Kamis, 20 Juni 2013

Menjadi Aktifis !

Menjadi Aktifis !
Tribunkaltim 20 Juni 2013 hal 7
by Nugraze

Menjadi aktifis? Apa enaknya? Sibuk mengurus kepanitiaan, berorganisasi, demo, orasi, nilai kuliah C hingga terancam diskors karena terlalu lantang mengutarakan aspirasi atau bahkan masuk bui wajib lapor 1 bulan. Tapi mengapa aktifis tak pernah sepi di negara manapun dan kapanpun?
Aktifis lahir dari jiwa muda yang rindu perubahan. Ia bunga dari pikiran kritis guna merekontruksi peradaban. Aktifis selalu sejalan dengan pemberontakan, pergerakan yang mengejawantah dari kepedulian tanpa pamrih.
Apa jadinya jika Soekarno larut dalam konsultan arsitekturnya dan tak peduli pada nasib bangsa ? Mungkin Soekarno tidak pernah dikenal seluruh dunia dan dikenang sebagai pahlawan jika ia hanya sibuk mencetak biru bangunan sipil tanpa empati dengan kondisi nusantara. Kitab 'Indonesia Menggugat' mungkin hanya sebatas kitab tender bangunan hotel di Bandung.
Soekarno memilih menjadi aktifis dan ia mendapatkan jalannya, dibuang di Ende, dan Tuhan membayarnya dengan amanah Presiden RI pertama.
Era terus berganti, ada rezim yang zalim, ada perlawanan, ada aktifis. Aktifis memberi harapan pada rakyat yang semaput di kegelapan asa. Aktifis mengorganisasi massa guna menyuarakan ketidakadilan yang dipromosikan penguasa sebagai keadilan. Aktifis dengan kelebihan intelegensianya, puncak harapan untuk perubahan yang lebih baik.
Menjadi aktifis berbanding 180 derajat daripada selebritis, seleb dikejar wartawan, aktifis dikejar aparat. Seleb memberi hiburan, aktifis memberi harapan dan provokasi perubahan yang tidak jarang diusir karena mengundang murka penguasa. Seleb digajih tinggi, sementara aktifis, untuk mendapatkan nasi bungkus saja mesti menyebarkan proposal.
Nasib aktifis sering nampak terkatung-katung, namun mimpi idealisme yang tergambar jelas di benaknya membuat aktifis semakin kencang berlari menggeret perubahan seterang tulisan di dinding kamar Soekarno muda bahwa 'disini perubahan nusantara dimulai!'
Aktifis haruslah punya konsep perubahan yang tersusun rapi, dengan tahapan dan solusi yang jelas, bukan letupan semangat tiba-tiba tanpa pondasi ilmu dan desain yang integral. Aktifis bukan sekelompok orang bayaran yang demo membela yang bayar atau membuat survey manipulasi sesuai order. Aktifis rela mengorbankan segenap jiwa raga waktu pikirannya untuk idealisme perubahan yang lebih baik bagi bangsa dengan bahasa yang sama, menegakkan keadilan, pemberantasan korupsi serta menjadikan bangsa bermartabat di mata rakyat dan bangsa lainnya.
Soekarno jatuh di tangan Soeharto bersama CIA dan mafia berkeley nya, namun lebih tragis Soeharto terjungkal di tangan aktifis. Suara aktifis ibarat gelindingan salju yang terus berputar semakin menebal hingga menghantam keras. Aktifis bekerja pada tataran kepedulian, sebagaimana pahlawan. Jika pada masa penjajahan pahlawan menggunakan senapan, aktifis masa kini bermodalkan pena, atau barangkali dengan tekonologi masa kini, broadcast BBM, grup FB, twitter dan sosial media lainnya, guna menyebarkan opini perlawanan positif terhadap kezoliman penguasa.
Memasuki momentum tahun politik, yang mana pembelian sebungkus nasi kuning pun bisa dipolitisasi menjadi isu politik, hendaklah aktifis hadir, independen dan terlibat proaktif mengawal perubahan sehingga proses dan produk politik di tahun politik ini berjalan beradab dan bermanfaat bagi masyarakat negara. Celah-celah korupsi untuk dana pemenangan pemilu namun merugikan anggaran rakyat, akan sangat banyak terbuka lebar, membutuhkan keberanian dan kekuatan aktifis untuk menghantam jera penghisap darah rakyat sebagaimana wasiat Soekarno,'perjuangan kalian lebih berat dari saya, karena kalian akan menghadapi bangsa sendiri'.
BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas, Gerakan kemahasiswaan ekstrakampus (HMI, KAMMI, GMNI dll) dan Ormas hendaklah bergabung bersama menjadi pahlawan untuk mengawal Kaltim dan Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik. Bergerak Tuntaskan Perubahan!