Dayak, Papua dan Freeport
Tribunkaltim 27 Agustus 2019
Siapa menyangka, jika suku pribumi pertama yang menginjakkan
kaki di puncak Grasberg, Freeport, Papua justru suku Dayak asal Kalimantan,
bukan suku Papua. Peristiwa tersebut bahkan diabadikan dalam sebuah foto oleh
tim ekspedisi asal Eropa 100 tahun silam.
Ekspedisi pertama dimulai tahun 1903 dipimpin Wichman,
seorang ahli geologi asal Jerman dalam arahan pemerintah Belanda (Dutch),
ekspedisi ilmiah perdana ini mempekerjakan 30 orang Dayak asal Kalimantan Utara
(North Borneo) sebagai porter atau
asisten pembuka jalan, membawa perbekalan dan pekerjaan bantuan lainnya.
Ekspedisi memetakan kondisi geologi, biologi, etnografi dan lainnya dari
wilayah utara Papua.
Pada ekspedisi kedua Belanda pada tahun 1910 yang dipimpin
Lorentz, juga melibatkan pekerja dari suku Dayak. Dalam ekspedisi yang dimulai
dari selatan Papua ini, dengan kondisi yang cukup sulit dan berat bahkan hampir
menewaskan Lorentz karena medan yang ekstrim, namun berhasil mencapai wilayah
kaki pegunungan Wilhelmina (Pegunungan Trikora). Namun ekspedisi ini memakan
korban seorang Dayak tewas karena kedinginan di wilayah salju dan 2 pekerja
Dayak lainnya meninggal kecelakaan. Mereka mencapai ketinggian 4461 meter DPL.
Tempat markas Lorentz kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional Lorentz.
Ekspedisi ketiga lebih masif lagi ditahun 1912-1913, melibatkan
40 tentara Belanda, 120 pekerja Dayak dan 40 tahanan yang dipekerjakan,
dipimpin Fransen, perwira KNIL ahli etnografi dan topografi, Dr Versteg untuk
ahli zoologi dan antropologi, Hubrecht untuk geologi dan Pulle untuk ahli
botani. Mengikuti jalur sebelumnya, mereka mencapai puncak gunung Wilhelmina
(Trikora) di 4700 meter DPL dengan koleksi 1.000 jenis spesimen burung dan
1.400 spesimen botani (tumbuh-tumbuhan). Orang-orang Dayak yang baru melihat
salju saling melempar salju karena gembira menemukan suasana baru. Sampai pada
ekspedisi ketiga ini belum ditemukan indikasi adanya batuan yang berasosiasi
dengan emas.
Ekspedisi Belanda selalu menggunakan bantuan asisten dari
warga Dayak karena menurut mereka orang-orang Dayak sangat lincah di hutan dan
memiliki kemampuan survival bertahan hidup yang terbiasa dengan alam liar.
Warga dayak ahli membuat bivak, kapal kecil untuk sungai, tali temali, buka
jalur, berburu dan lainnya, sehingga dalam setiap ekspedisi selelu dibawa dari
Kalimantan.
Wilayah tengah Papua dieksplorasi pada 1920 melalui India
Commite for Scientific Survey pimpinan Capt. Overeem dan Jongejans juga
memperkerjakan ratusan warga Dayak yang dianggap memiliki keahlian tinggi dalam
membuat flying camp atau rumah kamp
dan mengayuh kapal sungai (kanoe) melalui Sungai Memberano. Ekspedisi ini gagal
mencapai puncak karena keterbatasan logistik
namun berhasil menemukan kampung kecil baru penduduk lokal Papua yang
terisolasi di Lembah Swart.
Pada tahun 1926-1927, kali ini peserta ekspedisi dalam
jumlah yang lebih besar dipimpin ahli Antrologi asal Amerika Dr. Mathew
Stirling dengan nama ekspedisi Stirling, dibantu kapal terbang untuk memetakan hingga pegunungan
Nassau Papua. Jika sebelumnya hanya menggunakan kamera hitam putih, kini sudah
menggunakan rekaman film. Terlibat dalam ekspedisi ini 75 tentara dari Ambon,
130 Dayak dan 250 penduduk lokal sebagai
asisten pembantu.
Hampir setiap tahun terus menerus dilakukan ekspedisi eksplorasi
di Papua hingga tibalah di tahun 1936, sejarah awal ditemukannya ‘Freeport’.
Ekspedisi yang dipimping oleh Colijn dan Jean Jacques Dozy (ahli geologi) yang
melakukan eksplorasi menuju pegunungan Cartenz (Puncak Jaya), gunung tertinggi
di Papua, 4900 meter DPL. Dozy menemukan gunung ore (mineral) yang kaya copper
atau tembaga, mineral ini berasosiasi dengan emas, namun karena keterbatasan
waktu dan tebalnya salju membuatnya belum melihat banyak akan adanya emas
tersembunyi di gunung yang disebut Estberg itu. Padahal 50 tahun kemudian
gunung itulah yang kemudian dikenal sebagai tambang emas Grasberg Freeport.
Dozy bekerja pada Nederlandsche
Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) milik Shell (1935) dengan 40%
saham Standard Vacuum Oil Company dan 20% Far Pacific Investment (Chevron).
Siapa tim yang membantu Colijn dan Dozy, tidak lain adalah
12 orang Dayak selaku asisten porter yang membantu pekerjaan flying camp sepanjang perjalanan. Dozy
sengaja membawa tim yang lebih ramping agar tidak menyulitkan logistik. Bahkan
suplai logistik dibantu dengan pesawat yang diterjunkan di beberapa titik jalur
menuju Puncak Cartenz.
Bagaimana komentar Dozy tentang orang Dayak ?
“Hidup bersama orang Dayak ternyata sangat menyenangkan,
mereka adalah orang-orang baik serta merupakan kawan yang menyenangkan dan yang
paling penting, mereka sangat ahli tentang kehidupan di hutan. Orang
Eropa yang paling ahli belukar pun, tidak dapat menandingi (penciuman) hidung
mereka.”
Tidak banyak yang paham bagaimana prestasi dan kontribusi
warga Dayak terhadap penemuan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Semoga
warga Dayak dapat mengukir prestasi perjuangan masa lalu kembali di benua etam
yang akan menjadi ibukota Negara.
Nugrasius,ST
Koord. Forum Peduli Borneo
Tinggal di Samarinda