Mencari kepala daerah yang bertanggung jawab
oleh Nugrasius ST
dipublikasikan TribunKaltim 17 April 2013
Apa kabarnya Bapak
Suwarna, Ngayoh, Amiens, Imdad, Hafidz, Sofyan, Marthin, serta mantan
kepala daerah lainnya ? Kemana mereka ? Masih adakah sisa kepedulian
dari mereka pada daerah yang pernah dipimpinnya ?
Nyaris tidak ada
lagi sumbangsih pemikiran dan keringat setelah mantan kepala daerah ini
menanggalkan jabatannya. Pikirannya fokus untuk mencari jabatan yang
lebih tinggi lagi. Psikologi dan motivasi apa yang melatari kepedulian
kepala daerah terhadap daerah yang dipimpinnya dapat terlihat pada
kontribusinya setelah selesai masa kepemimpinannya. Bekerja tulus dan
bekerja karena uang, proyek, kekuasaan bisa kita simpulkan saat mereka
tak lagi memimpin dan apa yang ditinggalkannya.
Bagaimana metode
para kepala daerah ini mengeksploitasi persenan dari setiap proyek dapat
kita lihat di akhir masa jabatannya. Proyek-proyek besar segera
dilelang dan dikerjakan, komisi masuk ke kantongnya,
menyisakan pekerjaan tanpa komisi pada kepala daerah berikutnya. Itulah
mengapa jembatan mahkota dua tak kunjung usai. Karena komisi sudah
habis dikantongi pimpinan sebelumnya. Itulah mengapa berganti kepala
daerah maka seringpula berganti kontraktor, salah satu sebabnya adalah
mengadakan resource komisi baru.
Orientasi pada uang ini menjadi
sebuah kultur sehingga setiap kepala daerah berlomba-lomba
mengkapitalisasi sumber uang pada masa kepemimpinannya dan tidak ada
kepala daerah yang peduli apa yang akan terjadi pada 5, 10 tahun yang
akan datang terhadap keputusannya hari ini.
Bencana banjir yang kian
parah dan tak terkendali di ibukota propinsi Kaltim salah satu dampak
keputusan memberikan ijin tambang dan perumahan sebanyak-banyaknya yang
ditanda tangani 5-10 tahun lalu. Seolah tutup mata pada hancurnya
lingkungan di Kalimantan Selatan karena tambang skala kecil 10 tahun
lalu. Bupati Kutim dan Kubar lebih bijak dengan ijin tambang minimal
5000
hektar sehingga penambangan dilakukan oleh perusahaan besar yang mampu
membiayai reklamasi dengan biaya besar, bukan kelas koperasi atau di
bawah 500 hektar yang tidak punya dana untuk reklamasi dan recovery
lingkungan. Untuk tambang besar pun terkadang lalai dalam lingkungan,
terlebih lagi tambang kecil di sekeliling Samarinda yang mencari
keuntungan secepatnya dan sebesarnya kemudian kabur meninggalkan lokasi
tambangnya.
Kebijakan pembukaan sawit dalam skala besar pada periode
kepemimpinan saat ini juga dapat dipastikan akan menjadi bencana
lingkungan pada 10 tahun yang akan datang. Siapa peduli ? Fee tambang,
sawit, plasma masuk rekening pejabat, sementara sedimentasi akan semakin
parah dan tentu saja banjir semakin tak tertangani. Biaya recovery
banjir ratusan miliar justru menjadi santapan baru para tikus berdasi.
Masyarakat
menjadi korban dari kebijakan yang berorientasi uang untuk sekelompok
pejabat sementara mantan kepala daerah
bersama rombongan kabinetnya menghilang tanpa jejak menikmati kekayaan
hasil 'kerja kerasnya' tanpa peduli lagi dengan kondisi masyarakat masa
kini.
Kita memerlukan kepala daerah yang bekerja seperti Soekarno
berjuang mendirikan negara. Tidak ada bayang-bayang apartemen mewah,
yang ada bayangan todongan bayonet Jepang dan Belanda. Kita seharusnya
memilih kepala daerah yang berani membela rakyat, memprioritaskan
kepentingan masyarakat, berorientasi kemakmuran daerahnya dalam jangka
panjang. Menomorduakan investor yang membawa hasil kekayaan dan hasil
penjualannya ke Jakarta atau negaranya di India, Cina, Korea, Thailand,
US dan lain-lain. Soekarno mewariskan NKRI, Soeharto mewariskan hutang
1000 triliun rupiah, SBY 100 triliun rupiah. Siapa yang menikmati siapa
yang membayar ?
Partai dan siapa yang kita pilih kemarin, hari ini
dan akan datang adalah cermin diri kita juga. Memilih siapa yang bayar
harus berani kita pertanggungjawabkan dengan
tidak mengeluhkan atas bencana yang kita terima hari ini dan kelak.
Memilih untuk tidak memilih pun memiliki konsekuensi terhadap
terpilihnya kepala daerah yang mungkin paling tidak bagus diantara yang
tidak bagus. Olehnya jadilah pemilih cerdas serta mampu mengawal
meluruskan apabila kepala daerah pilihannya bengkok, tidak amanah,
sebagai bentuk pertanggungjawaban kita, bukan sekedar mengirim sms
keluhan setiap hari di koran lokal.
Terakhir mari kita evaluasi
ulang siapa yang kita pilih kemarin sehingga menjadi kepala daerah hari
ini, Pak Awang, Farid, Syaharie, Nusyirwan, Rizal, Heru, Rita, Adi,
Burhanuddin, Ridwan, Thomas, Isran, Makmur, Udin, Yansen, Basri dan Pak
Budiman. Apa yang mereka bicarakan, peluang menciptakan kesejahteraan
atau peluang orientasi jabatan baru dengan pemekaran. Apakah
kebijakannya positif untuk masyarakat atau positif untuk investor ?
Dalam salah satu dasar kajian fikih Islam, mengindari mudharat lebih
utama dari mencari
kemaslahatan, apakah kebijakan kepala daerah saat ini secara umum
menguntungkan ataukah merugikan dalam jangka panjang? Agar memiliki
kepala daerah yang bertanggungjawab, maka anda pun harus memiliki
tanggung jawab. Mari tuntaskan perubahan !