Revolusi Mental,
Antara Primordial dan Profesional
dipublikasikan TribunKaltim 29 Oktober 2014
oleh Nugra
Keragaman adalah sebuah karunia Tuhan. Bersesuaian dengan
semangat tulisan bung Andi Ardiansyah pada Tribunners sebelumnya terkait
primordial atau kesukuan yang bertentangan dengan semangat Bhineka, sejauh mana
antara realitas dan idealismenya ?
Primordial atau semangat kesukuan bukanlah barang baru.
Bahkan ia hadir setua umur peradaban manusia itu sendiri. Adalah sifat manusia
untuk lebih senang berkumpul dengan kelompok yang memiliki kesamaan budaya
hidup, kesamaan visi, bahasa, atau kesamaan entitas lainnya. Begitu pula
semangat dalam hidup bersuku dan berbangsa sudah lumrah kita merapat dan
membantu pada orang yang memiliki kedekatan primordial dengan kita.
Saya coba paparkan sebuah fakta menarik. Sepanjang Jusuf
Kalla menjadi Wakil Presiden RI selama mendampingi SBY, hampir seluruh pejabat
yang diangkat JK di Jakarta berasal dari rekan-rekan satu suku dengan JK.
Sebuah semangat primordial yang menjadi relatif, baik atau tidaknya tergantung
darimana kita melihat. Bahkan dengan dorongan JK, hampir seluruh kepala Rumah
Sakit di Jakarta hingga saat ini dipimpin oleh sosok dengan nama yang diawali
kata Andi.
Mampukah kita melepaskan entitas primordialitas atau
semangat kesukuan sementara saat ini di seluruh Jawa Barat terlarang untuk
menggunakan nama Gajah Mada sebagai nama jalan. Pada setiap Pemilihan Gubernur
Sulawesi Selatan pun, isu kesukuan antara Makassar dan Bugis selalu mencuat
menjadi bahan kampanye politik. Bahkan konflik sejarah masa lalu tidak dapat
kita nafikkan masih terwariskan dalam budaya dan kebijakan di berbagai level
kehidupan kita.
Semangat kesukuan atau kebangsaan tidak akan pudar sepanjang
sejarah manusia karena lahir dari sifat alamiah itu sendiri. Yang menjadi
masalah utama ialah apabila semangat primordialisme dijunjung sebagai semangat membabi buta atau
fanatisme suku berlebihan. Ketika benar dan salah atau kompeten tidaknya, kita
tempatkan di bawah pembelaan terhadap suku, maka terjadilah masalah dan
konflik.
Proses perekrutan karyawan atau pegawai baik pada institusi
negeri PNS maupun perusahaan swasta sering terpengaruh pada semangat kesukuan
sebagaimana disinggung oleh saudara Andi. Banyak perusahaan pertambangan atau
sawit di Kaltim misalnya, didominasi dari suku-suku tertentu mengikuti suku
dari kepala pimpinannya. Hal itu sudah cukup lumrah terjadi, walaupun
menyisakan kecemburuan sosial dari suku yang berbeda.
Proses perekrutan PNS selama ini juga memiliki budaya yang
relatif sama, CPNS yang diterima umumnya mengikuti dari kedekatan suku dengan
pimpinan entah kepala dinasnya ataupun bupati/walikotanya. Namun dengan proses
perekrutan yang diambil alih oleh pusat berhasil membuat jeda primordialis yang
berlebihan, berganti masuknya CPNS dari luar daerah yang barangkali sesuai
semangat Bhineka yang diingatkan Bung Andi.
Idealisme yang kita inginkan ialah bekerjanya atau
berdirinya struktur pemerintahan/perusahaan yang didasarkan pada kompetensi
murni, pada kemampuan atau keahlian sehingga pekerjaan dapat berjalan dengan
baik dan profesional. Dengan sedikit mengambil kebijakan pada kearifan lokal
kita berikan kesempatan pada posisi nonstaff atau nonskill pada wilayah
primordial tersebut, namun tetap pada porsi proposional dan syarat kompetensi
minimum yang memenuhi standar.
Namun sekali lagi idealisme menempatkan semangat
primordialisme pada proporsi secukupnya (tidak fanatik suku berlebihan) akan
cukup sulit diwujudkan, karena wabah kesukuan yang sudah berurat berakar di
seluruh aspek kehidupan bermasyarakat hingga bernegara. Ketika kita mencoba
profesional namun Kepala Bidang sebelah, Kadis tetangga, HRD disana melakukan
perekrutan berdasarkan suku, kita pun sulit lantas pada akhirnya terbawa arus
dan memberi respon yang sama. Semoga tulisan singkat ini menjadi refleksi bagi
kita untuk bisa membangun bangsa yang tegak berdasarkan kompetensi, bukan
fanatisme suku buta.
Nugra S.
Pemerhati Sosial.
@nugrazee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar