Jika Kaltim sebuah Negara
oleh Nugrasius ST
Tribunkaltim 14 Maret 2013 halaman 7
Baru saja saya menemani seorang komisaris PT. Timah yang datang
berkunjung ke Kaltim. Mengulangi keluhan setiap orang atau pejabat yang
baru menyaksikan langsung wajah kota-kota di Kaltim yang tampak seperti
tikus mati di lumbung padi.
Kota minyak Balikpapan memamerkan antrian warga di tempat-tempat pengisian BBM. Samarinda ibukota propinsi
yang mengeluarkan kekayaan alam/jasa 360 triliun rupiah per tahun
tampak carut marut dan jorok. Sampai di ujung utara Tarakan dihempas
amuk masyarakat atas krisis listrik sementara di tanahnya sudah puluhan
tahun memuntahkan migas untuk menerangi Jakarta dan sekitarnya dan di
Pulau Bunyu tetangganya sudah beberapa tahun memproduksi ratusan ribu
metric ton batubara per bulannya untuk menghidupi Negara India dengan
keuntungan besar karena kecilnya biaya produksi dimana jarak angkutan
darat dan laut yang sangat dekat.
Dalam kondisi yang masih jauh dari
kemandirian swasembada energi, Kaltim semakin dijepit dengan pipanisasi
gas Bontang ke Semarang kemudian disebar ke seluruh pulau Jawa.
Sementara Samarinda atau Sangatta sebagai tetangga terdekat sama sekali
tidak dianggap sebagai entitas yang berhak merasakan kekayaan alam itu.
Satu malam saja lampu jalan di kota Solo tidak hidup, beritanya cukup
gempar hingga menjadi headlines Koran lokal dan dibahas di media
televisi nasional. Sementara seluruh kota di luar Jawa sudah akrab jika
satu bulan lampu penerang di jalan pusat kota tidak pernah hidup lagi.
Empat gubernur se-Kalimantan sampai bekukus muntung buang liur di
hadapan Jero Wacik dan SBY, namun mental tanpa hasil signifikan.
Kepadatan penduduk Kaltim sejumlah 14 jiwa per kilometer (2010)
menghasilkan kesimpulan Kaltim sebagai daerah pinggiran yang tidak
penting jika dibandingkan Jawa Barat 1.236/km2, Jawa Tengah 994 jiwa/km2
ataupun Jawa Timur 782 jiwa/km2. Semakin dikongkritkan dalam jatah kue
APBN dan DAU dimana jatah Kaltim tidak lebih separuh (DAU 500 miliar
rupiah) dari peroleh propinsi-propinsi di Jawa (DAU lebih 1 triliun
rupiah). Sementara sebesar 360 triliun PDRB Kaltim (nilai barang dan
jasa) hanya kembali 10%, sedangkan 320 triliun rupiah berputar di luar
Kaltim. Seandainya 320 triliun rupiah diputar di Kaltim maka dipastikan
kondisi Kaltim sudah tidak berbeda jauh dengan kemakmuran Negara Brunai,
Kota Sanghai ataupun New York. Bayangan kemakmuran di atas tersebut
hanya jika Kaltim menjadi sebuah Negara tersendiri yang berhak mengatur
keuangan dan ekonominya sendiri.
Jika Kaltim sebuah Negara,
mungkinkah ? Mari kita uraikan. Pendapatan per kapita Kaltim terbesar
se-Indonesia (BPS 2008) yakni 101 juta rupiah, artinya penghasilan
rata-rata yang seharusnya diperoleh setiap penduduk di Kaltim dalam
setahun ialah 101 juta rupiah, berdasarkan nilai hasil barang dan jasa
dibandingkan dengan total penduduk Kaltim. Atau penghasilan bulanan
adalah 8,4 juta rupiah. Itu jika hasil bisnis barang dan jasa yang
terjadi di Kaltim hanya berputar di Kaltim, tidak diserap ke Jakarta dan
sekitarnya.
Pendapatan per kapita Kaltim bahkan lebih 2 kali lipat
dari pendapatan per kapita Negara Indonesia. Artinya Kaltim jika sebagai
sebuah entitas Negara maka dipastikan jauh lebih makmur dari Indonesia.
Kaltim akan sejajar dengan Turki (IMF, $12k) dan Malaysia ($13,3k),
sedikit di atas Iran ($10,5k), dan sedikit di bawah Russia ($14,7k).
Bisa dipastikan seluruh jalan di Kaltim sudah menggunakan aspal dengan
kapasitas 30 ton, jalur kereta api dan tol sudah membentang ribuan
kilometer, belasan PLTU dan PLTG kapasitas besar sehingga tak ada lagi
pemadaman listrik, Sungai Mahakam dari Samarinda hingga Tenggarong
minimal terdapat 10 jembatan, rumah sakit internasional setingkat
Singapura ataupun Cina, hingga perguruan tinggi terbaik di atas Malaysia
dapat didirikan di Kaltim. Itulah fakta yang dapat terjadi jika Kaltim
memiliki kekuasaan mengatur uangnya sendiri, tidak diatur Pusat.
Pertanyaan berikutnya, siapkah Kaltim menjadi sebuah Negara dengan
kondisi SDM dan infrastruktur yang lemah seperti saat ini ? Sederhana,
bagaimana situasi nusantara saat Soekarno – Hatta mendeklarasikan NKRI ?
Saat itu Indonesia tidak memiliki apa-apa, namun berbekal tekad dan
keyakinan dan pertolongan Tuhan, Indonesia bisa maju dan makmur hingga
seperti saat ini. Tulisan ini tidak untuk memprovokasi masyarakat
Kalimantan untuk berpikir memperjuangan kemerdekaan atau berpisah dari
NKRI, namun kita berharap kesadaran ini menstimulasi seluruh masyarakat
Kaltim untuk berjuang dengan lebih sinergis dan perencanaan yang baik
dalam jangka panjang maupun pendek untuk menuntut otonomi pengelolaan
kekayaan daerah sehingga masyarakat dan infrastruktur Kaltim selayaknya
menjadi setara dengan kekayaan alam dan jasa yang diproduksinya.
Ada dua hal yang menjadi duri dalam daging dalam perjuangan
kesejahteraan masyakarakat Kaltim, yakni pertama korupsi kepala daerah.
Sudah mahfum dalam setiap proyek pemerintahan maka 25% nya masuk ke
kantong pejabat sebagaimana disinggung Ahok sehingga Ahok mereduksi 25%
dari nilai proyek. Jika proyek 10 miliyar maka diperkirakan biasanya 2.5
miliar masuk ke kantong kepala bupati/walikota, kepala dinas,
sekretaris, kepala bidang, hingga kasi (tentu tidak semua seperti ini).
Dari APBD Kaltim 13 triliun maka dengan kebiasaan nilai persentase
‘jatah’ di atas, potensi korupsinya ialah sebesar 3.5 triliun rupiah.
Inilah dilema perjuangan kita, saat mengupayakan keadilan ke pusat, maka
disisi lain para koruptor daerah pun kegirangan karena jatah korupsi
mereka semakin besar. Jaksa dan hakim di Kaltim pun turut bergembira
karena lahan semakin basah.
Kedua, pejabat perpanjangan tangan pusat
di daerah, turut mewarnai sulitnya mewujudkan kebijakan-kebijakan
pembangunan yang memberi kemajuan pada Kaltim. Oknum pusat yang menjadi
pejabat ekskutif dan legislatif di Kaltim tak henti melemparkan opini,
wacana negatif dan black campaign terhadap roda pembangunan di Kaltim
sehingga menciptakan perpecahan dan kelemahan masyarakat Kaltim dalam
mengadvokasi kesejahteraannya. Persis politik divide et impera telah
diberlakukan secara massif pemerintahan pusat terhadap Kaltim yang
gulanya teramat manis.
Kita mencintai NKRI, akan tetapi janganlah
jargon NKRI dipergunakan sebagai tipu muslihat untuk merampok kekayaan
Kaltim sementara kerusakan lingkungan dan kemiskinan infrastruktur
ditanggung hanya oleh masyarakat Kaltim sendiri. Jika Kaltim terus
dikhianati, salahkah Kaltim jika harus mendua, selingkuh atau menuntut
cerai ? Semoga pesan ini sampai ke semua pengambil kebijakan di Jakarta.
Rabu, 13 Maret 2013
Minggu, 10 Maret 2013
Rekalkukasi Bisnis Batubara, siapa untung siapa buntung
Rekalkukasi Bisnis Batubara, siapa untung siapa buntung |
oleh Nugrasius
Kaltimpost, Agustus 2008
Rekalkukasi Bisnis Batubara, antara Keuntungan dan Kepedulian
Kalimantan
Timur memiliki cadangan batubara terkira lebih dari 4 miliar mT..
Naiknya harga batubara (coal) baik di pasar domestik maupun
internasional, menjadikan bisnis coal sebagai emas hitam yang
menjanjikan dan prospek. Sebuah perusahaan coal raksasa di Kutim dapat
menghasilkan minimal 5 miliar rupiah perharinya, lantas berubahkah wajah
Kaltim menjadi negeri kaya?
Mari
berhitung untung rugi bisnis perusahaan coal. Harga coal domestik saat
ini berkisar $35 per ton atau Rp 322.000,- (asumsi $1 = Rp 9.200,-).
Sebuah perusahaan coal (owner) kelas menengah-atas di daerah Kukar dapat
menghasilkan 300.000 mT dalam sebulan atau sebesar 96,6 miliar rupiah,
berarti sehari mendapatkan 3,2 miliar (keuntungan kotor). Biaya (cost)
untuk kontraktor tambang dengan kondisi di atas berkisar 75 miliar
rupiah perbulan. Cost untuk internal owner sendiri berkisar 10 miliar
(sudah termasuk cost comdev dan entertaint). Maka keuntungan bersih yang
dapat diperoleh owner yang memiliki lahan (PKP2B atau KP) berkisar
(minimal) 11,6 miliar rupiah/bulan.
Perhitungan
keuntungan di atas masih bersifat minimal, jika coal diekspor dengan
harga $45 per ton saat ini (harga internasional $65 per ton), tentu
keuntungan akan lebih besar, yakni 39,2 miliar rupiah. Beberapa owner
seperti KPC, Berau Coal, Tanito, Kideco dan lain-lain, diperkirakan
memperoleh keuntungan jauh lebih besar dari kalkulasi di atas. KPC
sebagai peruasahaan teratas, mampu memproduksi 50.000 mT coal per hari
atau 16 miliar rupiah per hari. Adapun kontraktor tambang seperti SIS,
Buma, CK, Pama, Leighton dan lain-lain memiliki keuntungan tidak sebesar
owner.
Bisnis
memiliki prinsip dasar memperoleh laba sebesar-besarnya dengan modal
(cost) sekecil-kecilnya. Laba yang diperolah dari perusahaan coal
terlalu besar jika dibandingkan dengan upaya recovery masyarakat semacam
CSR dan Comdev-nya. Informasi laba yang disampaikan pihak perusahaan
kepada publik tentu tidak sebesar kenyataan, karena bersifat privasi
yang dapat mempengaruhi stabilitas jalannya perusahaan. Hal terpenting
yang perlu kita kaji dan evaluasi sebagai masyarakat Kaltim adalah sudah
sejauh mana keuntungan yang diperoleh coal company berdampak pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat dan infrastruktur bangunan
setempat.
Realitas CSR-Comdev
Mari
kita lihat kondisi kehidupan Kaltim hari ini. Jika kita membandingkan
dengan pendapatan/APBD Jawa Barat dan Sulawesi Selatan tahun 2007,
idealnya kondisi kualitas masyarakat Kaltim lebih baik. Dengan kekayaan
alam yang telah terekploitasi sejak tahun 1980-an serta gambaran salah
satu keuntungan yang diperoleh sebuah perusahaan coal yang tergambar di
atas, kita bisa membuat tampilan ideal yang seharusnya terbangun di
Kaltim.
Secara
umum, comdev (Community Development) atau CSR (Corporate Social
Responsibility) selama ini berbentuk seperti pemberian beasiswa, bakti
sosial, sumbangan hari besar nasional, acara masyarakat, pembangunan
masjid, kompensasi untuk demonstran dan lain-lain. Kita berterima kasih
terhadap bantuan-bantuan yang diberikan oleh perusahaan setempat karena
itu memang kewajiban secara etika. Terbukanya lowongan pekerjaan bagi
masyarakat setempat juga memberikan efek positif walaupun jika kita
telusuri, maka karyawan dengan penghasilan sebesar 3 juta rupiah ke atas
diperkirakan lebih 70% berasal dari luar Kaltim.
Program
comdev saat ini masih bersifat praktis atau bahasa awamnya sekedar
menutup mulut suara-suara yang berpotensi mengganggu stabilitas tambang.
Celakanya, warga setempat dengan pendidikan rendah dan pemikiran
pragmatis (termasuk Pemda-nya), menerima dengan suka cita ‘angpao’ uang
merah 100 rupiah dari pihak perusahaan. Tanpa berpikir panjang
(visioner) bagaimana putaran ekonomi masyarakat jika project penambangan
selesai. Oleh karena itu, perlu ada perancanaan bersama antara pihak
Pemda, perusahaan dan melibatkan masyarakat setempat untuk pembangunan
kualitas manusia dalam jangka panjang ke depan yang bersifat strategis.
Ada
dua hal upaya recovery masyarakat strategis yang dapat dilakukan
perusahaan, yakni peningkatan kualitas pendidikan dan infrastruktur
berupa pembangunan (perbaikan) sarana transportasi dan pembangkit
listrik. Kedua hal di atas bersifat vital demi mengamankan kondisi
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat setelah project
selesai. Sayangnya, baik pihak Pemda, perusahaan dan masyarakat sendiri
masih kurang care dengan urgensi peningkatan kualitas pendidikan.
Tragedi KPC dan Kutim
Kaltim
Prima Coal dikenal sebagai salah satu perusahaan coal ternama ditingkat
internasional. Produksinya melebihi 15 juta ton per tahun. Melalui
kalkulasi di atas, kita dapat memperkirakan betapa besar keuntungan yang
diperoleh perusahaan Bakrie Group ini. Namun jauh panggang dari api,
lihatlah bagaimana kondisi kehidupan masyarakat Kutai Timur hari ini.
Bersama PKT Bontang dan Gas LNG Badak serta sederetan perusahaan besar
lainnya, maka kita bisa menilai rendahnya tingkat perekonomian dan
kesejahteraan masyarakatnya dari kondisi ideal. Pertanyaan sederhananya
adalah, kemana larinya uang yang diperoleh dari eksploitasi SDA Kutim?
Mulai
dari kondisi jalanan rusak, kualitas pendidikan dan kesehatan rendah
sudah akrab di telinga masyarkat setempat sejak dua dekade lalu. Siapa
yang harus disalahkan? Apakah karena keserakahan pemda setempat, pusat
dan perusahaan , atau karena lemahnya advokasi Pemda dan masyarakat
setempat dalam menuntut hak-haknya? Sangat besarnya keuntungan yang
diperoleh Bakrie Group dan pusat tidak berimbang dengan pengembalian revenue
yang seharusnya diperoleh Pemda/masyarakat setempat melalui royalty
sebesar 13,5 % dan 35 % pajak pendapatan. Ironisnya, ketika pemda
setempat memperjuangkan hak-haknya, justru mendapat perlawanan dari
beberapa pihak internal Kaltim sendiri yang mungkin telah mendapatkan
‘angpao’ menggiurkan dari pihak perusahaan.
Oleh
karena itu, ada dua hal yang harus dilakukan oleh pemda dan masyarakat
setempat. Pertama, perlu kiranya untuk mengambil sikap yang lebih berani
dan tegas dalam menuntut hak-haknya, dengan didasarkan pada dasar hukum
yang kuat. Kedua, pemda dan masyarakat setempat harus masuk sebagai
investor dan memiliki saham dengan nilai yang signifikan. Ini baru salah
satu tragedi dari sekian tragedi ketimpangan antara keuntungan dan
recovery yang terjadi di Kutim. Kita bisa menelusuri ketimpangan serupa
pada banyak perusahaan baik pertambangan, migas, kehutanan, perkebunan
dan lain-lain di hampir semua kabupaten/kotamadya se Kaltim. Semoga
tulisan singkat ini dapat membuka mata kita semua untuk memperoleh
kesejahteraan dan kemakmuran hidup yang lebih layak dan bermartabat.
Membangun Karakter Berpolitik Damai dan Dewasa
Membangun Karakter Berpolitik Damai dan Dewasa
oleh Nugrasius
Dipublikasikan Kaltimpost Maret 2008
ADAPUN yang menjadi keinginan kita, bahwa pilgub Kaltim dilaksanakan secara damai, dewasa dan bermartabat. Namun beberapa kasus pilkada dan pilgub di daerah lain yang menyiratkan konflik, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk membangun kewaspadaan dan kedewasaan diri sehingga terhindar dari politik kotor yang mencederai demokrasi.
Politik ‘menghalalkan segala cara’ diperkenalkan oleh Machiavelis 5 abad sebelumnya. Dalam bukunya, ia mengetengahkan pemikiran bagaimana untuk mencapai tujuan, maka kita bisa melakukan apapun, termasuk membunuh dan menyuap. Karakter politik ini masih diamalkan oleh beberapa Negara barat.
Bahkan Stephen Covey dalam bukunya Seven Habits pun mengadopsi pemikiran umum barat ini, bahwa kita harus memprioritaskan tujuan daripada proses/cara. Akibatnya timbullah pemikiran, apapun caranya, yang penting tujuan tercapai.
Karakter masyarakat Indonesia, khusunya Kaltim (seharusnya) sangat berbeda. Sebagai manusia yang masih memiliki kepedulian sosial dan nilai-nilai religious, kita harus membangun cara atau proses berpolitik yang humanis, demokratif dan elegan. Disinilah pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat kita yang masih rabun politik umumnya. Dengan politik positif dan konstruktif, suasana damai dan tenang tetap terjaga sebagai hasil dari sikap saling menghargai dan menghormati.
Menjadi seorang pemimpin, dalam hal ini Gubernur Kaltim bukan persoalan mudah. Seorang kandidat setidaknya harus memiliki empat syarat modal kekuatan yakni, popularitas, jaringan politik-ekonomi, keuangan dan dukungan massa/parpol. Seorang kandidat yang cerdas dan elegan, tentu akan memikirkan bagaimana menemukan dan memiliki keempat kekuatan ini, ia harus proaktif dan kreatif untuk memperolehnya, membangun bargaining bukan menunggu dan menantikan datangya tawaran politik.
Geliat Politik Dayak
Masyarakat dayak belakangan mulai ramai menjadi perbincangan politik. Mulai dari kompetisi sebagai cawagub di Partai Golkar, cagub di PDIP, penawaran salah satu kandidat untuk menduduki Sekprov sampai pada tuntutan pemunduran jadwal Pilgub akibat tidak adanya warga dayak yang tampil menjadi kandidat. Beberapa kekhawatiran akan timbulnya konflik horizontal mulai memanaskan konstalasi pilgub Kaltim. Melek dayak dalam berpolitik adalah sebuah langkah maju, namun sepertinya harus dibarengi dengan pendidikan politik yang matang dan positif.
Kekuatan politik yang bermartabat dapat dibangun dengan upaya kerja keras dan ikhtiar positif. Ada banyak jalan untuk membangun kekuatan bargaining politik sehingga menghindarkan kita dari politik ‘adu jotos’. Dalam hal ini, maka kita harus konsentrasi pada proses dan strategi, yakni:
Pertama, terlibat dalam partai politik. Partai politik memiliki kekuatan sebagai pengusung dan pendukung, ada banyak aliran dana dan relasi politik di dalamnya. Kenyataan menunjukkan tidak ada satupun seorang dayak menjadi ketua parpol, jika dalam tingkat partai saja tidak mampu menunjukkan kekuatan politiknya, tentu lebih sulit bermain di tingkat yang lebih tinggi seperti Pilgub. Ini tantangan pertama masyarakat dayak.
Kedua, jaringan ekonomi-politik. Politik, baik pilkada, pilgub, menjadi aleg dan lainnya, membutuhkan dukungan keuangan dan politik. Disini tentu harus pandai memainkan lobi dan tawar menawar politik. Setiap kandidat pasti membawa gerbong kereta api pengusaha atau politisi/pejabat senior di belakangnya. Dengan gerbong itulah kekuatan politik menjadi lebih mapan.
Tidak heran beberapa cagub yang merasa kantongnya tipis lebih mencari cawagub yang lebih menjamin dengan kantong tebalnya. Atau melakukan pendekatan dengan politisi-politisi pusat. Sebuah pertanyaan muncul, aneh jika seorang Ngayoh yang telah menjadi wagub atau Marthin sebagai Bupati tidak mampu menyiapkan gerbong besar di belakangnya, yang mengakibatkan tidak terpilihnya kedua tokoh dayak ini sebagai kandidat.
Ketiga, agresifitas politik. Beberapa kandidat jauh-jauh hari telah berkeliling Kaltim untuk mempromosikan diri sebagai cagub, bahkan ada cawagub yang telah memasang balihonya di seluruh Kalitm 6 bulan lalu. Promosi diri ini sangat perlu untuk membangun bargaining politik dan sebagai bentuk agresifitas politik. Jika kemudian tokoh dayak tidak terakomodir oleh Parpol, mari kita evaluasi bagaimana promosi diri sang kandidat dayak.
Berpolitik ‘malu-malu mau’ akan tergilas dengan kandidat yang memiliki komitmen kuat menjadi pemimpin. Realitas menunjukkan hampir tidak ada promosi diri yang dilakukan Ngayoh dan Marthin (kecuali satu bulan terakhir), sehingga menjadi pertanyaan bagi parpol, seriuskah mereka hendak maju sebagai kandidat?
Ketiga proses di atas bersifat strategi, tentu akan dijabarkan melalui taktis yang lebih variatif dan beragam. Pembelajaran politik konstruktif menjadi penting bagi kita semua sehingga terhindar dari politik anarkis. Adalah penting bagi setiap tokoh di Kaltim untuk menyampaikan bahasa-bahasa sejuk dan damai. Setiap kandidat juga harus siap menerima kegagalan dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi untuk menjadi lebih baik.
Saran dan evaluasi yang saya kemukakan tidak lebih dari keinginan seorang putra dayak, agar seorang warga dayak dapat menjadi pemimpin di rumahnya sendiri. Namun untuk menjadi pemimpin ada cara prosedural yang telah ditetapkan, dan ada aturan main politik yang harus dipahami bersama.
Di lain pihak, aspirasi yang dikemukakan beberapa warga dayak melalui tindak kekerasan akhir-akhir ini semoga menjadi perhatian para eksekutif, legislatif dan politisi. Dengan pemahaman positif ini kita harapkan Pemilihan Gubernur dan Pilkada lainnya di daerah Kaltim dapat berjalan dengan aman, lancar dan damai.
Wajah Kaltim Hari Ini
oleh Nugrasius
Dipublikasikan Kaltimpost September 2007
Sampai tahun 2005 produksi batubara Kaltim kira-kira sebesar 80 juta ton (dinas pertambangan dan energi Kaltim). Jika mengambil harga batubara rata-rata per tonnya $40 dengan harga kurs 1 $ = Rp 9000,-, maka Kaltim telah mengeluarkan kekayaannya di sektor pertambangan batubara sampai tahun 2005 sebesar 28,8 triliun rupiah. Sebuah angka yang fantastis.
Potensi
batubara di kaltim hingga saat ini diketahui 19,567 triliun ton
(7.044.120 triliun rupiah) dan cadangannya (sudah dihitung) sekitar
2,410 triliun ton (Rp 867.600.000.000.000.000 rupiah). Kita baru
mengkalkulasi kasar kekayaan Kaltim dari sektor pertambangan batubara,
belum bicara terkait minyak dan gas bumi yang jumlahnya tentu lebih
besar, belum lagi sektor kehutanan dan kekayaan alam lainnya. Ini sebuah
karunia yang Maha Akbar dari Tuhan, dan sebuah tantangan bagi
masyarakat Kaltim bagaimana mengelola kekayaannya.
Ironisnya,
kekayaan dalam angka di atas tidak nampak dalam segala segi kehidupan
masyarakat Kaltim. Semua melihat bagaimana infrastruktur yang cenderung
mengesankan sebagai propinsi miskin. Tidak perlu berbicara soal
pedalaman yang terisolasi. Kita bisa berkaca dari ibukota propinsi
Samarinda, jalanan rusak dan sekolah hampir roboh sempat tampil sebagai
berita panas di bebagai media. Tingkat kelulusan sekolah dan buta aksara
masih menjamur di Kaltim.
Propinsi
ini kaya namun masyarakat miskin masih dominan. Propinsi ini punya
batubara, hutan, minyak dan gas bumi melimpah, namun jadwal pemadaman
listrik menjadi iklan di koran-koran. Banjir masih menghantui di
kota-kota sentralnya. Tingkat pendapatan masyarakat pun masih terlalu
rendah.
Ada
sebuah wacana bahwa ini disebabkan keserakahan pusat yang hanya
menguras kekayaan Kaltim seperti sapi perasan. Namun mengembalikan hanya
segelintir dari harta benda tanah Kaltim. Penghapusan
DAU yang santer diperdebatkan hanya satu dari sekian ketidakadilan
(atau mungkin bermakna penajajahan) pusat terhadap daerah. Pada sisi
lain tidak kalah opini kuat mengatakan bahwa koruptor juga merajalela
bermain-main di bumi kaya ini. Panjangnya daftar nama antrian di KPK
sampai yang benar-benar dalam hunian (tersangka). Polemik 16 milyar Dprd
Kaltim, 270 milyar KPUD, uang jalan-jalan aleg sampai megaporyek
ratusan milyar tak kunjung selesai (jalan trans, jembatan mahkota dua,
Islamic Center dll) di tengah masyarakat yang masih sulit mencari sesuap
nasi.
Pada
sisi lain kita juga menemukan sulitnya mencari manusia-manusia kritis
yang berani mengawal pembangunan di kaltim agar efisien, efektif dan
benar-benar bersih dari korupsi. Sebuah ironis dimana kalangan akademisi
dari dosen dan mahasiswa hanya sibuk dengan perkuliahannya tanpa rasa
dan upaya kritis memberikan cakrawala intelektualnya untuk kemajuan
propinsi Kaltim. Sangat jarang kita temukan tulisan-tulisan di media dan
aksi kritis dari civitas Universitas Mulawarman dalam berkontribusi
terhadap pembangunan daerah yang kian sakit.
Kekayaan
yang timpang dengan pembangunan tentu harus disikapi segera oleh
seluruh masyarakat Kaltim. Ini bukan hanya urusan gubernur dan aleg, ini
juga urusan tukang ojek sampai penjual bakso. Membangun kaltim bukan
hanya pada momen pilkada atau pilgub namun setiap hari kita harus
mencermati bagaimana wujud program dan janji pemerintah kemarin, hari
ini dan hari esok.
Kita
bersyukur beberapa media telah membantu transparansi dalam pembangunan
dan membangun budaya kritis dari masyarakat baik melalui publikasi sms
curhat sampai berita-berita yang berupaya mengejar potensi korupsi.
Sudah saatnya kita belajar mengelola kekayaan dengan arif dan bijak.
Masih ada anak cucu yang juga perlu menikmati harga 1 ton batubara,
harga 1 barel minyak bumi dan harga 1 kubik kayu.
Perlu
kebijakan berani dari pemda yang jujur agar kekayaan kaltim kembali
kepada masyarakatnya, bukan lari (atau dilarikan keluar Kaltim). Seperti
rencana proyek pipaisasi gas bontang yang sangat merugikan kaltim
(bukan tidak mungkin di tengah laut jawa ada pipa misterius yang disabot
dari jalur pipa tersebut seperti yang ditemukan di Balikpapan).
Setelah
melihat sketsa kasar wajah Kaltim hari ini, tidak cukup jika hanya
merasa sakit hati atau jengkel. Perlu sebuah rumusan pemikiran bersama,
perlu sebuah aksi yang mengejawantah agar persoalan kekayaan alam ini
bisa dinikmati seluruh masyarakat Kaltim. Tidak sebatas wacana dan
seminar-seminar tentang pembangunan Kaltim namun diwujudkan dalam
program-program yang integratif , transparan dan melibatkan masyarkat
Kaltim sebagai penggerak roda sosial ekonomi. Jika tidak, maka
relakanlah ratusan triliun itu dimakan tikus-tikus berdasi.
Sejarah Dayak
Sejarah Dayak |
Dipublikasikan Kaltimpost Januari 2008
Dayak, etnis terbesar dan tersebar di seluruh penjuru bumi Kalimantan, telah membangun peradabannya sekitar 2000 SM. Studi sejarah dan antropologi mengungkapkan titik awal etnis dayak bermula dari migrasi masyarakat Proto Melayu dari daerah Cina Selatan, Yunan.
Migrasi
terus berlanjut sehingga membentuk etnis dayak yang memiliki keragaman
dan heterogenitas dalam corak, pola hidup bahkan bahasa. Dayak Kenyah,
Punan, Maanyan misalnya membangun komunitasnya di pedalaman dengan
berkebun berladang. Ada pula Dayak Iban yang dikenal sebagai pelaut
ulung yang hidup di pesisir Barat Kalimantan.
Dalam
perkembangannya, Dayak membangun sistem kepercayaannya dan
ketuhanannya, sesuatu yang lumrah dimiliki setiap komunitas masyarakat.
Di Kalimantan Tengah dan Selatan, Dayak Maanyan membangun kerajaan
Nansarunai yang bercorak Hindu. Kerajaan ini yang mengalami kejatuhan
pada abad ke-13 setelah diserang Majapahit (Fridolin Ukur, 1971).
Sebagian dayak masuk ke pedalaman, sebagian bertahan dan berasimilasi
dengan Jawa. Islam mulai masuk di Kalimantan, bersamaan dengan
terbentuknya kerajaan baru di daerah selatan Kalimantan, yaitu Kerajaan
Negara Daha (berpusat di Marabahan) dan Negara Dipa (berpusat di
Amuntai).
Pada daerah selatan pesisir Kalimantan Islam mulai berkembang di tengah kultur Hindu. Dayak yang menjadi muslim disebut bahakey. Dituturkan tentang tokoh bernama Labai Lamiah seorang Dayak Maanyan
pertama yang menjadi muallaf dan mubaligh. Ia berdakwah di wilayah
Nagara yang masyarakatnya pada waktu itu adalah campuran antara suku Dayak Maanyan dan mantan prajurit Majapahit yang masih memeluk agama Hindu Syiwa. Labai Lamiah berhasil mengislamkan orang-orang Maanyan yang ada di Banua Lawas atau sekarang disebut Pasar Arba, tidak jauh dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat orang Ma’anyan di tempat itu berubah fungsi menjadi Masjid (Marko Mahin, 2003).
Ketika
terjadi perpecahan internal pada kerajaan Negara Dipa, Pangeran
Samudra, seorang dayak Maanyan meminta bantuan Demak untuk berkuasa di
daerah Selatan Kalimantan. Raja Demak mensyaratkan keislaman Pangeran
Samudra, sehingga mengganti namanya menjadi Suriansyah dan kemudian
membangun Kerajaan Banjar pada tahu 1526, sehingga dimulailah etnis
Banjar. Kerajaan Banjar sempat menghegemoni sosial politik di Kalimantan
sehingga bahasa Banjar menjadi familiar di Kaltim dan Kalteng.
Etnis
Kutai, dikenal sebagai kerajaan hindu tertua di nusantara dengan adanya
bukti prasarti Yupa pada abad ke-4 Masehi yang saat itu diperintah oleh
Raja Mulawarman. Kutai, Dayak dan Banjar memiliki beberapa kesamaan
fisik, corak hidup dan bahasa. Kutai juga mengalami Islamisasi setelah
kedatangan muballigh dari Sumatra yang mengajak Raja Kutai untuk memeluk
Islam pada abad ke-17. Sehingga seluruh rakyatnya pun masuk Islam.
Beberapa sejarawan memperkirakan Kutai juga berasal dengan etnis yang
sama dengan dayak.
Pada
abad ke-16, Portugis dan Spanyol datang ke nusantara untuk mencari
sumber daya alam, disebabkan jatuhnya Bizantium oleh Turki yang praktis
mengganggu jalur perekonomian Eropa dengan Asia. Barat (Eropa) mencari
langsung sumber kekayaan ke negeri Timur dengan menjajah dan mencuri
kekayaan di seluruh penjuru negeri. Kedatangan Barat pada gelombang
berikutnya ke nusantara diikuti oleh misionaris untuk menyebarkan agama
Kristen.
Kristen
masuk di Kalimantan melalui daerah utara dan barat. Penjajah, ilmuwan
sekaligus misionaris memasuki pedalaman Kalimantan untuk memetakan
kekayaan alam dan mengenalkan agama Kristen. Maka dimulailah pembentukan
komunitas-komunitas dayak Kristen pada jalur-jalur yang dilaluinya
sampai ke daerah timur Kalimantan.
Kristen
diterima oleh masyarakat pedalaman yang saat itu masih memiliki
keyakinan animisme dan dinamisme. Dikenal pula Kaharingan yang mirip
dengan Hindu dan masih banyak dipegang oleh Dayak daerah Kalteng.
Kristen kemudian menjadi simbol dan identitas bagi sebagian etnis dayak
pada daerah Kalbar, Kalteng dan Kaltim. Di Kaltim sendiri, dayak Kristen
terkonsentrasi di daerah Kutai Barat dan Malinau. Di Kabupaten Berau
terdapat kampung dayak bernama Tumbit Dayak yang beragama Kristen dan
Tumbit Melayu yang beragama Islam, kampung ini hanya bersebelahan di
Kecamatan Kelai.
Beragamanya
corak, model bahasa dan keyakinan hidup yang dimiliki etnis dayak,
tidak memungkinkannya untuk diidentikkan untuk satu kepercayaan/agama
tertentu. Tidak seperti Bugis yang kental dengan Islamnya dan Toraja
yang sudah identik dengan Kristen. Dayak telah memiliki berbagai macam
wajah kultur dan keyakinan. Maka sebuah kekeliruan jika ada seorang
dayak ataupun non-dayak yang memvonis dayak adalah Kristen.
Kompleksitas variasi etnis dayak tidak lantas merupakan sebuah weakness (kelemahan).
Kesamaan harapan, kesadaran nasib dan kondisi yang termarginalisasi
dalam kancah sosial politik dapat menjadi sebuah kekuatan pemersatu dan
soliditas etnis dayak dalam berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan
Negara Indonesia tercinta.
Revitalisasi peran UNMUL dalam pembangunan Kaltim
Revitalisasi
peran UNMUL dalam pembangunan Kaltim
oleh Nugrasius
Dipublikasikan Tribunkaltim Januari 2013
Sejauh
mana peran dan kontribusi Universitas Mulawarman terhadap pembangunan di
Kalimantan Timur ? Suramnya wajah Kaltim hari ini dan ibukota propinsi
khususnya menunjukkan perlunya revitalisasi dan rekonstruksi peran rumah kaum intelektual
ini.
Carut
marutnya infrastruktur propinsi Kaltim, rusaknya lingkungan kota Samarinda
dengan opera banjir dan tata kota tak terencana, serta berbagai permasalahan
lainnya seharusnya menjadi sebuah tantangan bagi universitas yang memiliki 51
orang profesor ini. Sejumlah 151 doktor yang ‘terpenjara’ di gedung-gedung
universitas kebanggaan Kaltim ini seharusnya bisa memberikan solusi kreatif dan
inovatif terhadap persoalan sosial teknis yang dihadapi pemerintah dan
masyarakat Kaltim. Sayangnya kita sangat jarang menemukan konsep dan publikasi baik
berupa proposal blue print pembangunan Kaltim yang ideal dengan dasar-dasar
ilmiah maupun penelitian-penelitian ilmiah itu sendiri untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dan pemerintah.
Kemana Arah Unmul ?
Mengamati
visi Unmul yang berbunyi “Menjadi
Universitas Berstandar Internasional yang Mampu Berperan dalam Pembangunan
Bangsa Melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat.. “
tampaknya bagai punuk merindukan bulan. Di era teknologi informasi saat ini,
publikasi ilmiah Unmul tenggelam dan tak bisa diakses masyarakat sehingga dalam
survey Webometric 2012 Unmul di peringkat 116 se-Indonesia dan ke 8579 sedunia.
Sedangkan menurut survey 4International Colleges and Universities 2012 Unmul di
peringkat 48 se-Indonesia dan ke 4982 sedunia.
Unmul yang digawangi Rektor Prof. Dr. H. Zamruddin
Hasid S.E, S.U. ini seolah bergerak tanpa target pencapaian yang jelas. Tidak
ada target waktu dan persentase untuk mencapai visi misi sasaran dan
peningkatan mutu universitas. Jika Institute Teknologi Bandung (ITB) memiliki doktor
sejumlah 745 orang, bagaimana upaya Unmul untuk mengejar ketertinggalannya yang
saat ini hanya seper enam nya ? Atau jumlah koleksi buku dan referensi ilmiah
di perpusatakaan Unmul yang hanya berjumlah 290.000 buah, separuh dari koleksi
Universitas Hasanuddin (UNHAS) sebanyak 520.000 buku. Atau tenaga pengajar
Unmul sejumlah 935 orang, separuh tenaga pengajar Universitas Gajah Mada (UGM) sejumlah
1.850 orang. Belum lagi tantangan peningkatan akreditasi beberapa fakultas /
jurusan di Unmul yang lulusannya tidak diakui dan ditolak menjadi CPNS, sehingga
CPNS di Kaltim justru banyak berasal dari luar daerah.
Pengelolaan anggaran sebesar 400 miliar setiap tahun
serta keberadaan universitas di propinsi lumbung energi dan
perusahaan-perusahaan besar, idealnya memposisikan Unmul sebagai universitas
unggulan baik secara kualitas maupun kuantitas dari semua aspeknya di Indonesia.
Ironinya, untuk membangun diri sendiri sebagai sebuah pusat intelektualitas
yang kredibel dan solutif, Unmul tampak tergopoh-gopoh, bagaimana pula
mengharapkan peran besar Unmul dalam dinamisasi pembangunan Kaltim ?
Revitalisasi dan Revolusi Unmul
Perlu
kerja keras yang intensif dari seluruh civitas akademisi Unmul, dari rektor dan
seluruh jajaran kabinetnya, BEM Unmul dan fakultas serta mahasiswa untuk
bersama-sama membenahi rumahnya sehingga bisa menjadi universitas yang
benar-benar berstandar internasional dan berperan terhadap pembangunan bangsa
dan Kaltim khususnya. Budaya kritis yang semakin kritis dari akademisi Unmul
mesti diasah kembali baik ke dalam (universitas) maupun keluar (masyarakat /
pemerintah). Unmul seharusnya menjadi garda terdepan dalam transparansi anggaran,
memberantas korupsi, efisiensi dan efektifitas pembangunan kampus, mengawal dan
mengkritisi pembangunan Kaltim dengan perspektif ilmiah, tidak terjebak pada pragmatisme
politik dan oportunis mencari proyek.
Unmul
membutuhkan gebrakan besar, loncatan dan revolusi untuk merubah kultur,
kebijakan dan metode perbaikan peningkatan mutunya sehingga bisa mengejar
ketertinggalan dengan universitas-universitas lainnya serta menjadi lebih
peduli dan solutif terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di
sekitarnya. Sehingga keinginan untuk bisa memperoleh posisi Menteri Lingkungan
Hidup tidak menjadi bahan tertawaan mengingat kota tempat universitas ini
berdiri justru mengalami bencana lingkungan hidup yang sangat parah.
Harapan
besar masyarakat Kaltim terhadap Universitas Mulawarman yang telah berusia ke
50 ini sangat besar untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Jika Unmul tidak
mampu menjadi konseptor pembangunan, apakah kami harus berharap pada tukang
ojek, penjual bakso dan tukang parkir ? Semoga menjadi refleksi bagi civitas
Unmul untuk bangkit menjadi lebih baik.
Review Infrastruktur jalanan Kaltim, apa yang salah ?
Review Infrastruktur jalanan Kaltim, apa yang salah ?
oleh Nugrasius
Dipublikasikan Tribunkaltim November 2012
Menyimak
perkembangan infrastruktur Kalimantan Timur, apakah sudah maju, atau tertinggal
jauh, perlu kita tinjau melalui salah satu analisa komparasi terhadap propinsi
lainnya di nusantara. Dalam hal ini penulis mencoba fokus pada komparasi infrastruktur
jalanan pada propinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat
dimana penulis pernah mengelilingi hampir seluruh jalanan para propinsi
tersebut.
Pada
tahun 2005 penulis melalui proyek survey ke seluruh kota di Sulawesi Selatan,
kita dapat menemukan kondisi jalanan yang secara keseluruhan jauh relatif baik
dan mulus jika dibandingkan infrastruktur jalanan di Kalimantan Timur (Kaltim).
APBD Sulawesi Selatan (Sulsel) pada tahun 2011 hanya sebesar 2,7 triliun rupiah,
sangat jauh di bawah APBD Kaltim 2011 yang sebesar 10 triliun rupiah. Dengan
APBD sekecil itu, Sulsel lima tahun lalu sudah memiliki infrastruktur jalanan
yang sangat jauh kualitasnya di atas Kaltim. Bahkan ketika penulis memasuki
kota Bantaeng dengan ketinggian lebih 700 meter dpl (dari permukaan laut),
sepanjang 100 km jalannya relatif baik dan halus aspalnya.
Adapun propinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) sangat
mudah diakses dari Kaltim. Pada tahun 2010 penulis telah mengitari seluruh
jalan se-Kalsel baik jalan propinsi, nasional maupun kabupaten/kota. Kita akan
menemukan kualitas jalan yang juga sangat jauh di atas Kaltim. Mulai masuk
melalui Gn. Rambutan – Tanjung hingga ke Banjarmasin – Batulicin hingga keluar
dari Kalsel melalui Grogot hampir tidak dijumpai lubang-lubang yang mengganggu,
sesuatu yang lumrah kita temui di setiap sudut jalanan Kaltim. Bahkan penulis
pernah membuat anekdot. Jika kita terjun paying dan mendarat di perbatasan
jalan aspal Kaltim – Kalsel dan kita bingung yang mana Kalsel / Kaltim, maka
kita tinggal melihat jalan aspalnya, jalan aspal yang rusak sudah pasti Kaltim,
jalan aspal yang bagus, itu pasti Kalsel. APBD Kalsel hanya sebesar 2,5
triliun, hanya ¼ APBD Kaltim, kemana output APBD Kaltim? Saat kita baru saja
keluar dari ibukota propinsi Kaltim menuju Bontang, kita disajikan
lubang-lubang yang senantiasa berpotensi memakan korban jiwa. Begitupun Kutai
Kartanegara dengan APBD nya 2011 sebesar 4,7 triliun rupiah, tidak pernah mampu
memperbaiki ruas jalan daerah Jahab yang hanya beberapa kilometer keluar dari
Tenggarong menuju Kutai Barat. Bahkan 60% lebih infrastruktur jalan Kukar rusak
berat. Kita patut mempertanyakan kapabilitas dinas-dinas terkait dalam
membangun infrastuktur daerahnya.
Sementara
Sumatera Barat (Sumbar), dengan APBD HANYA sebesar 2,1 triliun rupiah, telah
menciptakan infrastruktur jalanan yang jauh lebih berkualitas lagi dari Kaltim.
Sepanjang lebih 300 km, dari Muara Bungo hingga ke Solok dan Padang, melewati beberapa
baris pegunungan, kualitas jalan tersebut dapat dilewati truk-tronton-trailer
dengan kapasitas 30 ton ! Dan tanpa lubang jalanan satupun !
Berdasarkan
data dari dinas PU Kaltim, kita peroleh jalan propinsi sepanjang 1.762 km,
dengan kondisi Rusak Berat 65.1 km, Rusak Sedang 310.8 km, Rusak Ringan 245.5
km, dan yang Baik 1.160 km. Artinya masih banyak pekerjaan rumah bagi
dinas-dinas terkait di semua propinsi, kabupaten/kota untuk memperbaiki kualitas
infrastruktur jalannya. Jika Sumbar dengan APBD yang sangat kecil mampu
menciptakan jalan dengan kapasitas 30 ton sehingga roda perekonomiannya
berlangsung pesat, maka tidak relevan lagi bagi pemerintah Kaltim menggunakan reason jalanan rusak karena dilalui truk
sawit/batubara yang melebihi kapasitas. Karena dengan APBD yang sangat besar seharusnya
Kaltim dan ibukotanya Samarinda sudah memiliki kualitas jalan yang dapat
dilewati kendaraan berkapasitas besar.
Infrastrktur
jalan merupakan urat nadi perekonomian yang sangat strategis. Investasi pada
kualitas jalan terbaik dan kapasitas besar harus total dan tidak
setengah-setengah. Budaya ‘mengambil jatah’ pada proyek perawatan jalan harus bisa
dihapus dan hal ini butuh kemauan kuat dan serius dari gubernur/bupati/walikota
dan kepala dinas PU, karena proyek perawatan jalan telah menyita banyak
anggaran dan membuat kualitas dan kuantitas jalan aspal menjadi stagnan/jalan
di tempat. Selayaknya eksekutif berpikir jauh ke depan dengan menciptakan
kualitas pengerjaan jalanan dalam satu kali proyek tanpa harus adanya proyek
perawatan. Karena masih banyak pekerjaan rumah proyek pembuatan infrastuktur
jalan yang belum selesai dari tingkat pengerasan ke tingkat pengaspalan. Semua
kembali pada pengawasan dinas PU, akan halnya korupsi dalam ketebalan dan
kualitas material jalan, dengan melihat aktual infrastuktur jalanan di Kaltim
jika dibandingkan dengan propinsi lainnya, kita patut bertanya, ada apa dengan
dinas PU propinsi dan PU kabupaten/kota.
Langganan:
Postingan (Atom)