Corporate Social Responsibility,
untuk apa?
Oleh Nugrasius ST
Koordinator Forum Peduli Borneo
Dipublikasikan Tribunkaltim 16 Mei 2013
Jika tidak ada yang menuntut, apakah perusahaan yang berprinsip mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, akan mengeluarkan CSR (Corporate Social Responsibility) untuk masyarakat ? CSR atau sebelumnya dikenal sebagai community development (Comdev) yakni pengembangan masyarakat berupa program bantuan perusahaan untuk meningkatkan taraf hidup di lingkungan sekitar perusahaan bekerja, semakin giat dalam pewacaan dan penajaman implementasi di masyarakat. Sebuah pertanyaan sederhana, sudah cukupkah nilai CSR yang dikeluarkan perusahaan ? Anggap saja nilai terkecil 1% dari gross profit (keuntungan kotor) dari beberapa perusahaan berikut. PT. Kaltim Prima Coal (KPC) pada tahun 2012 memproduksi 43 juta metrik ton batubara, dengan asumsi harga minimal di vesel yakni Rp 600.000,- per metrik ton, maka KPC memperoleh keuntungan kotor 25,8 triliun rupiah atau perharinya senilai 70 milyar rupiah yang keluar dari perut bumi Sangatta.
Jika kita mengambil CSR 1% dari gross profit KPC maka kita memperoleh 258 miliar rupiah di tahun 2012 atau 700 juta rupiah per hari. Bisa kita bayangkan betapa makmur dan kaya rayanya Sangatta, Kutai Timur atau Kaltim jika CSR dengan nilai yang sangat kecil tersebut bisa diwujudkan. Dengan 700 juta rupiah perhari tersebut kita sayangkan infrastruktur Kutim cukup terkenal sebagai jalur darat terparah di Kaltim. Pertanyaan berikutnya kemanakah dana itu perginya ? Dan jika ditingkatkan menjadi 5% bagaimana wajah Sangatta dibandingkan Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar ? Ketidakjelasan arah CSR apakah ada korelasinya dengan wacana keberanian Isran Noor maju di kelas Cawapres RI karena modalnya tentu diatas kelas Cagub. Entahlah.
Bagaimana dengan PT. Berau Coal ? Perusahaan PKP2B di kabupaten pimpinan Makmur ini mencatatkan produksi 21 juta MT di tahun 2012 dengan asumsi yang sama dengan PT. KPC di harga minimal diperkirakan keuntungan kotor di 12,6 triliun rupiah. Jika kita ambil 1% maka besarannya 126 miliar rupiah, mari kita recek, apakah CSR yang telah diimplementasikan PT. BC saat ini sudah melewati 0,5% dari gross profit ? Sehingga masyarakat di sekitar bisa menikmati walau hanya secuil dari triliunan rupiah atau 34 miliar rupiah per hari yang dibawa keluar dari tanahnya berpijak ? Di Kutai Barat, PT. Trubaindo mengeluarkan batubara senilai 11 milyar rupiah perhari, sementara PT. Mahakam Sumber Jaya di Samarinda senilai 13 milyar rupiah per hari. Betapa kaya rayanya bumi etam. Tapi dimana kekayaan itu wujudnya ? Kekayaan yang masyarakat nikmati hanya air yang berlimpah atau banjir yang meneror alias kerusakan alam bahkan dengan recovery ratusan milyar yang harus ditanggung Pemda dan masyarakat sementara tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan social sangat jauh dari harapan. PT. MSJ yang sahamnya dimiliki pemerintah toh tidak dapat memberikan teladan yang baik dalam program CSR bagaimana pula dengan perusahaan 100% swasta yang hanya focus pada profit besar ?
Jika PT. KPC diperingkat pertama sebagai produsen batubara nasional dan PT. BC diperingkat ke-5, bagaimana pula dengan PT. Kideco dengan peringkat ke-3 nasional ? Fakta menunjukkan infrastruktur jalan di Paser terburuk kedua setelah Kutim. Lantas kemana arah CSR perusahaan-perusahaan tersebut ? Bagaimana pula CSR dari sektor Migas dari PT. Total Indonesie, Vico, Medco, Chevron dan lain-lain. Kita tidak merasakan nilai CSR yang layak sebagai kontribusi peningkatan taraf hidup masyarakat lokal/setempat khususnya dan Kaltim umumnya.
Jika saja perusahaan-perusahaan di sektor tambang dan migas dikelola oleh masyarakat Kaltim sendiri, tanpa ada istilah CSR, bisa diyakini Kaltim sudah memiliki ribuan kilometer jalan tol, universitas-rumah sakit kelas internasional bermutu, beberapa bandara penerbangan dan pelabuhan internasional, yang sejajar dengan Turki dan Polandia bahkan diatas Malaysia.
Namun keterbatasan SDM dan modal memposisikan kita menjadi pengemis di tanah sendiri. Menuntut, bahasa halus dari mengemis CSR kita lakoni demi sesuap nasi yang jumlah butir nasinya pun kita tidak tahu berapa, siapa yang mengaturnya dan siapa yang makan. Problem terkini yakni semakin berkurangnya jatah CSR warga setempat sebagai ring satu daerah terganggu atau terkena dampak lingkungan terparah, dikurangi dengan adanya Perda tuntutan CSR untuk daerah hilir yang tidak terkena dampak buruk aktifitas perusahaan seperti Balikpapan, Jakarta dan nasional.
Perusahaan tersebut di atas contohnya membantu beasiswa di perkotaan di Jakarta yang tidak terkena potensi/risiko dampak lingkungan atau gangguan kerja perusahaan, sementara masyakarat lokal masih banyak yang belum berpendidikan layak, termasuk aspek kesehatan, bantuan infrastruktur dan lain-lain. Inilah problem kedua CSR, ketimpangan dan tidak tepat guna dari CSR yang perlu diformulasikan ulang. Pemerintah daerah kurang dapat diandalkan dalam memperjuangkan CSR secara optimal dan tepat guna, selain tidak dapat mempertanggungjawabkan CSR dengan baik dan benar, potensi penyelewengan CSR dari perusahaan yang dilakukan oknum pemerintah juga cukup besar. Oleh karena itu perlu control bersama dari lembaga non pemerintah dan masyarakat dengan melakukan reformulasi yang benar, dalam hal nilai persentase CSR/Comdev, proses implementasi hingga pelaksanaan dari CSR itu sendiri.
Perda CSR Kaltim yang telah
diterbitkan melalui persidangan bulan April 2013 kemarin dipimpinan Yahya Anja
dan Hadi Mulyadi menunjukkan pada pasal 23 (1) besaran CSR ialah 3% dari
keuntungan perusahaan. Angin positif ini menyisakan tantangan yang perlu
diselesaikan berupa transparansi dan publikasi terhadap CSR yang berjalan. Guna
menghindari penyelewengan alokasi CSR ini, maka perlu dilengkapi aturan agar
perusahaan melakukan publikasi terbuka implementasi CSR-nya baik melalui
website, media lokal maupun sosial media lainnya sehingga dapat termonitor
bersama seluruh elemen masyarakat. Semoga ke depan pengelolaan alokasi dana
CSR/Comdev dapat terlaksana dengan lebih baik dan tepat sasaran dengan
pencapaian terukur yakni meningkatnya taraf hidup masyarakat di sekitar wilayah
perusahaan. Salam perubahan !