100 Hari di Perbatasan Kaltim - Kalteng
dipublikasikan Kaltimpost 3 Maret 2015 hal. 2
Sungguh indah nian pemandangan di pedalaman bumi
khatulistiwa. Hamparan pepohonan hijau dengan udara sejuk tak kalah indah
dengan lukisan hijau persawahan karunia Tuhan. Tapi siapa sangka di bawah
lebatnya hutan perawan Kalimantan, tersembunyi milyaran juta metric ton
batubara serta ribuan ton emas.
Butuh waktu ratusan tahun untuk mengekstraksi kandungan
sumber daya alam di perbatasan Kalimantan. Dan hari itu saya sedang mengurus
set up project dari IUP konsesi batubara di Kutai Barat, tepat di perbatasan dengan
Kalimantan Tengah dan Mahakam Ulu. Hanya dalam 200 hektar terdapat lebih 50
juta metric ton batubara dengan kualitas medium hingga cooking coal (kalori
tinggi). Sementara di sekitarnya puluhan ribu konsesi BHP dengan kuantitas yang
jauh lebih besar. Itulah sebabnya BHP berniat membangun jaringan kereta api
untuk transportasi batubara, dimulai dari Kalteng hingga Kutai Barat.
Kualitas udara di pedalaman sangat bersih, jauh dari debu
dan asap industri yang menggerogoti paru-paru. Hanya asap rokok satu-satunya
pengotor yang mencemari udara tanpa mengenal tempat dan waktu. Sudah jauh-jauh
masuk ke pedalaman mencari udara segar akhirnya batuk-batuk juga terkena
semburan asap teman di sebelah. Apalagi saat bernegosiasi dengan warga, kepala
kampung dan kepala adat soal kompensasi lahan, asap mengepul kanan kiri bersama
kopi hitam panas. Serasa lepas beban hidup, sementara.
Sungai Mahakam menjadi salah satu urat nadi perekonomian
masyarakat Kutai Barat dan Mahulu. Kapal-kapal barang hilir mudik tiap hari dari
pelabuhan Samarinda hingga ke Datah Bilang, tempatnya gadis Dayak yang
cantik-cantik mudah ditemui. Hulu sedikit dari Datah Bilang, perusahaan tambang
terjauh sudah beroperasi lama, milik Bayan Grup, Mamahak Coal Mining. Sayangnya
Sungai Mahakam surut di musim kemarau sehingga hanya ketinting yang bisa lewat,
nasib kapal barang tersangkut di Melak. Sempat saya lintasi kapal dengan alat
berat milik TNI yang hendak mengerjakan proyek di perbatasan Malaysia, tertahan
di Tering tak mampu menembus dangkalnya Sungai Mahakam.
Jalur darat rasanya semi off road dari Barongtongkok,
ibukota Kutai Barat menuju Datah Bilang, wilayah Hilir dari Mahulu. Jalan baru
tuntas sampai disini, itupun melewati beberapa jalan logging dan sawit. Nasib
daerah pedalaman masih terbilang tragis karena program pembangunan masih
terfokus di wilayah pesisir. Jalan aspal habis setelah melewati Tering, kampung
dengan banyaknya batuan beku struktur kolumnar persis situs Gunung Padang Jawa
Barat. Saya sedikit mengira dari batuan Tering inilah Mulawarman memahat cerita
kebesarannya di abad 5 Masehi. Karena di sepanjang Sungai Mahakam, hanya di
Tering terdapat batuan tersebut, apakah dibawa menggunakan kapal ke Sebulu
Kukar, entahlah.
Lepas dari Tering, jalan pengerasan melintasi kampung
yang cukup terkenal sebagai kampung warga pendulang emas, Kelian Dalam. Berbeda
dengan kampung-kampung di sekitarnya yang mayoritas Dayak Tunjung dan Benuaq
dengan agama Kristen Katolik, di Kelian Dalam ini separuh Dayak Bakumpai dan
separuh Bugis yang secara umum beragama Islam. Emaslah yang menjadi daya tarik
kedatangan warga Bakumpai dari Kalteng jauh-jauh melintasi sungai gunung hingga
di daerah Kelian Dalam dimana 20 tahun lalu butiran emas begitu mudah diperoleh
di permukaan tanah hanya dengan sedikit mencangkul. Disusul warga Bugis yang
masuk pada masa-masa emas kehutanan. Sampai hari ini, paska selesainya
penambangan PT. KEM, Kelian Equatorial Mining, tambang-tambang kecil warga
Bakumpai, Banjar, Bugis, Dayak dengan jumlah ratusan orang masih berjalan di celah-celah
hutan lindung.
Jalur sutera ini hampir setiap harinya menjadi
perlintasan pengerjaan proyek di pedalaman serta warga yang menuju Datah Bilang
melalui jalur darat. Tiba musim hujan hanya mobil double garden yang sanggup
melintas karena terdapat bukit dengan grade yang cukup terjal. Tak heran kepala
kampung yang tinggal di tengah kebun sawit luas punya mobil double gardan gagah
saban hari melintas. Kutai Barat dan Mahakam Ulu kaya sumber daya alam,
sayangnya kurang sentuhan yang lebih dalam menempatkan posisi pedalaman sebagai
core dalam bisnis maupun development peningkatan kualitas sumber daya manusia
dan kesejahteraannya. Posisi pedalaman Kaltim seperti ujung tanduk karena ia
tidak menjadi wilayah perlintasan, berbeda dengan pendalaman Kalimantan Barat
yang menjadi perlintasan dengan Malaysia sehingga pada beberapa titik
perlintasan kondisi kesejahteraan warganya masih lebih baik.
Kelian Equatorial Mining setidaknya mempunyai sumbangsih
pada peningkatan SDM Kutai Barat, dimana alumni-alumni karyawannya saat ini
sudah berhasil di pemerintahan dan bisnis sektor lainnya sehingga Kutai Barat
sebagai daerah otonomi baru jauh lebih sukses dibandingkan Nunukan. Bule-bule
Australia sedikit banyak memberikan kontribusi dalam memperbaiki etos kerja
warga pedalaman menjadi lebih disiplin dan keahlian kerja yang baik. Tak
sedikit pula gadis-gadis Dayak Tunjung Benuaq berkulit putih nan cantik,
diperistri dan bermigrasi ke Jakrta, Australia, hingga Eropa. Sebut saja KEM
effect. Walaupun KEM sudah menyerahkan mine closure atau penutupan tambang pada
pihak pemerintah daerah namun perhatian (protes) KEM terhadap penambang Taliban
emas di sungai-sungai hilir KEM masih cukup intens. Konon kabarnya dibalik
hutan lindung masih tersimpan cadangan emas yang cukup besar.
Gunung-gunung perbatasan Kalimantan Timur dan Kalteng
serta Serawak tak hanya menyimpan harta kekayaan alam yang sangat melimpah,
namun gunung-gunung ini juga ratusan tahun lalu menjadi saksi perburuan kepala
(highlander versi Dayak) antar sesama suku Dayak di masa silam. Dayak Iban dari
Serawak, pernah menyerbu kampung-kampung Dayak di Mahakam Ulu. Dayak Bahau
(Mahulu), Ngaju (Kalteng) dan Kenyah-Kayan (Malinau) pun biasa berantem di
Mahakam Ulu, sampai kemudian kedatangan ekspedisi Belanda yang melintas dari
arah Kalimantan Barat, mendamaikan semua suku-suku Dayak di Kalimantan
sekaligus menyebarkan misi agama.
Belum puas rasanya 100 hari di pedalaman Kalimantan,
namun karena harga batubara rontok, maka proyek-proyek batubara pun
bergelimpangan satu per satu di pedalaman Kalimantan karena cost (biaya) yang
cukup tinggi. Biaya transportasi maupun pengapalan di hulu Mahakam selisih
$2-$4 jika dibandingkan daerah Kukar ke hilir. Tak heran pengurangan karyawan
pertambangan merebak seperti angin, perekonomian sedikit sunyi. Rumah kontrakan
menganggur, warung makan agak sedikit sepi pengunjung, termasuk penginapan yang
cukup banyak di Barongtongkok harus sedikit bersabar.
Jikalau saja jalan aspal melenggang dari Kutai Barat
menembus Mahulu hingga Serawak, barangkali perekonomian lebih bergairah dengan
adanya interaksi perdagangan antar kedua negara, harga-harga Indonesia yang
lebih murah akan menjadi incaran warga tetangga. Mosok pusat perdagangan ekspor
impor hanya ada di Batam, Jakarta dan Surabaya. Boleh dong pedalaman Kaltim
melakukan ekspor impor, soal legal dan halalnya tinggal terbitkan aturan dan
pengawasan. Ah, selesai satu masalah kesejahteraan. Bagi pembaca yang penasaran
ayo berwisata ke pedalaman. Salam damai.
Salam,
Nugra, ST
Penjelajah Borneo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar