjadjaran di Jawa Barat.
Kerajaan Galuh berikutnya melakukan persekutuan dan pernikahan dengan keluarga kerajaan Kalingga (daerah Semarang) yang belakangan melahirkan kerajaan Sanjaya, dinasti yang melahirkan kerajaan-kerajaan di pulau Jawa. Salah satu prasasti bukti hubungan keberadaan Kutai ialah ditemukannya Prasasti Pasir Koleangak atau Prasasti Jambu yang ditemukan di kebun jambu, 30 km sebelah barat Bogor yang menggunakan bahasa Sansekerta berhuruf Pallawa yang berisi pujian terhadap pemerintahan Mulawarman serta gambar bentuk telapak kaki yang berdasarkan ungkapan warga setempat dalam penuturan sejarahnya sebagai telapak kaki raja Mulawarman.
Erau telah usai. Galuh, Tarumanegara, Kalingga dan Sanjaya pun telah berlalu dalam rotasi zaman yang silih berganti. Jika Soeharto membangun doktrin dan digdaya Majapahit melalui sejumput kitab yang berisi kumpulan syair Negarakertagama yang baru ditemukan di tahun 1971 oleh Belanda. Maka Kutai pun bisa membuat sejarah imperiumnya sendiri, bahwa Majapahit sebagai turunan Sanjaya, tak akan lahir jika Kutai dan Mulawarman-nya tidak bermigrasi ke pulau Jawa. Semoga sepenggal ungkapan sejarah ini memberi percikan api bagi Kutai dan Kalimantan Timur untuk berkompetisi membangun negerinya lebih baik, lebih makmur dan bersih dari budaya korupsi.

Nugasius ST
Koordinator Forum Peduli Borneo wilayah Kaltim
Nugra.sius@yahoo.com

Kamis, 20 Juni 2013

Menjadi Aktifis !

Menjadi Aktifis !
Tribunkaltim 20 Juni 2013 hal 7
by Nugraze

Menjadi aktifis? Apa enaknya? Sibuk mengurus kepanitiaan, berorganisasi, demo, orasi, nilai kuliah C hingga terancam diskors karena terlalu lantang mengutarakan aspirasi atau bahkan masuk bui wajib lapor 1 bulan. Tapi mengapa aktifis tak pernah sepi di negara manapun dan kapanpun?
Aktifis lahir dari jiwa muda yang rindu perubahan. Ia bunga dari pikiran kritis guna merekontruksi peradaban. Aktifis selalu sejalan dengan pemberontakan, pergerakan yang mengejawantah dari kepedulian tanpa pamrih.
Apa jadinya jika Soekarno larut dalam konsultan arsitekturnya dan tak peduli pada nasib bangsa ? Mungkin Soekarno tidak pernah dikenal seluruh dunia dan dikenang sebagai pahlawan jika ia hanya sibuk mencetak biru bangunan sipil tanpa empati dengan kondisi nusantara. Kitab 'Indonesia Menggugat' mungkin hanya sebatas kitab tender bangunan hotel di Bandung.
Soekarno memilih menjadi aktifis dan ia mendapatkan jalannya, dibuang di Ende, dan Tuhan membayarnya dengan amanah Presiden RI pertama.
Era terus berganti, ada rezim yang zalim, ada perlawanan, ada aktifis. Aktifis memberi harapan pada rakyat yang semaput di kegelapan asa. Aktifis mengorganisasi massa guna menyuarakan ketidakadilan yang dipromosikan penguasa sebagai keadilan. Aktifis dengan kelebihan intelegensianya, puncak harapan untuk perubahan yang lebih baik.
Menjadi aktifis berbanding 180 derajat daripada selebritis, seleb dikejar wartawan, aktifis dikejar aparat. Seleb memberi hiburan, aktifis memberi harapan dan provokasi perubahan yang tidak jarang diusir karena mengundang murka penguasa. Seleb digajih tinggi, sementara aktifis, untuk mendapatkan nasi bungkus saja mesti menyebarkan proposal.
Nasib aktifis sering nampak terkatung-katung, namun mimpi idealisme yang tergambar jelas di benaknya membuat aktifis semakin kencang berlari menggeret perubahan seterang tulisan di dinding kamar Soekarno muda bahwa 'disini perubahan nusantara dimulai!'
Aktifis haruslah punya konsep perubahan yang tersusun rapi, dengan tahapan dan solusi yang jelas, bukan letupan semangat tiba-tiba tanpa pondasi ilmu dan desain yang integral. Aktifis bukan sekelompok orang bayaran yang demo membela yang bayar atau membuat survey manipulasi sesuai order. Aktifis rela mengorbankan segenap jiwa raga waktu pikirannya untuk idealisme perubahan yang lebih baik bagi bangsa dengan bahasa yang sama, menegakkan keadilan, pemberantasan korupsi serta menjadikan bangsa bermartabat di mata rakyat dan bangsa lainnya.
Soekarno jatuh di tangan Soeharto bersama CIA dan mafia berkeley nya, namun lebih tragis Soeharto terjungkal di tangan aktifis. Suara aktifis ibarat gelindingan salju yang terus berputar semakin menebal hingga menghantam keras. Aktifis bekerja pada tataran kepedulian, sebagaimana pahlawan. Jika pada masa penjajahan pahlawan menggunakan senapan, aktifis masa kini bermodalkan pena, atau barangkali dengan tekonologi masa kini, broadcast BBM, grup FB, twitter dan sosial media lainnya, guna menyebarkan opini perlawanan positif terhadap kezoliman penguasa.
Memasuki momentum tahun politik, yang mana pembelian sebungkus nasi kuning pun bisa dipolitisasi menjadi isu politik, hendaklah aktifis hadir, independen dan terlibat proaktif mengawal perubahan sehingga proses dan produk politik di tahun politik ini berjalan beradab dan bermanfaat bagi masyarakat negara. Celah-celah korupsi untuk dana pemenangan pemilu namun merugikan anggaran rakyat, akan sangat banyak terbuka lebar, membutuhkan keberanian dan kekuatan aktifis untuk menghantam jera penghisap darah rakyat sebagaimana wasiat Soekarno,'perjuangan kalian lebih berat dari saya, karena kalian akan menghadapi bangsa sendiri'.
BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas, Gerakan kemahasiswaan ekstrakampus (HMI, KAMMI, GMNI dll) dan Ormas hendaklah bergabung bersama menjadi pahlawan untuk mengawal Kaltim dan Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Bergerak Tuntaskan Perubahan!

Rabu, 15 Mei 2013

Corporate Social Responsibility, untuk apa?

Corporate Social Responsibility, untuk apa?
Oleh Nugrasius ST
Koordinator Forum Peduli Borneo
Dipublikasikan Tribunkaltim 16 Mei 2013

Jika tidak ada yang menuntut, apakah perusahaan yang berprinsip mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, akan mengeluarkan CSR (Corporate Social Responsibility) untuk masyarakat ? CSR atau sebelumnya dikenal sebagai community development (Comdev) yakni pengembangan masyarakat berupa program bantuan perusahaan untuk meningkatkan taraf hidup di lingkungan sekitar perusahaan bekerja, semakin giat dalam pewacaan dan penajaman implementasi di masyarakat. Sebuah pertanyaan sederhana, sudah cukupkah nilai CSR yang dikeluarkan perusahaan ? Anggap saja nilai terkecil 1% dari gross profit (keuntungan kotor) dari beberapa perusahaan berikut. PT. Kaltim Prima Coal (KPC) pada tahun 2012 memproduksi 43 juta metrik ton batubara, dengan asumsi harga minimal di vesel yakni Rp 600.000,- per metrik ton, maka KPC memperoleh keuntungan kotor 25,8 triliun rupiah atau perharinya senilai 70 milyar rupiah yang keluar dari perut bumi Sangatta.

Jika kita mengambil CSR 1% dari gross profit KPC maka kita memperoleh 258 miliar rupiah di tahun 2012 atau 700 juta rupiah per hari. Bisa kita bayangkan betapa makmur dan kaya rayanya Sangatta, Kutai Timur atau Kaltim jika CSR dengan nilai yang sangat kecil tersebut bisa diwujudkan. Dengan 700 juta rupiah perhari tersebut kita sayangkan infrastruktur Kutim cukup terkenal sebagai jalur darat terparah di Kaltim. Pertanyaan berikutnya kemanakah dana itu perginya ? Dan jika ditingkatkan menjadi 5% bagaimana wajah Sangatta dibandingkan Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar ? Ketidakjelasan arah CSR apakah ada korelasinya dengan wacana keberanian Isran Noor maju di kelas Cawapres RI karena modalnya tentu diatas kelas Cagub. Entahlah.

Bagaimana dengan PT. Berau Coal ? Perusahaan PKP2B di kabupaten pimpinan Makmur ini mencatatkan produksi 21 juta MT di tahun 2012 dengan asumsi yang sama dengan PT. KPC di harga minimal diperkirakan keuntungan kotor di 12,6 triliun rupiah. Jika kita ambil 1% maka besarannya 126 miliar rupiah, mari kita recek, apakah CSR yang telah diimplementasikan PT. BC saat ini sudah melewati 0,5% dari gross profit ? Sehingga masyarakat di sekitar bisa menikmati walau hanya secuil dari triliunan rupiah atau 34 miliar rupiah per hari yang dibawa keluar dari tanahnya berpijak ? Di Kutai Barat, PT. Trubaindo mengeluarkan batubara senilai 11 milyar rupiah perhari, sementara PT. Mahakam Sumber Jaya di Samarinda senilai 13 milyar rupiah per hari. Betapa kaya rayanya bumi etam. Tapi dimana kekayaan itu wujudnya ? Kekayaan yang masyarakat nikmati hanya air yang berlimpah atau banjir yang meneror alias kerusakan alam bahkan dengan recovery ratusan milyar yang harus ditanggung Pemda dan masyarakat sementara tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan social sangat jauh dari harapan. PT. MSJ yang sahamnya dimiliki pemerintah toh tidak dapat memberikan teladan yang baik dalam program CSR bagaimana pula dengan perusahaan 100% swasta yang hanya focus pada profit besar ?

Jika PT. KPC diperingkat pertama sebagai produsen batubara nasional dan PT. BC diperingkat ke-5, bagaimana pula dengan PT. Kideco dengan peringkat ke-3 nasional ? Fakta menunjukkan infrastruktur jalan di Paser terburuk kedua setelah Kutim. Lantas kemana arah CSR perusahaan-perusahaan tersebut ? Bagaimana pula CSR dari sektor  Migas dari PT. Total Indonesie, Vico, Medco, Chevron dan lain-lain. Kita tidak merasakan nilai CSR yang layak sebagai kontribusi peningkatan taraf hidup masyarakat lokal/setempat khususnya dan Kaltim umumnya.

Jika saja perusahaan-perusahaan di sektor tambang dan migas dikelola oleh masyarakat Kaltim sendiri, tanpa ada istilah CSR, bisa diyakini Kaltim sudah memiliki ribuan kilometer jalan tol, universitas-rumah sakit kelas internasional bermutu, beberapa bandara penerbangan dan pelabuhan internasional, yang sejajar dengan Turki dan Polandia bahkan diatas Malaysia.
Namun keterbatasan SDM dan modal memposisikan kita menjadi pengemis di tanah sendiri. Menuntut, bahasa halus dari mengemis CSR kita lakoni demi sesuap nasi yang jumlah butir nasinya pun kita tidak tahu berapa, siapa yang mengaturnya dan siapa yang makan. Problem terkini yakni semakin berkurangnya jatah CSR warga setempat sebagai ring satu daerah terganggu atau terkena dampak lingkungan terparah, dikurangi dengan adanya Perda tuntutan CSR untuk daerah hilir yang tidak terkena dampak buruk aktifitas perusahaan seperti Balikpapan, Jakarta dan nasional.

Perusahaan tersebut di atas contohnya membantu beasiswa di perkotaan di Jakarta yang tidak terkena potensi/risiko dampak lingkungan atau gangguan kerja perusahaan, sementara masyakarat lokal masih banyak yang belum berpendidikan layak, termasuk aspek kesehatan, bantuan infrastruktur dan lain-lain. Inilah problem kedua CSR, ketimpangan dan tidak tepat guna dari CSR yang perlu diformulasikan ulang. Pemerintah daerah kurang dapat diandalkan dalam memperjuangkan CSR secara optimal dan tepat guna, selain tidak dapat mempertanggungjawabkan CSR dengan baik dan benar, potensi penyelewengan CSR dari perusahaan yang dilakukan oknum pemerintah juga cukup besar. Oleh karena itu perlu control bersama dari lembaga non pemerintah dan masyarakat dengan melakukan reformulasi yang benar, dalam hal nilai persentase CSR/Comdev, proses implementasi hingga pelaksanaan dari CSR itu sendiri.
Perda CSR Kaltim yang telah diterbitkan melalui persidangan bulan April 2013 kemarin dipimpinan Yahya Anja dan Hadi Mulyadi menunjukkan pada pasal 23 (1) besaran CSR ialah 3% dari keuntungan perusahaan. Angin positif ini menyisakan tantangan yang perlu diselesaikan berupa transparansi dan publikasi terhadap CSR yang berjalan. Guna menghindari penyelewengan alokasi CSR ini, maka perlu dilengkapi aturan agar perusahaan melakukan publikasi terbuka implementasi CSR-nya baik melalui website, media lokal maupun sosial media lainnya sehingga dapat termonitor bersama seluruh elemen masyarakat. Semoga ke depan pengelolaan alokasi dana CSR/Comdev dapat terlaksana dengan lebih baik dan tepat sasaran dengan pencapaian terukur yakni meningkatnya taraf hidup masyarakat di sekitar wilayah perusahaan. Salam perubahan !
 

Selasa, 16 April 2013

Mencari kepala daerah yang bertanggung jawab

Mencari kepala daerah yang bertanggung jawab
oleh Nugrasius ST
dipublikasikan TribunKaltim 17 April 2013

Apa kabarnya Bapak Suwarna, Ngayoh, Amiens, Imdad, Hafidz, Sofyan, Marthin, serta mantan kepala daerah lainnya ? Kemana mereka ? Masih adakah sisa kepedulian dari mereka pada daerah yang pernah dipimpinnya ?
Nyaris tidak ada lagi sumbangsih pemikiran dan keringat setelah mantan kepala daerah ini menanggalkan jabatannya. Pikirannya fokus untuk mencari jabatan yang lebih tinggi lagi. Psikologi dan motivasi apa yang melatari kepedulian kepala daerah terhadap daerah yang dipimpinnya dapat terlihat pada kontribusinya setelah selesai masa kepemimpinannya. Bekerja tulus dan bekerja karena uang, proyek, kekuasaan bisa kita simpulkan saat mereka tak lagi memimpin dan apa yang ditinggalkannya.
Bagaimana metode para kepala daerah ini mengeksploitasi persenan dari setiap proyek dapat kita lihat di akhir masa jabatannya. Proyek-proyek besar segera dilelang dan dikerjakan, komisi masuk ke kantongnya, menyisakan pekerjaan tanpa komisi pada kepala daerah berikutnya. Itulah mengapa jembatan mahkota dua tak kunjung usai. Karena komisi sudah habis dikantongi pimpinan sebelumnya. Itulah mengapa berganti kepala daerah maka seringpula berganti kontraktor, salah satu sebabnya adalah mengadakan resource komisi baru.
Orientasi pada uang ini menjadi sebuah kultur sehingga setiap kepala daerah berlomba-lomba mengkapitalisasi sumber uang pada masa kepemimpinannya dan tidak ada kepala daerah yang peduli apa yang akan terjadi pada 5, 10 tahun yang akan datang terhadap keputusannya hari ini.
Bencana banjir yang kian parah dan tak terkendali di ibukota propinsi Kaltim salah satu dampak keputusan memberikan ijin tambang dan perumahan sebanyak-banyaknya yang ditanda tangani 5-10 tahun lalu. Seolah tutup mata pada hancurnya lingkungan di Kalimantan Selatan karena tambang skala kecil 10 tahun lalu. Bupati Kutim dan Kubar lebih bijak dengan ijin tambang minimal 5000 hektar sehingga penambangan dilakukan oleh perusahaan besar yang mampu membiayai reklamasi dengan biaya besar, bukan kelas koperasi atau di bawah 500 hektar yang tidak punya dana untuk reklamasi dan recovery lingkungan. Untuk tambang besar pun terkadang lalai dalam lingkungan, terlebih lagi tambang kecil di sekeliling Samarinda yang mencari keuntungan secepatnya dan sebesarnya kemudian kabur meninggalkan lokasi tambangnya.
Kebijakan pembukaan sawit dalam skala besar pada periode kepemimpinan saat ini juga dapat dipastikan akan menjadi bencana lingkungan pada 10 tahun yang akan datang. Siapa peduli ? Fee tambang, sawit, plasma masuk rekening pejabat, sementara sedimentasi akan semakin parah dan tentu saja banjir semakin tak tertangani. Biaya recovery banjir ratusan miliar justru menjadi santapan baru para tikus berdasi.
Masyarakat menjadi korban dari kebijakan yang berorientasi uang untuk sekelompok pejabat  sementara mantan kepala daerah bersama rombongan kabinetnya menghilang tanpa jejak menikmati kekayaan hasil 'kerja kerasnya' tanpa peduli lagi dengan kondisi masyarakat masa kini.
Kita memerlukan kepala daerah yang bekerja seperti Soekarno berjuang mendirikan negara. Tidak ada bayang-bayang apartemen mewah, yang ada bayangan todongan bayonet Jepang dan Belanda. Kita seharusnya memilih kepala daerah yang berani membela rakyat, memprioritaskan kepentingan masyarakat, berorientasi kemakmuran daerahnya dalam jangka panjang. Menomorduakan investor yang membawa hasil kekayaan dan hasil penjualannya ke Jakarta atau negaranya di India, Cina, Korea, Thailand, US dan lain-lain.  Soekarno mewariskan NKRI, Soeharto mewariskan hutang 1000 triliun rupiah, SBY 100 triliun rupiah. Siapa yang menikmati siapa yang membayar ?
Partai dan siapa yang kita pilih kemarin, hari ini dan akan datang adalah cermin diri kita juga. Memilih siapa yang bayar harus berani kita pertanggungjawabkan dengan tidak mengeluhkan atas bencana yang kita terima hari ini dan kelak. Memilih untuk tidak memilih pun memiliki konsekuensi terhadap terpilihnya kepala daerah yang mungkin paling tidak bagus diantara yang tidak bagus. Olehnya jadilah pemilih cerdas serta mampu mengawal meluruskan apabila kepala daerah pilihannya bengkok, tidak amanah, sebagai bentuk pertanggungjawaban kita, bukan sekedar mengirim sms keluhan setiap hari di koran lokal.
Terakhir mari kita evaluasi ulang siapa yang kita pilih kemarin sehingga menjadi kepala daerah hari ini, Pak Awang, Farid, Syaharie, Nusyirwan, Rizal, Heru, Rita, Adi, Burhanuddin, Ridwan, Thomas, Isran, Makmur, Udin, Yansen, Basri dan Pak Budiman. Apa yang mereka bicarakan, peluang menciptakan kesejahteraan atau peluang orientasi jabatan baru dengan pemekaran. Apakah kebijakannya positif untuk masyarakat atau positif untuk investor ? Dalam salah satu dasar kajian fikih Islam, mengindari mudharat lebih utama dari mencari kemaslahatan, apakah kebijakan kepala daerah saat ini secara umum menguntungkan ataukah merugikan dalam jangka panjang? Agar memiliki kepala daerah yang bertanggungjawab, maka anda pun harus memiliki tanggung jawab. Mari tuntaskan perubahan !


