Sabtu, 25 April 2015

Melanglang ke Tabang, Negeri yang Hilang



Melanglang ke Tabang, Negeri yang Hilang
Tabang, negeri yang tersembunyi di balik hamparan pepohonan di perut pulau Kalimantan menyimpan pesona tak terlupakan. Sebagai salah satu kecamatan dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Tabang malu-malu bergeliat di balik luasnya Danau Semayang yang penuh misteri.
Tabang memiliki kekayaan melimpah, emas yang belum tersentuh, batubara yang separuh hidup, dan sawit yang luas. Bagi pecinta travelling dan off road, Tabang seperti gadis perawan yang bisa membuat petualang tak pernah puas menikmati keindahan dan tantangannya.
Kalau di Datah Bilang, Kutai Barat, kita mudah menemukan gadis Dayak yang manis-manis, di Tabang kita mudah menemukan pemuda Dayak yang gagah seperti artis-artis mandarin. Lebih dari itu, beras gunung dan ayam kampungnya yang lezat plus rendah kotoran kimia, membuat hidup lebih terasa hidup.
Perjalanan ke Tabang sangat mengasyikan dan penuh tantangan. Dari Samarinda menempuh perjalan darat ke Kota Bangun sekitar 3 jam. Kebetulan sekarang jalan sudah cukup mulus namun penuh tikungan mesti stok adrenalin. Entah kenapa kita di Kalimantan suka jalanan berkelok, selain karena mengambil alih jalan loging barangkali banyak kelokan menambah jumlah meteran jalan yang perlu dirawat. Anggaran lagi, lagi-lagi anggaran.
Pelabuhan Kota Bangun tepat di depan masjid raya, penuh parkiran mobil yang menginap dari para pelancong. Untuk membawa mobil ke Tabang seperti halnya penyeberangan Sungai Mahakam di Tenggarong, bedanya, karena jarak yang jauh biayanya berkisar 1-2 juta dari Kotabangun ke Kahala, mulutnya Tabang. Saya sempat menyeberang dengan kapal membawa Pajero, melintasi jembatan ‘Ali Baba’, jembatan yang dibangun tanpa ada jalan di kanan kirinya, mirip gapura raksasa, ikonnya Muara Bangun.
Pertama kali saya melanglang ke Tabang menggunakan ketinting atau perahu ces, perahu panjang menggunakan satu mesin kecil dengan penumpang rata-rata 6 orang. Melewati jalur air akan terasa menegangkan bagi yang tak bisa berenang apalagi yang belum terbiasa dan untuk pertama kalinya. Untungnya saya bisa berenang. Hujan deras ikut meramaikan kekhawatiran kalau-kalau ketinting terbalik, telebih saat memasuk Danau Semayang yang nampak seperti hamparan luas lautan, lebih mirip seperti di tengah samudera daripada kesan danau, sebab sejauh mata memandang nyaris tak terlihat adanya daratan.
Fenomena menakjubkan lainnya di danau Semayang adalah, saat tiba-tiba perahu nyangkut di tengah ‘samudera’. Kami pun kaget, di lautan luas ini ketinting ‘amblas’. Ada apa gerangan ? Tiba-tiba sang nahkoda menceburkan diri ke ‘laut’. Byurr. Ternyata kedalaman airnya hanya setinggi lutut. Bukan main. Kami pun ikut menceburkan diri ke ‘laut’ membantu mendorong ketinting keluar dari daerah dangkal. Lumayan satu tarikan selfie, berdiri di tengah laut, dengan latar perahu di lautan luas.
Ternyata Danau Semayang merupakan perairan dangkal yang luas, muara dari Sungai Kahala, Tabang. Jika surut, akan terlihat hamparan pasir dan lumpur yang luas, jika level muka airnya naik, rata-rata hanya 2-3 meter. Ramai warga mencari ikan dan kepiting untuk dijual di Melak sampai Samarinda. Inilah mata pencaharian utama masyarakat yang bermukim dekat dengan Danau Semayang dan Danau Melintang di sebelahnya.
Setelah melintasi Semayang selama 1 jam, butuh 1 jam lagi menyusuri sungai kecil Kahala yang dikitari rawa-rawa semak belukan untuk tiba di Kampung Kahala. Setelah ngopi-ngopi sejenak, perjalanan sudah bisa dilanjutkan melalui jalur darat. Rental mobil sudah siap menunggu di Kahala menuju Ritan, Tabang. Dengan jalan pengerasan mendatar batu pasir, terasa santai melintasi sawit dan perkebunan warga.
Tiba di Ritan, jalan cor beton sudah siap beberapa kilometer. Kaget juga melihat keberadaan jalan beton di pedalaman yang memanjakan truk-truk sawit melintas, sementara jalan Kukar di Loakulu-Loajalan masih jerawatan. Memang kondisi tanah Ritan dan sekitarnya agak berbukit sehingga sudah mampu menjadi landasan stabil untuk jalan cor, sementara jalan dari Kahala ke Kotabangun mesti melewati daerah rawa dan tidak ada gunung di dekatnya sebagai sumber material timbunan jalan. Hanya Amuntai di Kalsel yang berani menimbun 10 km jalan rawa dengan sumber material yang juga sangat jauh. Kapan Kukar berani mengkuti model jalan Amuntai ? Kita tunggu Bu Rita jalan-jalan berkunjung ke Amuntai.
Istirahat di Ritan, kami dimanjakan kuliner lezat alami yang tentu saja jauh dari oksidan racun kimia makanan kota. Nasi dari padi gunung dan sajian ayam kampung dengan sambal hijau membuat lupa kuliner perkotaan. Rasanya warga di sini bisa membuka warung di Samarinda Balikpapan dengan nama warung Ritan Baru, menggunakan bahan-bahan alami pedalaman yang pasti diminati kalangan menengah ke atas yang merindukan makanan sehat nan lezat.
Tak jauh dari Ritan Baru inilah pesawat kecil yang ditumpangi eksplorer Australia jatuh terjerembab tewas beberapa tahun lalu. Keberadaan emas di hulu Tabang tidak hanya mengundang para pendulang-pendulang tradisional yang masih berjalan hingga ke Mahakam Ulu, tapi beberapa investor asing pun diam-diam dengan helicopter curi-curi sampel emas untuk diuji lab. Akses jalan yang belum tersedia membuat cadangan emas di hulu masih awet untuk cucu kelak.
Sementara batubara Tabang sudah lama dibongkar grup Bayan milik Cina Malaysia, menggunakan Sungai Belayan dengan kapasitas tongkang sedang untuk pengapalan ke laut. Tiba musim kemarau, tambang pun menangis karena tongkang nyangkut di sungai yang mendangkal. Sementara jalur hauling darat ke Senyiur masih cukup jauh apalagi hadangan warga menguras tenaga dan dompet.
Umumnya batubara di Tabang memiliki kalori rendah hingga medium, dengan harga drop saat ini tentu saja industri tambang batubara Tabang semakin ngos-ngosan. Sementara sawit dan karet juga turun, semoga batu akik di hulu Tabang bisa menambah kocek masyarakat Tabang.
Jalur transportasi alternatif Tabang keluar adalah melalui jalur darat menuju Senyiur kemudian ke Muara Ancalong lalu turun ke Sebulu menggunakan jalur logging. Lama perjalanan kira-kira 5 jam lebih. Muara Ancalong dulunya jalur pelarian Kerajaan Mulawarman Martadipura saat berkonflik dengan Kutai Kartanegara 700 tahun silam. Tak heran di daerah Tabang – Muara Ancalong inilah ditemukan Patung Budha emas ukuran 5 cm yang saat ini tersimpan di museum Mulawarman Tenggarong.
Tabang, negeri yang hilang, menantikan gebrakan akses transportasi yang baik dari pemerintah daerah untuk peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap industri sumber daya alam yang bermanfaat dan ramah lingkungan berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Saatnya Tabang menembus batas, dan mari melancong ke Tabang, siapa tahu ketemu akik jenis baru.


Salam,

Nugra,ST
Penjelajah Borneo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar