Senin, 31 Agustus 2015

70 Tahun Indonesia dan 700 Tahun Kutai Kartanegara

70 Tahun Indonesia dan 700 Tahun Kutai Kartanegara

Baru 70 tahun negeri ini menikmati kemerdekaannya dari penjajahan negara asing, bangsa asing dari luar wilayah nusantara. Setelah ratusan dijajah dengan tamak oleh bangsa Eropa, setelah ratusan tahun dikekang untuk tunduk pada aturan tanam paksa, kerja paksa hingga mati terpaksa, kini patutlah kita syukuri kemerdekaan karunia Tuhan melalui perjuangan berat para pahlawan kita dahulu.
Usia 70 tahun terhitung renta dalam ukuran umur manusia, namun dalam ukuran peradaban, tampaknya ia masih di usia ABG. Lihatlah imperium Romawi dan Persia yang berusia sekitar 1 milenium atau seribu tahun. Lalu dilanjutkan Khalifah yang berusia 1 milenium lebih, sementara kekaisaran Cina sudah 2 milenium lebih.
Nusantara, kerajaan besar Sriwijaya berdiri hingga 5 abad lamanya, menyisakan banyak jejak peradaban yang dilanjutkan Majapahit yang hanya berusia 1 abad lebih.
Berdirinya Demak dan Mataram pun hanya berusia 1 abad lebih, terhenti dengan kedatangan Portugis pada abad 16 M disusul Belanda. Dalam usia 70 tahun, sebuah prestasi yang luar biasa Indonesia masih dapat bertahan di tengah puluhan suku bangsa heterogen dan ketidakpuasan pembangunan di wilayah perbatasan dan pedalaman.
Jauh sebelum NKRI berdiri, Kalimantan Timur khususnya memiliki sejarahnya tersendiri dengan kerajaan Kutai Kartanegara yang bertahan 700 tahun lamanya. Paska runtuhnya Sriwijaya di adab 13 M, berdirilah Kutai Kartanegara di hilir Mahakam yang diperkirakan berasal dari sisa-sisa keluarga kerajaan dan masyarakat Sriwijaya yang berasimilasi dengan penduduk setempat dari wilayah Mulawarman. Pada masa yang sama catatan sejarah menunjukkan berdirinya Tanjungpura di Kalbar dan Nansarunai di Kalsel (cikal bakal Banjar). Kemiripan bahasa melayu salah satu faktor kuat persamaan asal muasal.
Kurun 700 tahun Kutai Kartanegara mengalami fase dan dinamika politik yang tidak kalah menarik dengan pilkada Samarinda. 
Pada abad ke 15 konflik politik di Kalsel melibatkan Demak dengan menangnya Pangeran Samudera di Kayutangi (kota Banjarmasin) melawan pamannya dari Daha Hindu Kaharingan di Amuntai. Bantuan Demak mensyaratkan Islamnya pangeran yang kemudian mendirikan kerajaan Banjarmasin. Konflik tersebut tampaknya memberi warna pada konflik 2 kerajaan di Sungai Mahakam antara Mulawarman dan Kutai Kartanegara yang dimenangkan Kutai pada abad yang sama. Tak berselang lama Islam pun menjadi agama kerajaan sehingga lahirlah gelar sultan, hampir bersamaan di seluruh nusantara.
Seabad kemudian di abad 17 raja bugis yang telah mengalahkan kerajaan Makassar Sultan Hasanuddin, berupaya mencaplok pesisir Kalimantan bagian timur. Wilayah batulicin, Kalsel timur berhasil dihalau Banjarmasin dengan perjanjian perdamaian, sementara kerajaan Paser berhasil dikuasai adapun wilayah Kukar pesisir dihalau Kutai dengan perkawinan antara putra raja bugis dengan putri raja kutai. Berlanjut seabad kemudian datanglah Daeng Mangkona dari Bugis Wajo meminta suaka politik, tempat berlindung pada Sultan Kutai, diberikanlah tempat wilayah 'sama rendah' di tempat yang sekarang dikenal Samarinda Seberang karena pada masa itu daerah 'Samarinda Kota' sudah ditempati warga Kutai, 'dayak', dan banjar.
Pada abad yang sama, abad 18, datanglah penjelajah Inggris yang sudah menguasai Sabah, memasuki Sungai Mahakam. Tak mengindahkan peringatan sultan, kapal Inggris dengan sombong dan berani masuk hingga hampir melintasi Loabakung/Loajanan, namun ditenggelamkan pasukan kerajaan Kutai dibantu warga setempat. Satu kapal ditenggelamkan sisanya melarikan diri. 
Datanglah Belanda. Masa damai bumi etam berubah menjadi lautan api saat Panglima Awang Long memimpin perlawan mengusir Belanda hingga berjumpa maut. Kini sang panglima hanya tinggal nama dipemakaman menyaksikan penyeberangan motor mobil tepat di seberang makamnya di tepi sungai Kota Tenggarong. Kutai Kartanegara dengan 'kampung' Samarinda-Balikpapan-nya tak lagi merdeka. Dengan perjanjian damai Belanda mendikte dan mencabut beberapa kebebasan dan kemerdekaan Kutai sebagaimana yang dialami seluruh kerajaan nusantara. 
Pergolakan upaya kemerdekaan hingga menemui momentumnya pada 17 Agustus 1945. Walau telat mendapatkan informasi proklamasi kemerdekaan, seluruh kerajaan nusantara pada hakikatnya menginginkan merdeka dari penjajahan baik Belanda maupun Jepang. Konsep NKRI masih dalam penggodokan dalam bentuk penyatuan kerajaan nusantara.
Usia Kutai yang melebihi NKRI, yang bersedia bergabung dalam NKRI tanpa embel-embel daerah istimewa sepatutnya mendapatkan apresiasi besar dari pemerintah. Sayangnya Kutai terpandang sebelah mata karena jauh dari interaksi pusat sejak masa pra proklamasi, hingga kini Kutai hanya sekedar menjadi sapi perah pusat. Tak salah ucapan Bung Karno, bahwa masamu lebih berat karena akan berhadapan dengan bangsa sendiri.
Kemurahan hati Kutai untuk melepaskan Samarinda dan Balikpapan dari wilayah kekuasaan pun ibarat susu di balas air tuba. Justru Kutai menjadi tertinggal dalam segala aspeknya dari dua kota yang lahir dari rahimnya. 
Sudah waktunya Kutai untuk tampil dengan peran lebih dalam kontruksi pembangunan Kaltim maupun pusat dalam aspek positif. Ataukah Kutai, sebagaimana peradaban lainnya yang silih berganti, akan hilang ditelan peradaban metropolis. Semangat perlawanan berani Awang Long dan semangat pembangunan Sultan Aji Sulaiman perlulah digerbak pada aspek intelektual dan politik yang tidak hanya macan kandang. Berani di kandang tapi ompong di pusat, banyak di rumah tapi kosong di Jakarta, yang menyebabkan kebijakan pusat tak prioritas pada Kaltim. Gebrakan tak sebatas ormas berpakaian loreng dengan embel putra asli minta jatah di perusahaan tapi minim karya tulis ilmiah dan penelitian mumpuni. 
Tujuh puluh tahun Indonesia dan tujuh ratus tahun Kutai Kartanegara, walau harga karet, sawit, batubara turun, namun tetaplah kita menaikkan bendera merah putih, menghormati dan mendoakan para pejuang pahlawan kita terdahulu. Merdeka !

Oleh Nugra,ST