Rabu, 13 Maret 2013

Jika Kaltim sebuah Negara

Jika Kaltim sebuah Negara 
oleh Nugrasius ST
Tribunkaltim 14 Maret 2013 halaman 7

Baru saja saya menemani seorang komisaris PT. Timah yang datang berkunjung ke Kaltim. Mengulangi keluhan setiap orang atau pejabat yang baru menyaksikan langsung wajah kota-kota di Kaltim yang tampak seperti tikus mati di lumbung padi.
Kota minyak Balikpapan memamerkan antrian warga di tempat-tempat pengisian BBM. Samarinda ibukota propinsi yang mengeluarkan kekayaan alam/jasa 360 triliun rupiah per tahun tampak carut marut dan jorok. Sampai di ujung utara Tarakan dihempas amuk masyarakat atas krisis listrik sementara di tanahnya sudah puluhan tahun memuntahkan migas untuk menerangi Jakarta dan sekitarnya dan di Pulau Bunyu tetangganya sudah beberapa tahun memproduksi ratusan ribu metric ton batubara per bulannya untuk menghidupi Negara India dengan keuntungan besar karena kecilnya biaya produksi dimana jarak angkutan darat dan laut yang sangat dekat.
Dalam kondisi yang masih jauh dari kemandirian swasembada energi, Kaltim semakin dijepit dengan pipanisasi gas Bontang ke Semarang kemudian disebar ke seluruh pulau Jawa. Sementara Samarinda atau Sangatta sebagai tetangga terdekat sama sekali tidak dianggap sebagai entitas yang berhak merasakan kekayaan alam itu. Satu malam saja lampu jalan di kota Solo tidak hidup, beritanya cukup gempar hingga menjadi headlines Koran lokal dan dibahas di media televisi nasional. Sementara seluruh kota di luar Jawa sudah akrab jika satu bulan lampu penerang di jalan pusat kota tidak pernah hidup lagi.
Empat gubernur se-Kalimantan sampai bekukus muntung buang liur di hadapan Jero Wacik dan SBY, namun mental tanpa hasil signifikan. Kepadatan penduduk Kaltim sejumlah 14 jiwa per kilometer (2010) menghasilkan kesimpulan Kaltim sebagai daerah pinggiran yang tidak penting jika dibandingkan Jawa Barat 1.236/km2, Jawa Tengah 994 jiwa/km2 ataupun Jawa Timur 782 jiwa/km2. Semakin dikongkritkan dalam jatah kue APBN dan DAU dimana jatah Kaltim tidak lebih separuh (DAU 500 miliar rupiah) dari peroleh propinsi-propinsi di Jawa (DAU lebih 1 triliun rupiah). Sementara sebesar 360 triliun PDRB Kaltim (nilai barang dan jasa) hanya kembali 10%, sedangkan 320 triliun rupiah berputar di luar Kaltim. Seandainya 320 triliun rupiah diputar di Kaltim maka dipastikan kondisi Kaltim sudah tidak berbeda jauh dengan kemakmuran Negara Brunai, Kota Sanghai ataupun New York. Bayangan kemakmuran di atas tersebut hanya jika Kaltim menjadi sebuah Negara tersendiri yang berhak mengatur keuangan dan ekonominya sendiri.

Jika Kaltim sebuah Negara, mungkinkah ? Mari kita uraikan. Pendapatan per kapita Kaltim terbesar se-Indonesia (BPS 2008) yakni 101 juta rupiah, artinya penghasilan rata-rata yang seharusnya diperoleh setiap penduduk di Kaltim dalam setahun ialah 101 juta rupiah, berdasarkan nilai hasil barang dan jasa dibandingkan dengan total penduduk Kaltim. Atau penghasilan bulanan adalah 8,4 juta rupiah. Itu jika hasil bisnis barang dan jasa yang terjadi di Kaltim hanya berputar di Kaltim, tidak diserap ke Jakarta dan sekitarnya.
Pendapatan per kapita Kaltim bahkan lebih 2 kali lipat dari pendapatan per kapita Negara Indonesia. Artinya Kaltim jika sebagai sebuah entitas Negara maka dipastikan jauh lebih makmur dari Indonesia. Kaltim akan sejajar dengan Turki (IMF, $12k) dan Malaysia ($13,3k), sedikit di atas Iran ($10,5k), dan sedikit di bawah Russia ($14,7k). Bisa dipastikan seluruh jalan di Kaltim sudah menggunakan aspal dengan kapasitas 30 ton, jalur kereta api dan tol sudah membentang ribuan kilometer, belasan PLTU dan PLTG kapasitas besar sehingga tak ada lagi pemadaman listrik, Sungai Mahakam dari Samarinda hingga Tenggarong minimal terdapat 10 jembatan, rumah sakit internasional setingkat Singapura ataupun Cina, hingga perguruan tinggi terbaik di atas Malaysia dapat didirikan di Kaltim. Itulah fakta yang dapat terjadi jika Kaltim memiliki kekuasaan mengatur uangnya sendiri, tidak diatur Pusat.
Pertanyaan berikutnya, siapkah Kaltim menjadi sebuah Negara dengan kondisi SDM dan infrastruktur yang lemah seperti saat ini ? Sederhana, bagaimana situasi nusantara saat Soekarno – Hatta mendeklarasikan NKRI ? Saat itu Indonesia tidak memiliki apa-apa, namun berbekal tekad dan keyakinan dan pertolongan Tuhan, Indonesia bisa maju dan makmur hingga seperti saat ini. Tulisan ini tidak untuk memprovokasi masyarakat Kalimantan untuk berpikir memperjuangan kemerdekaan atau berpisah dari NKRI, namun kita berharap kesadaran ini menstimulasi seluruh masyarakat Kaltim untuk berjuang dengan lebih sinergis dan perencanaan yang baik dalam jangka panjang maupun pendek untuk menuntut otonomi pengelolaan kekayaan daerah sehingga masyarakat dan infrastruktur Kaltim selayaknya menjadi setara dengan kekayaan alam dan jasa yang diproduksinya.
Ada dua hal yang menjadi duri dalam daging dalam perjuangan kesejahteraan masyakarakat Kaltim, yakni pertama korupsi kepala daerah. Sudah mahfum dalam setiap proyek pemerintahan maka 25% nya masuk ke kantong pejabat sebagaimana disinggung Ahok sehingga Ahok mereduksi 25% dari nilai proyek. Jika proyek 10 miliyar maka diperkirakan biasanya 2.5 miliar masuk ke kantong kepala bupati/walikota, kepala dinas, sekretaris, kepala bidang, hingga kasi (tentu tidak semua seperti ini). Dari APBD Kaltim 13 triliun maka dengan kebiasaan nilai persentase ‘jatah’ di atas, potensi korupsinya ialah sebesar 3.5 triliun rupiah. Inilah dilema perjuangan kita, saat mengupayakan keadilan ke pusat, maka disisi lain para koruptor daerah pun kegirangan karena jatah korupsi mereka semakin besar. Jaksa dan hakim di Kaltim pun turut bergembira karena lahan semakin basah.
Kedua, pejabat perpanjangan tangan pusat di daerah, turut mewarnai sulitnya mewujudkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang memberi kemajuan pada Kaltim. Oknum pusat yang menjadi pejabat ekskutif dan legislatif di Kaltim tak henti melemparkan opini, wacana negatif dan black campaign terhadap roda pembangunan di Kaltim sehingga menciptakan perpecahan dan kelemahan masyarakat Kaltim dalam mengadvokasi kesejahteraannya. Persis politik divide et impera telah diberlakukan secara massif pemerintahan pusat terhadap Kaltim yang gulanya teramat manis.
Kita mencintai NKRI, akan tetapi janganlah jargon NKRI dipergunakan sebagai tipu muslihat untuk merampok kekayaan Kaltim sementara kerusakan lingkungan dan kemiskinan infrastruktur ditanggung hanya oleh masyarakat Kaltim sendiri. Jika Kaltim terus dikhianati, salahkah Kaltim jika harus mendua, selingkuh atau menuntut cerai ? Semoga pesan ini sampai ke semua pengambil kebijakan di Jakarta.

Minggu, 10 Maret 2013

Rekalkukasi Bisnis Batubara, siapa untung siapa buntung

Rekalkukasi Bisnis Batubara, siapa untung siapa buntung
oleh Nugrasius
Kaltimpost, Agustus 2008

Rekalkukasi Bisnis Batubara, antara Keuntungan dan Kepedulian

Kalimantan Timur memiliki cadangan batubara terkira lebih dari 4 miliar mT.. Naiknya harga batubara (coal) baik di pasar domestik maupun internasional, menjadikan bisnis coal sebagai emas hitam yang menjanjikan dan prospek. Sebuah perusahaan coal raksasa di Kutim dapat menghasilkan minimal 5 miliar rupiah perharinya, lantas berubahkah wajah Kaltim menjadi negeri kaya?

Mari berhitung untung rugi bisnis perusahaan coal. Harga coal domestik saat ini berkisar $35 per ton atau Rp 322.000,- (asumsi $1 = Rp 9.200,-). Sebuah perusahaan coal (owner) kelas menengah-atas di daerah Kukar dapat menghasilkan 300.000 mT dalam sebulan atau sebesar 96,6 miliar rupiah, berarti sehari mendapatkan 3,2 miliar (keuntungan kotor). Biaya (cost) untuk kontraktor tambang dengan kondisi di atas berkisar 75 miliar rupiah perbulan. Cost untuk internal owner sendiri berkisar 10 miliar (sudah termasuk cost comdev dan entertaint). Maka keuntungan bersih yang dapat diperoleh owner yang memiliki lahan (PKP2B atau KP) berkisar (minimal) 11,6 miliar rupiah/bulan.

Perhitungan keuntungan di atas masih bersifat minimal, jika coal diekspor dengan harga $45 per ton saat ini (harga internasional $65 per ton), tentu keuntungan akan lebih besar, yakni 39,2 miliar rupiah. Beberapa owner seperti KPC, Berau Coal, Tanito, Kideco dan lain-lain, diperkirakan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dari kalkulasi di atas. KPC sebagai peruasahaan teratas, mampu memproduksi 50.000 mT coal per hari atau 16 miliar rupiah per hari. Adapun kontraktor tambang seperti SIS, Buma, CK, Pama, Leighton dan lain-lain memiliki keuntungan tidak sebesar owner.

Bisnis memiliki prinsip dasar memperoleh laba sebesar-besarnya dengan modal (cost) sekecil-kecilnya. Laba yang diperolah dari perusahaan coal terlalu besar jika dibandingkan dengan upaya recovery masyarakat semacam CSR dan Comdev-nya. Informasi laba yang disampaikan pihak perusahaan kepada publik tentu tidak sebesar kenyataan, karena bersifat privasi yang dapat mempengaruhi stabilitas jalannya perusahaan. Hal terpenting yang perlu kita kaji dan evaluasi sebagai masyarakat Kaltim adalah sudah sejauh mana keuntungan yang diperoleh coal company berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan infrastruktur bangunan setempat.

Realitas CSR-Comdev

Mari kita lihat kondisi kehidupan Kaltim hari ini. Jika kita membandingkan dengan pendapatan/APBD Jawa Barat dan Sulawesi Selatan tahun 2007, idealnya kondisi kualitas masyarakat Kaltim lebih baik. Dengan kekayaan alam yang telah terekploitasi sejak tahun 1980-an serta gambaran salah satu keuntungan yang diperoleh sebuah perusahaan coal yang tergambar di atas, kita bisa membuat tampilan ideal yang seharusnya terbangun di Kaltim.

Secara umum, comdev (Community Development) atau CSR (Corporate Social Responsibility) selama ini berbentuk seperti pemberian beasiswa, bakti sosial, sumbangan hari besar nasional, acara masyarakat, pembangunan masjid, kompensasi untuk demonstran dan lain-lain. Kita berterima kasih terhadap bantuan-bantuan yang diberikan oleh perusahaan setempat karena itu memang kewajiban secara etika. Terbukanya lowongan pekerjaan bagi masyarakat setempat juga memberikan efek positif walaupun jika kita telusuri, maka karyawan dengan penghasilan sebesar 3 juta rupiah ke atas diperkirakan lebih 70% berasal dari luar Kaltim.

Program comdev saat ini masih bersifat praktis atau bahasa awamnya sekedar menutup mulut suara-suara yang berpotensi mengganggu stabilitas tambang. Celakanya, warga setempat dengan pendidikan rendah dan pemikiran pragmatis (termasuk Pemda-nya), menerima dengan suka cita ‘angpao’ uang merah 100 rupiah dari pihak perusahaan. Tanpa berpikir panjang (visioner) bagaimana putaran ekonomi masyarakat jika project penambangan selesai. Oleh karena itu, perlu ada perancanaan bersama antara pihak Pemda, perusahaan dan melibatkan masyarakat setempat untuk pembangunan kualitas manusia dalam jangka panjang ke depan yang bersifat strategis.

Ada dua hal upaya recovery masyarakat strategis yang dapat dilakukan perusahaan, yakni peningkatan kualitas pendidikan dan infrastruktur berupa pembangunan (perbaikan) sarana transportasi dan pembangkit listrik. Kedua hal di atas bersifat vital demi mengamankan kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat setelah project selesai. Sayangnya, baik pihak Pemda, perusahaan dan masyarakat sendiri masih kurang care dengan urgensi peningkatan kualitas pendidikan.

Tragedi KPC dan Kutim

Kaltim Prima Coal dikenal sebagai salah satu perusahaan coal ternama ditingkat internasional. Produksinya melebihi 15 juta ton per tahun. Melalui kalkulasi di atas, kita dapat memperkirakan betapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan Bakrie Group ini. Namun jauh panggang dari api, lihatlah bagaimana kondisi kehidupan masyarakat Kutai Timur hari ini. Bersama PKT Bontang dan Gas LNG Badak serta sederetan perusahaan besar lainnya, maka kita bisa menilai rendahnya tingkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya dari kondisi ideal. Pertanyaan sederhananya adalah, kemana larinya uang yang diperoleh dari eksploitasi SDA Kutim?

Mulai dari kondisi jalanan rusak, kualitas pendidikan dan kesehatan rendah sudah akrab di telinga masyarkat setempat sejak dua dekade lalu. Siapa yang harus disalahkan? Apakah karena keserakahan pemda setempat, pusat dan perusahaan , atau karena lemahnya advokasi Pemda dan masyarakat setempat dalam menuntut hak-haknya? Sangat besarnya keuntungan yang diperoleh Bakrie Group dan pusat tidak berimbang dengan pengembalian revenue yang seharusnya diperoleh Pemda/masyarakat setempat melalui royalty sebesar 13,5 % dan 35 % pajak pendapatan. Ironisnya, ketika pemda setempat memperjuangkan hak-haknya, justru mendapat perlawanan dari beberapa pihak internal Kaltim sendiri yang mungkin telah mendapatkan ‘angpao’ menggiurkan dari pihak perusahaan.

Oleh karena itu, ada dua hal yang harus dilakukan oleh pemda dan masyarakat setempat. Pertama, perlu kiranya untuk mengambil sikap yang lebih berani dan tegas dalam menuntut hak-haknya, dengan didasarkan pada dasar hukum yang kuat. Kedua, pemda dan masyarakat setempat harus masuk sebagai investor dan memiliki saham dengan nilai yang signifikan. Ini baru salah satu tragedi dari sekian tragedi ketimpangan antara keuntungan dan recovery yang terjadi di Kutim. Kita bisa menelusuri ketimpangan serupa pada banyak perusahaan baik pertambangan, migas, kehutanan, perkebunan dan lain-lain di hampir semua kabupaten/kotamadya se Kaltim. Semoga tulisan singkat ini dapat membuka mata kita semua untuk memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran hidup yang lebih layak dan bermartabat.

Membangun Karakter Berpolitik Damai dan Dewasa



Perlu Bahasa Sejuk dan Damai
Membangun Karakter Berpolitik Damai dan Dewasa
oleh Nugrasius
Dipublikasikan Kaltimpost Maret 2008

ADAPUN yang menjadi keinginan kita, bahwa pilgub Kaltim dilaksanakan secara damai, dewasa dan bermartabat. Namun beberapa kasus pilkada dan pilgub di daerah lain yang menyiratkan konflik, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk membangun kewaspadaan dan kedewasaan diri sehingga terhindar dari politik kotor yang mencederai demokrasi.
Politik ‘menghalalkan segala cara’ diperkenalkan oleh Machiavelis 5 abad sebelumnya. Dalam bukunya, ia mengetengahkan pemikiran bagaimana untuk mencapai tujuan, maka kita bisa melakukan apapun, termasuk membunuh dan menyuap. Karakter politik ini masih diamalkan oleh beberapa Negara barat.
Bahkan Stephen Covey dalam bukunya Seven Habits pun mengadopsi pemikiran umum barat ini, bahwa kita harus memprioritaskan tujuan daripada proses/cara. Akibatnya timbullah pemikiran, apapun caranya, yang penting tujuan tercapai.
Karakter masyarakat Indonesia, khusunya Kaltim (seharusnya) sangat berbeda. Sebagai manusia yang masih memiliki kepedulian sosial dan nilai-nilai religious, kita harus membangun cara atau proses berpolitik yang humanis, demokratif dan elegan. Disinilah pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat kita yang masih rabun politik umumnya. Dengan politik positif dan konstruktif, suasana damai dan tenang tetap terjaga sebagai hasil dari sikap saling menghargai dan menghormati.
Menjadi seorang pemimpin, dalam hal ini Gubernur Kaltim bukan persoalan mudah. Seorang kandidat setidaknya harus memiliki empat syarat modal kekuatan yakni, popularitas, jaringan politik-ekonomi, keuangan dan dukungan massa/parpol. Seorang kandidat yang cerdas dan elegan, tentu akan memikirkan bagaimana menemukan dan memiliki keempat kekuatan ini, ia harus proaktif dan kreatif untuk memperolehnya, membangun bargaining bukan menunggu dan menantikan datangya tawaran politik.

Geliat Politik Dayak
Masyarakat dayak belakangan mulai ramai menjadi perbincangan politik. Mulai dari kompetisi sebagai cawagub di Partai Golkar, cagub di PDIP, penawaran salah satu kandidat untuk menduduki Sekprov sampai pada tuntutan pemunduran jadwal Pilgub akibat tidak adanya warga dayak yang tampil menjadi kandidat. Beberapa kekhawatiran akan timbulnya konflik horizontal mulai memanaskan konstalasi pilgub Kaltim. Melek dayak dalam berpolitik adalah sebuah langkah maju, namun sepertinya harus dibarengi dengan pendidikan politik yang matang dan positif.
Kekuatan politik yang bermartabat dapat dibangun dengan upaya kerja keras dan ikhtiar positif. Ada banyak jalan untuk membangun kekuatan bargaining politik sehingga menghindarkan kita dari politik ‘adu jotos’. Dalam hal ini, maka kita harus konsentrasi pada proses dan strategi, yakni:
Pertama, terlibat dalam partai politik. Partai politik memiliki kekuatan sebagai pengusung dan pendukung, ada banyak aliran dana dan relasi politik di dalamnya. Kenyataan menunjukkan tidak ada satupun seorang dayak menjadi ketua parpol, jika dalam tingkat partai saja tidak mampu menunjukkan kekuatan politiknya, tentu lebih sulit bermain di tingkat yang lebih tinggi seperti Pilgub. Ini tantangan pertama masyarakat dayak.
Kedua, jaringan ekonomi-politik. Politik, baik pilkada, pilgub, menjadi aleg dan lainnya, membutuhkan dukungan keuangan dan politik. Disini tentu harus pandai memainkan lobi dan tawar menawar politik. Setiap kandidat pasti membawa gerbong kereta api pengusaha atau politisi/pejabat senior di belakangnya. Dengan gerbong itulah kekuatan politik menjadi lebih mapan.
Tidak heran beberapa cagub yang merasa kantongnya tipis lebih mencari cawagub yang lebih menjamin dengan kantong tebalnya. Atau melakukan pendekatan dengan politisi-politisi pusat. Sebuah pertanyaan muncul, aneh jika seorang Ngayoh yang telah menjadi wagub atau Marthin sebagai Bupati tidak mampu menyiapkan gerbong besar di belakangnya, yang mengakibatkan tidak terpilihnya kedua tokoh dayak ini sebagai kandidat.
Ketiga, agresifitas politik. Beberapa kandidat jauh-jauh hari telah berkeliling Kaltim untuk mempromosikan diri sebagai cagub, bahkan ada cawagub yang telah memasang balihonya di seluruh Kalitm 6 bulan lalu. Promosi diri ini sangat perlu untuk membangun bargaining politik dan sebagai bentuk agresifitas politik. Jika kemudian tokoh dayak tidak terakomodir oleh Parpol, mari kita evaluasi bagaimana promosi diri sang kandidat dayak.
Berpolitik ‘malu-malu mau’ akan tergilas dengan kandidat yang memiliki komitmen kuat menjadi pemimpin. Realitas menunjukkan hampir tidak ada promosi diri yang dilakukan Ngayoh dan Marthin (kecuali satu bulan terakhir), sehingga menjadi pertanyaan bagi parpol, seriuskah mereka hendak maju sebagai kandidat?

Ketiga proses di atas bersifat strategi, tentu akan dijabarkan melalui taktis yang lebih variatif dan beragam. Pembelajaran politik konstruktif menjadi penting bagi kita semua sehingga terhindar dari politik anarkis. Adalah penting bagi setiap tokoh di Kaltim untuk menyampaikan bahasa-bahasa sejuk dan damai. Setiap kandidat juga harus siap menerima kegagalan dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik.
Saran dan evaluasi yang saya kemukakan tidak lebih dari keinginan seorang putra dayak, agar seorang warga dayak dapat menjadi pemimpin di rumahnya sendiri. Namun untuk menjadi pemimpin ada cara prosedural yang telah ditetapkan, dan ada aturan main politik yang harus dipahami bersama.
Di lain pihak, aspirasi yang dikemukakan beberapa warga dayak melalui tindak kekerasan akhir-akhir ini semoga menjadi perhatian para eksekutif, legislatif dan politisi. Dengan pemahaman positif ini kita harapkan Pemilihan Gubernur dan Pilkada lainnya di daerah Kaltim dapat berjalan dengan aman, lancar dan damai.

