oleh Nugrasius ST (25D44063)
dipublikasi harian Tribun Kaltim 19 September 2013
Eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali di tanah Kalimantan
tidak hanya berdampak negatif pada kerusakan lingkungan yang makin
kritis, namun dampak pada sosial budaya juga telah mengancam banyak
persoalan yang berpotensi pada konflik horisontal.
Masuknya investasi
besar-besaran yang mendapat ijin legal di atas kertas bermaterai
Pancasila dengan luas ribuan hektar sering membuat investor gelap mata
bahwa ada masyarakat lokal yang hidupnya terganggu karena hutannya
berubah fungsi tanpa kompensasi memadai atau bahkan tanpa ijin pemilik
tanah serta terganggunya situs peninggalan budaya menyebabkan
berulangnya gesekan antar sesama masyarakat maupun aparat.
Menyadari
hal tersebut, masyarakat yang tergabung dalam Forum Dayak Menggugat
(FDM) pimpinan Rama Asia berupaya melakukan netralisasi penataan ulang
dalam komunikasi antar kepentingan pebisnis,pemerintah dan masyarakat
sehingga ketiga hal tersebut berjalan lebih sinergis dan meminimalisir
konflik.
Setahun berjuang diplomasi dengan dukungan Gubernur Kaltim
Awang Farouk, kemudian hearing di Kemenhut Pusat dikawal anggota
legislatif Kaltim Saifuddin, Siswandi, Gani serta staf FDM Simon dan
Paulo, guna menggugat RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) Kaltim
dan Peraturan Undang Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengakuan Tanah Adat bukan
Tanah Negara dengan Keputusan No.35/PPU-X/2012.
Dasar pengakuan
tentang entitas adat telah tertuang pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal
18B ayat 2 yang berbunyi Negara mengaku dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Ketua MK, Aqil
Mochtar menjabarkan bahwa tanah adat yang telah dimiliki turun temurun
adalah hak masyarakat adat, tidak lagi digolongkan sebagai tanah negara
sebagaimana disebutkan dalam UU Kehutanan.
Kementrian Kehutanan pun
telah menindaklanjuti keputusan MK tersebut dengan membentuk Tim Kerja
Penyusunan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat dengan SK Mentri Kehutanan Nomor 3201/Menhut-II/Kum/2013 tanggal 18
Juni 2013.
Adapun Kalimantan Tengah telah maju selangkah dengan
telah menerbitkan Perda Hak-hak adat serta hak adat atas tanah sehingga
dapat membantu advokasi masyarakat lokal terhadap pencaplokan lahan oleh
investor yang telah berlangsung belasan tahun.
Bagaimana dengan
Kaltim ? Pada hari Kamis, 19 September 2013 akan dilakukan hearing
naskah akademis dan draft raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Adat Dayak Kaltim di Gedung DPRD Kaltim. Perda ini ke
depannya menjadi definisi dan keputusan MK serta menjadi dasar hukum
daerah untuk menyelesaikan perselisihan dan konflik terkait masalah adat
dan lahan di Kaltim.
Entitas masyarakat dayak yang tersebar di
kampung-kampung terpencil atau bahkan terisolasi namun hidup turun
temurun dari hutan di sekitarnya namun tanpa memiliki surat tanah,
inilah yang menjadi fokus advokasi melalui perda. Ketidakpahaman
masyarakat dayak akan urgensi adminstrasi dari kepemilikan lahan telah
menjadi obyek tindakan kesewenangan investor dan aparat merampas hak
adat dan tanahnya. Adapun masyarakat transmigran telah terjamin lahannya
karena telah memiliki surat tanah serta adatnya yang diakui negara,
sementara wilayah-wilayah kesultanan (adat lainnya) pun memiliki dasar
dan dukungan pemerintah sehingga memiliki kekuatan advokasi tersendiri
maka tidak perlu lagi dukungan perda.
Masyarakat dayak melalui
raperda ini mengharapkan dukungan seluruh masyarakat Kalimantan Timur
sehingga perencanaan dan pembangunan terlaksana dengan lebih bijak,
tertib, investasi berjalan baik dan konflik warga terhindarkan. Mari
kita jaga falsafah 'dimana kaki berpijak,disitu langit dijunjung.'
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar