Tanjung Selor, Ibukota tanpa SPBU
Bulungan Post Maret 2016
Tanjung Selor kian berkembang dari
ke tahun ke tahun. Pertumbuhan penduduk, peningkatan infrastruktur,
pengembangan wilayah terus meningkat, perlahan tapi pasti. Bahkan wacana
pembentukan kotamadya pun muncul sementara penduduk dan interaksi ekonominya baru
1/3 dari Tarakan dan ½ dari Tanjung Redeb. Bisa dibayangkan jika Tanjung Selor
menjadi Kotamadya, dengan kota seukuran 1.277 km2, kantor-kantor Pemkot, Pemda
dan Pemprov berdesak-desakan melampaui sentra bisnisnya, lalu apa yang diurus ?
Jumlah anggota dewannya barangkali hampir setara dengan jumlah ketua RW (rukun
warga), anggaran membengkak, tapi darimana menambah PAD (Penghasilan Asli
Daerah) ?
Salah satu yang menarik dari
Ibukota Propinsi terbaru di Indonesia ini adalah, hanya ada 1 SPBU untuk
melayani ribuan warganya. Jika memungkinkan untuk dikatakan, ibukota tanpa SPBU,
karena tidak imbangnya rasio penduduk dan jumlah salah satu kebutuhan
masyarakat, pengisian bahan bakar di SPBU. Hanya salah satu contoh yang perlu
dipikirkan pada kota yang sedang berkembang ke depan.
Seolah-olah warga Tanjung Selor
atau Bulungan dipaksa untuk membeli BBM di eceran dengan harga yang lebih
tinggi yang ditetapkan pemerintah. Dan pemerintah selama bertahun-tahun menutup
mata terhadap transaksi ‘paksa’ yang sudah dianggap biasa. Anggota dewan
bertambah, instansi bertambah, selayaknya sentra-sentra pelayanan dan
pengawasannya semakin meningkat, untuk kepentingan masyarakat, bukan semata untuk
pemilik usaha.
Penambahan unit SPBU hampir selalu
terganjal masalah, siapa yang mengambil keuntungan ? Masyarakat selaku konsumen
sudah tentu menjadi korban yang tak tuntas. Haruskah warga Jelarai selalu berkendara
5km menuju satu-satunya SPBU hanya untuk mengisi beberapa liter bensin di
motornya, pulang pergi 10 km sudah menghabiskan hampir 1 liter, disebabkan
ketiadaan SPBU di sekitarnya. Pertanyaan kembali kepada, dimana peran
pemerintah dalam mengayomi masyarakat ? SPBU hanya menjadi salah satu kasus ganjalan
pada kota yang terus berkembang ini.
Sebagai propinsi baru, Tanjung
Selor selaku ibukota propinsi harus bisa memberikan contoh yang terbaik dalam
pengelolaan pemerintahan dan masyarakatnya. Mutasi pegawai telah berjalan dari
Pemda ke Pemprov. Kajian analisa ilmiah proyek pengembangan pun telah
digelontorkan dengan anggaran yang tidak sedikit. Pertanyaannya adalah, setajam
dan sebaik apakah kajian-kajian yang telah dilakukan dengan rekomendasinya. Kedua,
sejauh apa pemerintah dapat mewujudkan rekomendasi tersebut, dengan anggaran
terbatas, logis dan sesuai kebutuhan prioritas masyarakat.
Jauh lebih prioritas untuk
meningkatkan pertumbuhan gerak roda ekonomi Tanjung Selor dengan membuka dan
memudahkan keran ijin usaha investasi, dan mendorong lebih kencang usaha
ekonomi UMKM. Mulai akan beroperasinya PLTU PT.SAS diharapkan menarik investor
luar lebih banyak masuk ke Bulungan, menyerap tenaga kerja dan suplier lokal
sehingga memutar ekonomi setempat lebih baik. Hal tersebut butuh dukungan
serius dari stakeholder sebagai kota yang sedang beranjak naik.
Pertumbuhan ekonomi meningkat, PAD
bertambah, APBD surplus, SPBU dan sejenisnya bertambah, barulah bicara wacana
pembentukan Kotamadya Tanjung Selor. Sehingga biaya kunjungan petugas negara ke
Raja Ampat bisa dibayar melalui retribusi dan pajak masyarakat yang telah
sejahtera. Salam Reformasi !
Nugra, ST