70 Tahun Indonesia dan 700 Tahun Kutai Kartanegara
Baru
70 tahun negeri ini menikmati kemerdekaannya dari penjajahan negara
asing, bangsa asing dari luar wilayah nusantara. Setelah ratusan dijajah
dengan tamak oleh bangsa Eropa, setelah ratusan tahun dikekang untuk
tunduk pada aturan tanam paksa, kerja paksa hingga mati terpaksa, kini
patutlah kita syukuri kemerdekaan karunia Tuhan melalui perjuangan berat
para pahlawan kita dahulu.
Usia
70 tahun terhitung renta dalam ukuran umur manusia, namun dalam ukuran
peradaban, tampaknya ia masih di usia ABG. Lihatlah imperium Romawi dan
Persia yang berusia sekitar 1 milenium atau seribu tahun. Lalu
dilanjutkan Khalifah yang berusia 1 milenium lebih, sementara kekaisaran
Cina sudah 2 milenium lebih.
Nusantara,
kerajaan besar Sriwijaya berdiri hingga 5 abad lamanya, menyisakan
banyak jejak peradaban yang dilanjutkan Majapahit yang hanya berusia 1
abad lebih.
Berdirinya
Demak dan Mataram pun hanya berusia 1 abad lebih, terhenti dengan
kedatangan Portugis pada abad 16 M disusul Belanda. Dalam usia 70 tahun,
sebuah prestasi yang luar biasa Indonesia masih dapat bertahan di
tengah puluhan suku bangsa heterogen dan ketidakpuasan pembangunan di
wilayah perbatasan dan pedalaman.
Jauh
sebelum NKRI berdiri, Kalimantan Timur khususnya memiliki sejarahnya
tersendiri dengan kerajaan Kutai Kartanegara yang bertahan 700 tahun
lamanya. Paska runtuhnya Sriwijaya di adab 13 M, berdirilah Kutai
Kartanegara di hilir Mahakam yang diperkirakan berasal dari sisa-sisa
keluarga kerajaan dan masyarakat Sriwijaya yang berasimilasi dengan
penduduk setempat dari wilayah Mulawarman. Pada masa yang sama catatan
sejarah menunjukkan berdirinya Tanjungpura di Kalbar dan Nansarunai di
Kalsel (cikal bakal Banjar). Kemiripan bahasa melayu salah satu faktor
kuat persamaan asal muasal.
Kurun 700 tahun Kutai Kartanegara mengalami fase dan dinamika politik yang tidak kalah menarik dengan pilkada Samarinda.
Pada
abad ke 15 konflik politik di Kalsel melibatkan Demak dengan menangnya
Pangeran Samudera di Kayutangi (kota Banjarmasin) melawan pamannya dari
Daha Hindu Kaharingan di Amuntai. Bantuan Demak mensyaratkan Islamnya
pangeran yang kemudian mendirikan kerajaan Banjarmasin. Konflik tersebut
tampaknya memberi warna pada konflik 2 kerajaan di Sungai Mahakam
antara Mulawarman dan Kutai Kartanegara yang dimenangkan Kutai pada abad
yang sama. Tak berselang lama Islam pun menjadi agama kerajaan sehingga
lahirlah gelar sultan, hampir bersamaan di seluruh nusantara.
Seabad
kemudian di abad 17 raja bugis yang telah mengalahkan kerajaan Makassar
Sultan Hasanuddin, berupaya mencaplok pesisir Kalimantan bagian timur.
Wilayah batulicin, Kalsel timur berhasil dihalau Banjarmasin dengan
perjanjian perdamaian, sementara kerajaan Paser berhasil dikuasai adapun
wilayah Kukar pesisir dihalau Kutai dengan perkawinan antara putra raja
bugis dengan putri raja kutai. Berlanjut seabad kemudian datanglah
Daeng Mangkona dari Bugis Wajo meminta suaka politik, tempat berlindung
pada Sultan Kutai, diberikanlah tempat wilayah 'sama rendah' di tempat
yang sekarang dikenal Samarinda Seberang karena pada masa itu daerah
'Samarinda Kota' sudah ditempati warga Kutai, 'dayak', dan banjar.
Pada
abad yang sama, abad 18, datanglah penjelajah Inggris yang sudah
menguasai Sabah, memasuki Sungai Mahakam. Tak mengindahkan peringatan
sultan, kapal Inggris dengan sombong dan berani masuk hingga hampir
melintasi Loabakung/Loajanan, namun ditenggelamkan pasukan kerajaan
Kutai dibantu warga setempat. Satu kapal ditenggelamkan sisanya
melarikan diri.
Datanglah
Belanda. Masa damai bumi etam berubah menjadi lautan api saat Panglima
Awang Long memimpin perlawan mengusir Belanda hingga berjumpa maut. Kini
sang panglima hanya tinggal nama dipemakaman menyaksikan penyeberangan
motor mobil tepat di seberang makamnya di tepi sungai Kota Tenggarong.
Kutai Kartanegara dengan 'kampung' Samarinda-Balikpapan-nya tak lagi
merdeka. Dengan perjanjian damai Belanda mendikte dan mencabut beberapa
kebebasan dan kemerdekaan Kutai sebagaimana yang dialami seluruh
kerajaan nusantara.
Pergolakan
upaya kemerdekaan hingga menemui momentumnya pada 17 Agustus 1945.
Walau telat mendapatkan informasi proklamasi kemerdekaan, seluruh
kerajaan nusantara pada hakikatnya menginginkan merdeka dari penjajahan
baik Belanda maupun Jepang. Konsep NKRI masih dalam penggodokan dalam
bentuk penyatuan kerajaan nusantara.
Usia
Kutai yang melebihi NKRI, yang bersedia bergabung dalam NKRI tanpa
embel-embel daerah istimewa sepatutnya mendapatkan apresiasi besar dari
pemerintah. Sayangnya Kutai terpandang sebelah mata karena jauh dari
interaksi pusat sejak masa pra proklamasi, hingga kini Kutai hanya
sekedar menjadi sapi perah pusat. Tak salah ucapan Bung Karno, bahwa
masamu lebih berat karena akan berhadapan dengan bangsa sendiri.
Kemurahan
hati Kutai untuk melepaskan Samarinda dan Balikpapan dari wilayah
kekuasaan pun ibarat susu di balas air tuba. Justru Kutai menjadi
tertinggal dalam segala aspeknya dari dua kota yang lahir dari
rahimnya.
Sudah waktunya
Kutai untuk tampil dengan peran lebih dalam kontruksi pembangunan
Kaltim maupun pusat dalam aspek positif. Ataukah Kutai, sebagaimana
peradaban lainnya yang silih berganti, akan hilang ditelan peradaban
metropolis. Semangat perlawanan berani Awang Long dan semangat
pembangunan Sultan Aji Sulaiman perlulah digerbak pada aspek intelektual
dan politik yang tidak hanya macan kandang. Berani di kandang tapi
ompong di pusat, banyak di rumah tapi kosong di Jakarta, yang
menyebabkan kebijakan pusat tak prioritas pada Kaltim. Gebrakan tak
sebatas ormas berpakaian loreng dengan embel putra asli minta jatah di
perusahaan tapi minim karya tulis ilmiah dan penelitian mumpuni.
Tujuh
puluh tahun Indonesia dan tujuh ratus tahun Kutai Kartanegara, walau
harga karet, sawit, batubara turun, namun tetaplah kita menaikkan
bendera merah putih, menghormati dan mendoakan para pejuang pahlawan
kita terdahulu. Merdeka !
Oleh Nugra,ST