Jumat, 06 Februari 2015

Rekontruksi Paradigma Pembangunan Kaltara

Rekontruksi Paradigma Pembangunan Kaltara
Bulungan Post, 5 Februari 2015
oleh Nugra,ST


Rekontruksi Paradigma Pembangunan Kaltara 

Kalimantan Utara dengan 700.000 ribu penduduknya sedang bergerak take off menuju kemajuan di semua lini kehidupannya. Sayangnya daerah Kalimantan Utara  yang berbatasan dengan Malaysia, masih seperti anak tiri dalam prioritas pembangunan baik nasional maupun pemda.
Mayoritas proyek pembangunan yang dirancang pemerintah berada di daerah pesisir. Daerah yang menjadi pusat pertumbuhan dan ekonomi semakin di tingkatkan untuk menjadi metropolis  seperti Tarakan, Nunukan, Tanjungselor, sementara daerah pedalaman masih dalam stagnasi menanti keajaiban turun dari langit. Ribuan kilometer jalan tol dan jalur kereta api yang membentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, terus ditingkatkan terbang jauh di atas daerah pedalaman yang seolah tersistemasi untuk tetap dijadikan bangsa tertinggal dan penonton di tengah kencangnya progresifitas pembangunan Jakarta serta kota besar lainnya.
Pemerataan pembangunan sedikit banyak terasa hanya simbolis untuk menghias jargon cinta NKRI yang diucapkan ringan masyarakat perkotaan namun terasa kurang bermakna bagi masyarakat pedalaman yang kesulitan akses jalan, pendidikan dan kesehatan. Revolusi mental dan rekontruksi paradigma pembangunan daerah pedalaman / perbatasan perlu dilakukan oleh pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten sehingga pembangunan dapat terlaksana dengan tepat dan benar.
Identifikasi daerah perbatasan/pedalaman sebagai beranda rumah atau lebih tepatnya beranda dengan pagar penjara yang mengunci pertumbuhan ekonomi marsyarakat pedalaman wajib segera dirubah menjadi beranda terbuka, yang tidak memandang negara tetangga atau Malaysia sebagai negara musuh/haram yang selama ini menyebabkan pembatasan pola interaksi, hubungan dagang dan ekonomi kampung-kampung atau kabupaten di perbatasan.
Kurang mampunya pemerintah dalam mempersiapkan sistem pengawasan daerah perbatasan beserta sarana pendukungnya kemudian menghasilkan konsepsi pembangunan daerah perbatasan sebagai halaman belakang rumah yang dibatasi tembok tinggi yang terlarang untuk dilintasi. Akan tetapi pemerintah mempermanis kondisi halaman belakang dengan istilah beranda Negara, istilah yang tetap membuat kampung-kampung di perbatasan kesulitan akses ekonomi ke rumahnya sendiri, NKRI.
Bagaimanakah rekontruksi paradigma model pembangunan yang tepat untuk daerah pedalaman sehingga dalam dekade ke depan ekonominya dapat berkembang pesat? Pemerintah daerah harus menggunakan model Negara Austria-Swiss (AS) sebagai contoh pola pembangunan.
Daerah Kabupaten Malinau, Bulungan-Nunukan bagian Barat, Kutai Barat, Mahakam Ulu, Murung Raya (Kalteng) serta Puttusibau (Kalbar) memiliki kondisi geografis yang sama dengan negara-negara seperti Austria-Swiss, dimana daerah tersebut berada di tengah benua/daratan yang tidak bersentuhan langsung dengan laut dan dikelilingan oleh negara lainnya.
Negara Austria dengan luas 83.858 km2 (hampir seluas Bulungan 85.618 km2) berbatasan dengan Swiss di Barat, Jerman di Utara, Hungaria di Timur dan Italia di Selatan. Terjepit oleh negara lain namun negara ini justru menjadi negara terkaya ke 12 dunia dengan pendapatan per kapita 420 juta rupiah per tahun (Kaltim 100 juta rupiah pertahun, dua kalinya Indonesia), atau, penghasilan per bulan setiap warga Austria sebesar 35 juta rupiah. Austria membuat jaringan jalan seperti jaringan laba-laba ke segala penjuru ke segala negara tetangga, hanya dengan akses tersebut Austria bisa mempertahankan dan meningkatkan perkonomiannya. Olehnya Malinau, Nunukan, Bulungan hendaklah membuat masterplan pembangunan dengan membuka banyak akses jalan termasuk ke Malaysia tanpa sungkan dan khawatir. Dengan memposisikan kota/kabupaten sebagai terminal perlintasan perdagangan dari daerah utara ke selatan/sebaliknya dan timur ke barat/sebaliknya maka daerah perbatasan/pedalaman dapat berkembang pesat layaknya jalur sutra pada masa lampau.
Dalam hal sumber energi, Austria, 62% menggunakan sumber energi terbarukan berupa tenaga air, angin, surya dan biomass dan sumber dominannya menggunakan hydropower. Pemda dan DPRD kabupaten perbatasan perlu melakukan kunjungan kerja pada negara Austria maupun Swiss untuk kajian model masterplan.
Sementara Swiss dengan luas setara Malinau yakni 41.290 km2 dikelilingi negara Perancis, Jerman, Italia dan Austria. Swiss menjadi negara terkaya ke 9 dunia dengan pendapatan perkapita 450 juta per tahun. Negara ini mengandalkan perekonomiannya melalui ekspor bahan kimia 34%, mesin/elektrik 20.9%, jam 17% serta mengandalkan aspek perbankan dan turis. Tenaga air menjadi sumber energi terbesar yakni 56%, perlu menjadi perhatian pemda setempat untuk lebih serius mempersiapkan sumber energi berupa hydropower sebagaimana Swiss sehingga krisis listrik tak berkesudahan bisa tertangani tuntas beberapa tahun ke depan.
Sebagai bonus, konsepsi yang perlu dibangun oleh pihak eksekutif maupun legislative kabupaten perbatasan mesti membangun kemandirian untuk memajukan kawasannya tanpa banyak bergantung dan memelas pada propinsi maupun pemerintah pusat. Modal mental mandiri akan mengasah inovasi dan kreasi dalam mempersiapkan masterplan dan RTRW yang mendukung percepatan pembangunan. Lihatlah peta infrastruktur jalan kota Moskow yang posisi kotanya mirip dengan Malinau dan Tanjungselor yang berada jauh dari bibir pantai. Moskow membangun lebih 12 akses jalan ke segala penjuru arah mata angin dengan kualitas jalan yang baik, tentu saja berimplikasi dalam peningkatan dan pertumbuhan ekonominya yang PDRB dan pendapatan perkapitanya hanya sedikit di atas Kaltim.
Jika Malinau dan Bulungan membuka akses jalan yang bagus ke Malaysia, tentu saja Malaysia akan membantu menyambungkan infrastruktur jalan dari perbatasannya ke pantainya Laut Cina Selatan. Maka hal ini akan menggeser sebagian pusat perdagangan Indonesia yang semula berlabuh ke Surabaya, Jakarta, Makassar atau Balikpapan dengan korelasi perdagangan dari daerah utara Kalimantan seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, kemudian berubah membetuk sentral baru di pantai Sarawak dimana Malinau, pedalaman Bulungan, Nunukan, Kubar, Murung Raya dapat menjadi sentral jalur perdagangan darat yang ramai dan berkembang. Sehingga meningkatkan pendapatan pada sektor jasa dan pajak. Tentu saja pemerintah hanya perlu memperkuat sistem pengawasan daerah perbatasan, hal yang membuat daerah perbatasan hingga saat ini hidup bagai di penjara. Hanya perlu menambah tim pengawas terpadu lintas sektor, dan meningkatkan akses transportasi ke Negara tetangga, maka Bulungan, Malinau, Nunukan, Tanatidung dan Tarakan pun dapat menjadi lebih maju dengan peningkatan pendapatan perkapita/PDRB serta APBN-nya. Semoga bermanfaat untuk rekonsepsi pembangunan wilayah Kalimantan Utara dan semoga terpilih Gubernur yang visioner.


Koordinator Forum Peduli Borneo
Sedang berkelana di Sekayan
 

Selasa, 03 Februari 2015

Suatu Hari di Blok Mahakam



Suatu Hari di Blok Mahakam
dipublikasikan Kaltimpost 4 Februari 2015 hal.2
Suatu hari di tahun 2010, saya menginjakkan kaki di salah satu rig Blok Mahakam (BM). Untuk pertama kalinya saya bekerja di offshore (lepas pantai) industri minyak dan gas yang dikelola PT. Total Indonesie. Untuk bisa masuk bekerja di rig lepas pantai, terlebih dahulu menjalani pelatihan BOSIET (Basic Offshore Safety Induction and Emergency Training) sebagai tiket masuk yakni pelatihan pengenalan dasar keselamatan kerja lepas pantai. Pelatihan terberat saat menjalani simulasi helikopter terbalik menggunakan peraga heli mini di kolam renang, dibolak balik beberapa kali di dalam air kemudian berupaya menyelamatkan diri keluar ke permukaan. Tantangan pertama.
Bekerja di lingkungan lepas pantai hanya lautan menghampar di depan mata, tak ada warung kopi yang bisa dikunjungi selain ruang istirahat, nonton tv bersama bule (pekerja asing) dengan AC (air conditioner) menyengat. Pagi sarapan, menjelang siang ngopi sejenak, siang makan, sore ngopi lagi, ganti shift, makan malam, nobar lagi ditutup dengan ritual tidur malam. Terjamin naik berat badan.
Umumnya rig-rig di lepas pantai sekitar blok Mahakam masih bisa menangkap signal dari BTS-BTS di bibir pantai. Selamatlah karyawan yang ingin melepas penat dengan menelpon keluarga dengan handphone. Terkadang untuk rig-rig yang jauh di tengah laut tanpa signal, harus menggunakan telpon yang disediakan rig untuk menghubungi keluarga, antri pula. Beruntung untuk rig yang tersedia fasilitas fitness bisa berolahraga sayangnya tidak merata di setiap rig, termasuk ijin maunjun (memancing) tergantung selera pimpinan rig (company man) masing-masing.
Company Man, nama jabatan untuk pemegang tanggung jawab tertinggi di rig, bertanggung jawab terhadap keselamatan kerja dan target pencapaian proyek pengeboran. Memimpin owner (Total) dan kontraktor (Halliburton, Schlumberger, Geoservice, dll) dengan ketat dan detail pada setiap fase pengeboran. Kebetulan pemimpinnya bule Amerika dengan bahasa Inggris logat Texas. Jadi listening (mendengar) dalam komunikasi mesti good English. Paling mudah dipahami saat si bule marah-marah sembari mengucapkan kata f*ck berkali-kali, sudah biasa.
Banyaknya pekerja asing di rig migas sering menjadi guyonan rekan-rekan kerja, bahwa mereka di daerah asalnya mungkin hanya pekerja keras, semacam, kuli, sopir, ojek, dan satu-satunya kelebihan mereka adalah bisa berbahasa Inggris. Pada hakikatnya tidak ada satupun kompetensi yang dimiliki pekerja asing yang tidak dimiliki orang pekerja WNI. Hampir semua posisi dalam proyek eksplorasi migas dapat dilakukan oleh WNI karena proyek migas bukan barang baru di Indonesia tapi sudah puluhan tahun. Bahkan Pertamina sudah memiliki proyek eksplorasi di Afrika dan Amerika Selatan. Blok Mahakam ? Kecil !
Hal yang paling menarik saya temukan di rig adalah ketika berjumpa dengan seorang pemuda berusia sekitar 27 tahun, lulusan S1 Teknik Mesin di salah satu perguruan tinggi di Jawa, sedang menjalani program persiapan sebagai Company Man. Calon Company Man termuda memimpin proyek ratusan miliar dengan berbagai professional manpower berpengalaman. Saya terkejut dan tertegun. Luar biasa program yang dijalankan Total, entah saat ini pemuda tersebut sudah menjadi company man atau belum, yang jelas ia sudah menjalani pelatihan khusus di Perancis plus kursus Bahasa Perancis.
Saya sempat tergelitik, saat perdebatan wacana peralihan Blok Mahakam dari Total ke Pertamina atau perusahaan nasional sejenisnya, beberapa opini dari Total mengungkapkan ketidakmampuan Pertamina atau Indonesia mengelola Blok Mahakam. Bagi kalangan professional migas, mereka bahkan tertawa lepas perang opini mengingat para ahli migas Indonesia sudah menyebar overseas menangani proyek migas di luar negeri. Bahkan seorang senior saya, sudah menjadi pimpinan manager di salah satu konsultan ekplorasi produsen minyak terbesar di Arab Saudi.
Berbicara perebutan Blok Mahakam, bukan hanya persoalan sharing keuntungan, duit untuk daerah. Tapi transfer kompetensi tenaga ahli bagi masyarakat daerah, masyarakat Kalimantan Timur. Inilah hal yang tidak tersentuh dalam kericuhan perebutan Blok Mahakam. Hanya uang yang berkilau di depan mata. Tidak ada yang berpikir bagaimana menciptakan semacam company man company man muda dari masyarakat Kaltim.
Belajar dari Cina sebagaimana yang diceritakan Reynald Kasali saat bertandang di Senyiur, Samarinda tahun lalu. Cina, membuka tender proyek Pembangkit Listrik dari Eropa, nilai ratusan milyar dolar yang menggiurkan, akan tetapi, Cina mempersyaratkan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi untuk tenaga ahli Cina. Sedikit berat, tapi akhirnya disetujui oleh pemenang tender dari Eropa. Walhasil, kini Cina mampu membuat banyak pembangkit listirk serupa dari tenaga ahlinya sendiri, dan tentu saja lebih low cost.
Hal yang kurang terpikirkan para stake holder Kaltim untuk lebih serius melahirkan tenaga ahli asal Kaltim yang professional dan berkompeten dalam membangun Kaltim. Inilah saatnya menyelipkan butir syarat, jika masih sempat, agar, siapapun pemenang tender Blok Mahakam, wajib transfer sains dan teknologi kepada masyarakat Kaltim, dari tingkat supervisor hingga managerial. Jika tidak sekarang, kapan lagi ? Uang akan habis, namun ilmu pengetahuan akan menumbuhkan hutan uang yang lebih banyak, uang untuk membangun Kalimantan. Selamat Berjuang kepada rekan-rekan yang memperjuangkan Blok Mahakam dan semoga hasilnya signigikan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Kalimantan Timur.
Oleh

Nugra, ST

Koordinator Forum Peduli Borneo
@nugrazee