Senin, 08 Agustus 2016

Tanjung Selor, Ibukota tanpa SPBU


Tanjung Selor, Ibukota tanpa SPBU
Bulungan Post Maret 2016
 
Tanjung Selor kian berkembang dari ke tahun ke tahun. Pertumbuhan penduduk, peningkatan infrastruktur, pengembangan wilayah terus meningkat, perlahan tapi pasti. Bahkan wacana pembentukan kotamadya pun muncul sementara penduduk dan interaksi ekonominya baru 1/3 dari Tarakan dan ½ dari Tanjung Redeb. Bisa dibayangkan jika Tanjung Selor menjadi Kotamadya, dengan kota seukuran 1.277 km2, kantor-kantor Pemkot, Pemda dan Pemprov berdesak-desakan melampaui sentra bisnisnya, lalu apa yang diurus ? Jumlah anggota dewannya barangkali hampir setara dengan jumlah ketua RW (rukun warga), anggaran membengkak, tapi darimana menambah PAD (Penghasilan Asli Daerah) ?
Salah satu yang menarik dari Ibukota Propinsi terbaru di Indonesia ini adalah, hanya ada 1 SPBU untuk melayani ribuan warganya. Jika memungkinkan untuk dikatakan, ibukota tanpa SPBU, karena tidak imbangnya rasio penduduk dan jumlah salah satu kebutuhan masyarakat, pengisian bahan bakar di SPBU. Hanya salah satu contoh yang perlu dipikirkan pada kota yang sedang berkembang ke depan.
Seolah-olah warga Tanjung Selor atau Bulungan dipaksa untuk membeli BBM di eceran dengan harga yang lebih tinggi yang ditetapkan pemerintah. Dan pemerintah selama bertahun-tahun menutup mata terhadap transaksi ‘paksa’ yang sudah dianggap biasa. Anggota dewan bertambah, instansi bertambah, selayaknya sentra-sentra pelayanan dan pengawasannya semakin meningkat, untuk kepentingan masyarakat, bukan semata untuk pemilik usaha.
Penambahan unit SPBU hampir selalu terganjal masalah, siapa yang mengambil keuntungan ? Masyarakat selaku konsumen sudah tentu menjadi korban yang tak tuntas. Haruskah warga Jelarai selalu berkendara 5km menuju satu-satunya SPBU hanya untuk mengisi beberapa liter bensin di motornya, pulang pergi 10 km sudah menghabiskan hampir 1 liter, disebabkan ketiadaan SPBU di sekitarnya. Pertanyaan kembali kepada, dimana peran pemerintah dalam mengayomi masyarakat ? SPBU hanya menjadi salah satu kasus ganjalan pada kota yang terus berkembang ini.
Sebagai propinsi baru, Tanjung Selor selaku ibukota propinsi harus bisa memberikan contoh yang terbaik dalam pengelolaan pemerintahan dan masyarakatnya. Mutasi pegawai telah berjalan dari Pemda ke Pemprov. Kajian analisa ilmiah proyek pengembangan pun telah digelontorkan dengan anggaran yang tidak sedikit. Pertanyaannya adalah, setajam dan sebaik apakah kajian-kajian yang telah dilakukan dengan rekomendasinya. Kedua, sejauh apa pemerintah dapat mewujudkan rekomendasi tersebut, dengan anggaran terbatas, logis dan sesuai kebutuhan prioritas masyarakat.
Jauh lebih prioritas untuk meningkatkan pertumbuhan gerak roda ekonomi Tanjung Selor dengan membuka dan memudahkan keran ijin usaha investasi, dan mendorong lebih kencang usaha ekonomi UMKM. Mulai akan beroperasinya PLTU PT.SAS diharapkan menarik investor luar lebih banyak masuk ke Bulungan, menyerap tenaga kerja dan suplier lokal sehingga memutar ekonomi setempat lebih baik. Hal tersebut butuh dukungan serius dari stakeholder sebagai kota yang sedang beranjak naik.
Pertumbuhan ekonomi meningkat, PAD bertambah, APBD surplus, SPBU dan sejenisnya bertambah, barulah bicara wacana pembentukan Kotamadya Tanjung Selor. Sehingga biaya kunjungan petugas negara ke Raja Ampat bisa dibayar melalui retribusi dan pajak masyarakat yang telah sejahtera. Salam Reformasi !
Nugra, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar