Kemana Mahasiswa ?
Tahun 1997 krisis ekonomi menghantam Indonesia.
Mahasiswa turun ke jalan menuntut perubahan. Mahasiswalah pahlawan
reformasi. Mahasiswa adalah pemuda, agen perubahan, poros harapan
bangsa. Tidak ada kemerdekaan tahun 1945 jika para pemuda tidak
bergerak. Mungkin kemerdekaan kita mundur 5 tahun kalau pemuda tidak
memaksa golongan 'tuha' untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Soekarno selaku mahasiswa di pengadilan melawan penjajah Belanda dengan
Indonesia Menggugat-nya. Setahun sebelumnya para mahasiswa berkumpul
dalam ikrar Soempah Pemoeda, 1928.
Hari ini, krisis mendera, mengaku
atau ditutup-tutupi, suka tidak suka, krisis mulai menggerogoti
perekonomian. Harga-harga kebutuhan pokok satu per satu terus naik tanpa
bisa diturunkan. Harga BBM naik disaat harga minyak mentah dunia turun.
Harga beras naik saat musim panen, padahal Kukar baru saja menyatakan
surplus berton-ton beras. Rupiah melemah signifikan sudah mulai membuat
pelaku usaha berteriak karena cost produksi dengan barang atau part
impor merangkak naik. Bagi penikmat nasi tempe, kenaikan harga kedelai
impor berimbas pada kenaikan harga makanan seluruh rakyat termasuk
mahasiswa di kampus. Harga smartphone dan laptop terkerek naik. Semua
kenaikan harga atau krisis ekonomi dapat dicegah seandainya pemerintah
punya tim ekonomi kuat dan fokus memperbaiki ekonomi, bukan sibuk
memecah belah partai oposisi, memainkan sinetron bali nine, alih isu
ISIS sampai bikin iklan pembagian 'ribuan' traktor sawah yang tak jelas
rimbanya.
Kejahatan jalanan atau begal, imbas dari peningkatan
kemiskinan dan peningkatan pengangguran tak tertangani dengan baik.
Utang pemerintah yang nantinya dibayar anak cucu sudah hampir mencapai
2000 triliun rupiah bukannya dikurangi tapi ditambah 500 triliun utang
baru. Dihibur badut ekonomi bahwa rasio utang masih dalam taraf aman.
Memangnya 'mbah'mu yang bayar? Krisis demi krisis terus bergerak namun
terus coba kita tutupi karena politik pencitraan, justru nantinya
membuat kita stroke mendadak. Apakah kita merindukan Harmoko ? Atau kita
sendiri sudah menjadi Harmoko ? Membabi buta membela presiden, koalisi,
partai politik, tanpa lagi memiliki kejernihan membedakan mana benar
mana salah, tapi lebih pada yang penting menang. Prinsip sebagian besar
pengacara. Badan anti korupsi diobok-obok. Kontrak kerja freeport terus
berlanjut dengan bargaining lemah.
Kemana mahasiswa ? Kemana para
pemuda ? Asyik update status, nongkrong di mall, pacaran, sibuk mancing
mania atau cari akik di pasar pagi ? Sibuk belajar mengejar IPK tinggi,
cumlaud tapi lalai akan permasalahan sosial yang mendera di sekitarnya.
Ketika pemerintah lupa diri, terpeleset dengan kebijakannya yang tidak
bijak, apakah kita berharap tukang bakso, ojek, penjual sayur, ikan,
pasukan kuning yang bergerak, berserikat, berkumpul menyatakan pendapat
mengkritisi pemerintah ? Maka baju intelektualitas dan agen perubahan
lebih tepat kita sematkan pada mereka, di tengah kesibukannya mencari
nafkah dan membiayai anak-anaknya sekolah.
Kemana mahasiswa ? Sibuk
cari nafkah juga ? Rasanya tidak. Saya teringat sewaktu kuliah, selain
belajar, menyempatkan diri mengkritisi pemerintah, 3 presiden didemo
mulai dari Gusdur, Megawati sampai SBY. Sekali dipentung polisi, sekali
ditendang polisi, sebabnya karena demo berdampingan dengan mahasiswa
kiri yang cenderung anarkis. Apakah aktif berorganisasi berdemontrasi
membuat kuliah kita terganggu sebagai mahasiswa ? Entahlah tergantung
masing-masing pribadi membawa diri, saya pribadi bisa lulus dengan IPK
di atas 2.75 dan langsung bekerja hingga saat ini sesuai profesi dengan
karir yang baik. Di tengah usia perkuliahan mahasiswa menjalani Kuliah
Kerja Nyata (KKN), salah satu nilai dari 3 value KKN adalah bagaimana
kita peduli dan terlibat memecahkan masalah masyarakat. Pada posisi
itulah, mahasiswa atau akademisi selaku gudang intelektual harus lebih
menonjol dalam memecahkan masalah masyarakat dan negeri dengan tuntas.
Dari banjir sampai korupsi, keluarkan pemikiran dan aksimu membantu
pemerintah. Sahabat yang baik adalah sahabat yang berani menegur
sahabatnya yang salah agar lurus kembali dari jalan yang bengkok. Jika
kita mendiamkan justru kita membenamkan sahabat kita ke dalam masalah
yang lebih dalam. Salah satu wujud cinta pada pemimpin kita adalah tanpa
sungkan menegur atau mengkritisi pemimpin dari kebijakannya yang salah,
dari keteledorannya yang merugikan rakyat.
Hari ini, sebelum
berbagai masalah yang mulai mendera menjadi kanker yang lebih parah,
sudah saatnya mahasiswa dan pemuda kembali turun ke jalan memberi
warning pada pemerintah untuk kembali fokus memperbaiki ekonomi bangsa,
bukan membangun kericuhan politik. Mengawal pemerintah memperbaiki
kemampuan pemerintah eksekutif membuat APBD yang baik dan benar, bukan
berteriak-teriak menuduh begal APBD legislatif untuk menutupi borok
sendiri. Berhentilah jadi Harmoko masa kini. Suarakan kebenaran demi
kepentingan bangsa, jangan lagi memperuncing kondisi dengan divide et
impera, apa bedanya kita dengan Belanda, mungkin hanya warna kulit.
Ingatlah
rezim tidak pernah sadar kesalahannya hanya melalui seminar-seminar
atau berkirim surat baik langsung maupun ke media. Koruptor, hampir
belum ada sejarahnya taubat karena ditegur atau dinasihati baik-baik.
Rezim otoriter baru sedikit sadar saat ada perlawanan, reaksi tekanan,
teguran keras untuk menyadarkan dan membuat mereka berpikir kembali mana
benar mana salah. Para pengguna jalan yang sering mencibir pelaku demo,
sering lupa diri bahwa sebagian masalah hidupnya banyak terselesaikan
karena tekanan pemuda dari orasi jalanan, langsung ataupun tidak
langsung.
Kepada para pemuda, mahasiswa dan akademisi yang merindukan
lahirnya kejayaan, sudah saatnya tunjukkan taringmu kawan. Tuntaskan
reformasi !
Nugra,ST
Terimakasih infonya, sangat menarik dan bermanfaat. Jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2vplrBi
BalasHapus