Wajah Kaltim Hari Ini



Wajah Kaltim Hari Ini
oleh Nugrasius
Dipublikasikan Kaltimpost September 2007

            Sampai tahun 2005 produksi batubara Kaltim kira-kira sebesar 80 juta ton (dinas pertambangan dan energi Kaltim). Jika mengambil harga batubara rata-rata per tonnya $40 dengan harga kurs 1 $ = Rp 9000,-, maka Kaltim telah mengeluarkan kekayaannya di sektor pertambangan batubara sampai tahun 2005 sebesar 28,8 triliun rupiah. Sebuah angka yang fantastis.
Potensi batubara di kaltim hingga saat ini diketahui 19,567 triliun ton (7.044.120 triliun rupiah) dan cadangannya (sudah dihitung) sekitar 2,410 triliun ton (Rp 867.600.000.000.000.000 rupiah). Kita baru mengkalkulasi kasar kekayaan Kaltim dari sektor pertambangan batubara, belum bicara terkait minyak dan gas bumi yang jumlahnya tentu lebih besar, belum lagi sektor kehutanan dan kekayaan alam lainnya. Ini sebuah karunia yang Maha Akbar dari Tuhan, dan sebuah tantangan bagi masyarakat Kaltim bagaimana mengelola kekayaannya.
Ironisnya, kekayaan dalam angka di atas tidak nampak dalam segala segi kehidupan masyarakat Kaltim. Semua melihat bagaimana infrastruktur yang cenderung mengesankan sebagai propinsi miskin. Tidak perlu berbicara soal pedalaman yang terisolasi. Kita bisa berkaca dari ibukota propinsi Samarinda, jalanan rusak dan sekolah hampir roboh sempat tampil sebagai berita panas di bebagai media. Tingkat kelulusan sekolah dan buta aksara masih menjamur di Kaltim.
Propinsi ini kaya namun masyarakat miskin masih dominan. Propinsi ini punya batubara, hutan, minyak dan gas bumi melimpah, namun jadwal pemadaman listrik menjadi iklan di koran-koran. Banjir masih menghantui di kota-kota sentralnya. Tingkat pendapatan masyarakat pun masih terlalu rendah.
Ada sebuah wacana bahwa ini disebabkan keserakahan pusat yang hanya menguras kekayaan Kaltim seperti sapi perasan. Namun mengembalikan hanya segelintir dari harta benda tanah Kaltim.  Penghapusan DAU yang santer diperdebatkan hanya satu dari sekian ketidakadilan (atau mungkin bermakna penajajahan) pusat terhadap daerah. Pada sisi lain tidak kalah opini kuat mengatakan bahwa koruptor juga merajalela bermain-main di bumi kaya ini. Panjangnya daftar nama antrian di KPK sampai yang benar-benar dalam hunian (tersangka). Polemik 16 milyar Dprd Kaltim, 270 milyar KPUD, uang jalan-jalan aleg sampai megaporyek ratusan milyar tak kunjung selesai (jalan trans, jembatan mahkota dua, Islamic Center dll) di tengah masyarakat yang masih sulit mencari sesuap nasi.
Pada sisi lain kita juga menemukan sulitnya mencari manusia-manusia kritis yang berani mengawal pembangunan di kaltim agar efisien, efektif dan benar-benar bersih dari korupsi. Sebuah ironis dimana kalangan akademisi dari dosen dan mahasiswa hanya sibuk dengan perkuliahannya tanpa rasa dan upaya kritis memberikan cakrawala intelektualnya untuk kemajuan propinsi Kaltim. Sangat jarang kita temukan tulisan-tulisan di media dan aksi kritis dari civitas Universitas Mulawarman dalam berkontribusi terhadap pembangunan daerah yang kian sakit.
Kekayaan yang timpang dengan pembangunan tentu harus disikapi segera oleh seluruh masyarakat Kaltim. Ini bukan hanya urusan gubernur dan aleg, ini juga urusan tukang ojek sampai penjual bakso. Membangun kaltim bukan hanya pada momen pilkada atau pilgub namun setiap hari kita harus mencermati bagaimana wujud program dan janji pemerintah kemarin, hari ini dan hari esok.
Kita bersyukur beberapa media telah membantu transparansi dalam pembangunan dan membangun budaya kritis dari masyarakat baik melalui publikasi sms curhat sampai berita-berita yang berupaya mengejar potensi korupsi. Sudah saatnya kita belajar mengelola kekayaan dengan arif dan bijak. Masih ada anak cucu yang juga perlu menikmati harga 1 ton batubara, harga 1 barel minyak bumi dan harga 1 kubik kayu.
Perlu kebijakan berani dari pemda yang jujur agar kekayaan kaltim kembali kepada masyarakatnya, bukan lari (atau dilarikan keluar Kaltim). Seperti rencana proyek pipaisasi gas bontang yang sangat merugikan kaltim (bukan tidak mungkin di tengah laut jawa ada pipa misterius yang disabot dari jalur pipa tersebut seperti yang ditemukan di Balikpapan).
Setelah melihat sketsa kasar wajah Kaltim hari ini, tidak cukup jika hanya merasa sakit hati atau jengkel. Perlu sebuah rumusan pemikiran bersama, perlu sebuah aksi yang mengejawantah agar persoalan kekayaan alam ini bisa dinikmati seluruh masyarakat Kaltim. Tidak sebatas wacana dan seminar-seminar tentang pembangunan Kaltim namun diwujudkan dalam program-program yang integratif , transparan dan melibatkan masyarkat Kaltim sebagai penggerak roda sosial ekonomi. Jika tidak, maka relakanlah ratusan triliun itu dimakan tikus-tikus berdasi.